The Stone Roses: Ikon Madchester yang Mengguncang Dunia Musik Inggris

Para personil The Stone Roses yang difoto oleh Ian Tilton 36 tahun lalu. (Foto: X/ManchesterDose)

PARBOABOA - Saat berbicara tentang musik Inggris yang berpengaruh, The Stone Roses muncul sebagai salah satu band yang paling sering disebut.

Bayangkan sebuah band yang bukan hanya menghadirkan musik yang asyik didengar, tetapi juga mengubah cara generasi muda memandang dunia.

Di akhir 1980-an dan awal 1990-an, The Stone Roses bukan sekadar band, mereka adalah simbol dari era baru yang lebih bebas, lebih berani, dan tentu saja, lebih bergaya.

Mereka membawa semangat kota Manchester yang dinamis, memadukan rock alternatif dengan elemen-elemen musik dansa yang membuat banyak orang tak tahan untuk ikut bergoyang.

The Stone Roses dibentuk pada 1983 di kota Manchester, oleh empat pria yang mungkin tidak menyadari bahwa mereka akan menjadi ikon dari sebuah gerakan musik yang dikenal sebagai Madchester.

Dengan Ian Brown di vokal, John Squire di gitar, Mani di bass, dan Reni di drum, mereka mengubah lanskap musik dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Gaya musik mereka memadukan rock alternatif, psychedelia, dan beat musik dansa, menciptakan suara yang mencerminkan semangat pemberontakan dan kebebasan generasi muda Manchester.

Kombinasi inilah yang membuat album debut mereka, "The Stone Roses," yang dirilis pada 1989, langsung menjadi sorotan.

Album tersebut menghadirkan lagu-lagu seperti ‘I Wanna Be Adored,’ ‘She Bangs the Drums,’ dan ‘I Am the Resurrection,’ yang tak hanya memikat telinga, tetapi juga menjadi anthem bagi para penggemar yang merasa musik mereka mewakili suara generasi.

Album ini menjadi semacam ‘kitab suci’ bagi mereka yang ingin merayakan hidup dengan cara mereka sendiri.

Selain musiknya, The Stone Roses juga dikenal dengan gaya hidup mereka yang kasual namun penuh pesona. Mereka adalah pelopor gaya ‘baggy’ yang mengombinasikan celana longgar dengan atasan yang nyaman, seolah-olah mengirim pesan bahwa mereka tidak peduli dengan aturan mode yang ada.

Gaya busana ini, dipadu dengan sikap mereka yang santai namun percaya diri, membuat mereka menjadi ikon bagi banyak anak muda yang ingin mengekspresikan diri tanpa batas.

Mereka bukan hanya tampil di panggung, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan sosial yang lebih besar di Inggris.

Peran John Squire sebagai gitaris dan juga seniman visual tidak bisa diabaikan. Selain menciptakan riff gitar yang ikonik, Squire juga bertanggung jawab atas desain sampul album debut mereka yang menampilkan gambar lemon yang mencolok.

Lemon ini bukan sekadar hiasan, melainkan simbol yang terinspirasi dari peristiwa protes mahasiswa di Paris 1968. Pada saat itu, lemon digunakan oleh para pengunjuk rasa untuk mengurangi efek gas air mata yang digunakan oleh polisi.

Kisah ini kemudian menjadi bagian dari lirik lagu ‘Bye Bye Badman,’ yang menceritakan semangat perlawanan yang kuat.

Proses produksi album debut mereka juga cukup menarik. Album ini direkam sebagian di Rockfield Studios di Wales, sebuah studio legendaris di mana Queen merekam ‘Bohemian Rhapsody.’

John Leckie, produser berbakat yang sebelumnya bekerja dengan band seperti The Human League dan Simple Minds, berhasil menangkap energi liar The Stone Roses dan mengubahnya menjadi suara yang begitu segar dan menggetarkan.

Tak heran, banyak kritikus musik menganggap album ini sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa. Salah satu cerita menarik lainnya datang dari lagu ‘I Am the Resurrection.’

Lagu ini punya koneksi unik dengan The Beatles, karena Mani, sang bassis, mengambil riff dari lagu "Taxman" karya George Harrison dan memainkannya secara terbalik saat latihan.

Ide yang spontan ini kemudian berkembang menjadi bagian penting dari lagu tersebut, menunjukkan bagaimana kreativitas mereka tidak terbatas hanya pada cara-cara konvensional.

Meskipun The Stone Roses hanya merilis dua album studio—'The Stone Roses’ (1989) dan ‘Second Coming’ (1994)—band ini tetap menjadi salah satu nama yang paling berpengaruh dalam sejarah musik Inggris.

Album kedua mereka memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dirilis dan mendapatkan reaksi beragam dari penggemar serta kritikus.

Namun, hal ini tidak mengurangi dampak mereka dalam menciptakan gelombang baru musik Britpop yang kemudian dipopulerkan oleh band-band seperti Oasis dan Blur.

Setelah sempat bubar di 1996 akibat konflik internal dan berbagai tantangan lainnya, The Stone Roses membuat kejutan besar dengan reuni pada 2011.

Bagi para penggemar setia, ini adalah momen yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun. Mereka kembali tampil di berbagai panggung besar di seluruh dunia, membuktikan bahwa meskipun waktu telah berlalu, semangat dan energi mereka tetap hidup.

Meskipun tidak ada album baru yang dirilis setelah reuni, The Stone Roses tetap menjadi band yang memiliki pengaruh besar, baik di kalangan penggemar lama maupun baru.

Pengaruh The Stone Roses juga merambah ke berbagai aspek budaya lainnya. Mereka menginspirasi lahirnya banyak band dan musisi baru yang ingin mengeksplorasi suara dan gaya yang berbeda.

Madchester bukan hanya sebuah gerakan musik, itu adalah cara hidup, dan The Stone Roses berada di garis depan dari semua itu.

Mereka mengajarkan bahwa musik bisa menjadi medium untuk mengekspresikan perasaan terdalam, melawan norma, dan merayakan kebebasan individu. 

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS