PARBOABOA, Jakarta - Kasus bunuh diri di kalangan remaja Indonesia terus meningkat dan menimbulkan keprihatinan di masyarakat.
Berdasarkan catatan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, terdapat 971 kasus bunuh diri dari Januari hingga 18 Oktober 2023.
Angka ini melampaui total kasus sepanjang tahun 2022, yaitu 900 kasus.
Lalu, pada tahun 2024, dari periode Januari hingga Agustus, tercatat ada 849 kasus bunuh diri, atau rata-rata empat kasus setiap hari.
Di tahun ini, sebagian besar kasus terjadi pada kelompok usia 26-45 tahun dengan persentase 30,9%. Sementara itu, pada usia 17-25 tahun tercatat ada 75 kasus, setara dengan 8,8% dari total keseluruhan kasus.
Di tingkat global, laporan World Health Organization (WHO) per 28 Agustus 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri.
Badan itu bahkan melaporkan, bunuh diri menjadi penyebab kematian keempat tertinggi pada usia 18-29 tahun.
Magister Sosiologi dari Universitas Airlangga, Teguh Imami dalam sebuah artikel ilmiah menerangkan, bunuh diri rentan terjadi pada remaja karena pemikiran akan hal tersebut seringkali muncul pada masa-masa itu.
Berdasarkan sejumlah studi ilmiah, kata dia, ide ini berkembang seiring dengan meningkatnya masalah depresi, terutama akibat konflik dengan teman, tekanan dari keluarga, atau masalah di lingkungan akademik.
Tak hanya itu, mengutip karya terkenal Emile Durkheim, Le Suicide (1897), Teguh mengungkapkan, faktor sosial berkontribusi dalam keputusan seseorang untuk mengakhiri hidupnya.
"Konflik dengan keluarga, teman, atau tekanan ekonomi bisa memicu gangguan psikologis jika tidak teratasi," tulisnya.
Di era digital ini, kondisi semakin kompleks, terutama dengan tren 'flexing' di media sosial yang memaksa remaja untuk tampil sempurna.
Banyak remaja merasa perlu memamerkan kekayaan atau pencapaian untuk diterima, sehingga mereka merasa "tidak keren" jika tidak ikut dalam tren tersebut.
Tekanan ini, lanjutnya menambah tingkat stres, depresi, dan putus asa di kalangan remaja. Sayangnya, kata Teguh, mereka sering kali tidak menemukan tempat untuk berbagi, baik diantara sesama teman maupun keluarga.
Ia mengungkapan, rasa malu dan sikap tertutup akhirnya "menghalangi mereka untuk mencari bantuan."
Menurut Dyah T. Indirasari, psikolog dari Universitas Indonesia, mahasiswa memiliki kecenderungan emosi negatif yang tinggi, membuat mereka rentan terhadap kecemasan, stres, dan depresi.
Kondisi ini disebabkan oleh fase transisi dari remaja menuju dewasa, di mana mereka harus menyesuaikan diri dengan kebebasan baru di dunia kuliah serta berbagai perubahan dalam lingkungan sosial yang dihadapi.
"Sistem pembelajaran yang berbeda di tingkat perguruan tinggi juga menambah tekanan, meningkatkan rasa cemas dan menempatkan mereka dalam risiko depresi," tulisnya.
Psikolog lain, Edward Andriyanto Soetardhio mengatakan, perubahan dalam sistem pendidikan, seperti penerapan Kurikulum Merdeka di perguruan tinggi, menciptakan tekanan tambahan bagi mahasiswa.
Kata dia, kurikulum ini memperpendek waktu untuk menyelesaikan mata kuliah yang dianggap penting, yang sebelumnya tersebar selama tujuh semester, kini dipadatkan menjadi hanya empat atau lima semester.
"Akibatnya, beban akademis yang lebih intens meningkatkan tingkat stres yang dirasakan mahasiswa," kata Edward.
Karena itu, dalam upaya mencegah kasus bunuh diri, kata Edward, dunia pendidikan memiliki peran penting untuk memahami dan merespons trauma yang mungkin dialami korban.
Para pengajar diharapkan dapat dibekali keterampilan yang disebut trauma-informed practice, sebuah pendekatan yang fokus pada menciptakan lingkungan yang aman secara fisik, psikologis, dan emosional bagi setiap siswa.
Dengan pendekatan ini, pendidik tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga mengenali siswa yang membutuhkan perhatian khusus, terutama mereka yang mungkin memiliki pengalaman trauma atau hidup dalam lingkungan penuh tekanan.
Namun, sayangnya, tidak semua institusi seperti universitas memiliki layanan khusus atau sistem pendukung bagi mahasiswa yang berada dalam situasi krisis.
Padahal, menurut dia, keberadaan unit layanan semacam ini bisa membantu mahasiswa yang sedang menghadapi tekanan berat untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Sementara itu, Sandersan Onie dari Black Dog Institute menyayangkan kondisi pencegahan bunuh diri di Indonesia masih memiliki banyak tantangan.
Ia menyampaikan, di Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan mental, seperti psikiater, melalui BPJS Kesehatan misalnya, memerlukan waktu tunggu yang cukup lama, bahkan hingga berminggu-minggu.
Selain itu, layanan siaga yang tersedia belum berkelanjutan, sehingga belum bisa menjadi solusi yang selalu tersedia bagi mereka yang membutuhkan.
Dengan segala keterbatasan ini, ia mengingatkan, penting bagi masyarakat untuk membangun kesadaran akan saling menjaga, mendukung, dan memperhatikan satu sama lain dalam mencegah krisis yang lebih dalam.
Editor: Gregorius Agung