Teknologi Co-firing, Terobosan Penting Transisi Energi di Indonesia

Tumpukan serbuk gergaji sebelum dikemas dalam karung plastik. (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

PARBOANOA, Jakarta - Transisi menuju energi bersih dengan menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti PLTS, PLTA, PLTB, atau PLTP memang tidak dapat dilakukan secara cepat dan masif.

Namun, di tengah perhatian pada PLTU yang masih bergantung pada batu bara, ada praktik co-firing jadi sorotan.

Co-firing merupakan salah satu dari dua pendekatan utama yang diharapkan mampu mengurangi emisi karbon, selain teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Teknologi CCUS bekerja dengan cara menangkap, menyimpan, dan memanfaatkan karbon.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan bahwa co-firing adalah strategi menggantikan sebagian bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dalam hal ini batu bara, dengan biomassa.

Biomassa tersebut meliputi tanaman energi, sampah rumah tangga, limbah pertanian, dan perkebunan seperti serbuk gergaji, cangkang sawit, dan palet kayu.

Selama ini, karbon dari pembakaran batu bara merupakan penyumbang terbesar emisi yang menyebabkan krisis iklim.

Oleh karena itu, metode co-firing diklaim dapat mengurangi dampak ini dengan mengganti sebagian kecil bahan bakarnya dengan biomassa.

Biomassa memiliki kandungan sulfur dan nitrogen yang lebih rendah dibandingkan batu bara, sehingga emisi gas NOx dan SOx dapat dikurangi selama pengoperasian PLTU.

Saat ini, ada dua jenis pembakaran dengan metode co-firing, yaitu direct dan indirect.

Direct co-firing berarti membakar batu bara dan biomassa secara bersamaan.

Sementara itu, indirect co-firing melibatkan proses tambahan seperti gasifikasi biomassa sebelum pembakaran.

Mengutip Kementerian ESDM, pada Maret 2021, praktik co-firing sudah diterapkan di 26 lokasi PLTU di Indonesia.

Porsi biomassa yang digunakan berkisar antara 1-5 persen dari total pembakaran.

Implementasi co-firing oleh PLN diperkirakan akan meningkatkan kapasitas bauran energi yang mengintegrasikan EBT.

Dari 26 PLTU yang menerapkan co-firing, 13 di antaranya sudah beroperasi secara komersial.

Ke-13 PLTU tersebut tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok, dengan biomassa yang beragam seperti sekam padi dan cangkang sawit.

PLN memproyeksikan bahwa pada tahun 2024, PLTU dengan praktik co-firing akan berkontribusi terhadap kapasitas EBT sebesar 18 GW.

Tantangan Besar

Co-firing menghadapi berbagai kendala, termasuk risiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih besar melalui pembukaan lahan.

Pembukaan lahan diperlukan untuk menyuplai biomassa yang digunakan dalam co-firing, seperti sawit dan serbuk kayu dari industri.

Berdasarkan Riset dari Trend Asia bahwa praktik co-firing dapat mendorong perluasan lahan hingga 11 juta hektare.

Lahan tersebut dibutuhkan untuk membentuk industri biomassa guna memenuhi kebutuhan co-firing yang dirancang oleh Kementerian ESDM.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA)  menunjukan bahwa praktik co-firing sudah diterapkan sejak tahun 1990-an di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan China.

Namun, selama lebih dari 20 tahun, negara-negara tersebut masih menghadapi tantangan dalam memenuhi bahan baku biomassa untuk co-firing.

Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap bahwa co-firing bukanlah solusi yang tepat untuk mempercepat transisi energi bersih.

Klaim PLN

PT PLN (Persero) melaporkan keberhasilannya dalam menurunkan emisi karbon hingga 478 ribu ton melalui program co-firing, yang melibatkan penggantian batubara dengan biomassa sebagai bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Menurut Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto, program co-firing ini telah diterapkan di 44 lokasi PLTU yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Secara keseluruhan, dari Januari hingga Mei 2024, program co-firing telah memanfaatkan 419 ribu ton biomassa, “yang berhasil menurunkan emisi sebesar 478 ribu ton CO2," jelas Gregorius di Jakarta.

Gregorius juga menambahkan bahwa program ini merupakan bagian dari upaya transisi energi menuju net zero emissions (NZE) pada tahun 2060, di mana PLN menggunakan teknologi co-firing sebagai salah satu langkah untuk mengurangi penggunaan batubara.

Sementara Co-firing Anak Usaha PLN atau PLN Indonesia Power (PLN IP), mencatat penurunan emisi karbon (CO2) sebesar 555.339 ton selama tahun 2023 melalui penerapan teknologi co-firing, yang menggantikan sebagian batubara dengan biomassa di PLTU.

Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra, menjelaskan bahwa penurunan emisi tersebut dicapai melalui penggunaan 478.741 ton biomassa, yang menghasilkan energi bersih sebesar 509,54 GWh.

"Sepanjang tahun 2023, PLN Indonesia Power berhasil menurunkan emisi karbon dengan meningkatkan penggunaan biomassa sebagai substitusi batubara," ungkap Edwin.

Penerapan co-firing dilakukan di beberapa PLTU, termasuk PLTU Suralaya 1-4, Sanggau, Jeranjang, Suralaya 5-7, Lontar, Labuan, Pelabuhan Ratu, Adipala, Suralaya 8, Asam-asam, Sintang, Barru, Berau, Pangkalan Susu, Holtekamp, Bengkayang, Labuan Angin, dan PLTU Ombilin.

Selain itu, PLN Nusantara Power (PLN NP) juga berhasil melaksanakan program co-firing sepanjang tahun 2023 dengan total produksi energi sebesar 525,62 GWh, yang setara dengan pengurangan emisi karbon sebesar 533.291,79 MT.

Hingga saat ini, PLN NP telah menerapkan co-firing secara kontinu di 24 PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia, menunjukkan komitmen perusahaan dalam mendukung transisi energi berkelanjutan.

Transisi dan Inovasi

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyatakan bahwa di era transisi energi saat ini, inovasi yang dilakukan oleh PLN dalam memanfaatkan teknologi co-firing telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengurangan emisi karbon.

"Ini membuktikan bahwa PLN telah berhasil bertransformasi menjadi penyedia energi yang lebih ramah lingkungan," ujarnya.

Secara keseluruhan, ia menjelaskan, teknologi co-firing melibatkan pemanfaatan biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Ini menunjukkan bahwa PLN terus mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan zaman.

Menurut data tahun 2023, penggunaan co-firing telah meningkat dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2022.

Misalnya, dalam hal pengurangan emisi, PLN berhasil menambah penurunan emisi hingga 450.000 ton CO2.

Produksi energi bersih juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, meningkat lebih dari 77 persen dari realisasi 2022 yang mencapai 575 gigawatt hour (GWh).

Ia menambahkan, teknologi co-firing adalah terobosan penting dalam transisi energi di Indonesia, karena teknologi ini tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Menurut Fahmy, teknologi co-firing tidak hanya memastikan produksi listrik yang handal dan terjangkau bagi masyarakat, tetapi juga mendorong perekonomian kerakyatan melalui keterlibatan langsung masyarakat dalam pengembangan biomassa.

Saat ini, jelasnya, substitusi batu bara dengan biomassa tidak hanya mampu mengurangi emisi karbon, tetapi juga menggerakkan ekonomi kerakyatan.

Berdasarkan data tahun 2023, PLN berhasil menyerap 1 juta ton biomassa untuk digunakan pada 43 PLTU di Indonesia, meningkat 71 persen dibandingkan dengan tahun 2022.

Fahmy berharap PLN terus melanjutkan uji coba teknologi co-firing hingga tahun 2025, agar 52 PLTU di Indonesia dapat sepenuhnya menggunakan teknologi ini.

PLN diharapkan juga untuk terus meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pengembangan rantai pasok biomassa yang melibatkan masyarakat secara langsung.

Ekosistem biomassa juga terus dikembangkan dengan melibatkan komunitas lokal, koperasi, UMKM, hingga pemerintah daerah setempat.

Fahmy menambahkan, inovasi yang dilakukan PLN saat ini telah berhasil mencakup berbagai aspek, mulai dari mendorong ekonomi kerakyatan, menjaga kelestarian hutan, rehabilitasi lahan tandus, hingga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS