PARBOABOA, Jakarta - Pasca dikeluarkannya PP Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, sejumlah organisasi buruh menyatakan keberatan.
Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia atau lebih dikenal Konfederasi SARBUMUSI, misalnya. Mereka tegas menolak karena meyakini program ini menjauhkan mimpi buruh untuk memiliki rumah.
Kata mereka, beban pengeluaran buruh yang besar dan tidak sebanding dengan kenaikan upah tahunan akan semakin bertambah berat dengan iuran program Tapera.
Pemerintah, melalui PP No. 21 tahun 2024 sebelumnya mengatur agar pekerja membayar iuran untuk perumahan, dengan ketentuan iuran sebesar 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung oleh pekerja.
Sementara untuk Pekerja Mandiri besaran iuran 3% dan ditanggung sendiri.
Irham Ali Saifuddin, Presiden Konfederasi SARBUMUSI mengatakan, melalui PP di atas, ada perhatian pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan rendah seperti buruh untuk memiliki hunian.
Tetapi sayangnya kata dia, langkah yang diambil tidak tepat dan justru berpotensi semakin membebani buruh. Pun, meski dari sisi normatif baik adanya, tetapi membebani buruh dalam praktik pelaksanaannya nanti.
Ditambah, kenaikan upah minimum tidak selalu sebanding dengan kebutuhan hidup layak buruh.
"Kebutuhan buruh akan rumah adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan untuk 20 atau 30 tahun mendatang ketika iuran Tapera mereka bisa diambil," kata Irham dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Selasa (4/6/2024).
Selain itu, Irham menjelaskan, PP yang baru ini belum mengatur penghitungan nominal yang akan didapatkan buruh nantinya, termasuk soal entitlements.
Apakah misalnya, demikian tegas Irham, hanya akumulasi 3% dari kontribusi buruh dan pemberi kerja, atau ada penyertaan dan dari pemerintah dan/atau dana tambahan dari pengelolaan BP Tapera.
Hal ini, tambahnya, tentu berpotensi menciptakan adanya misconduct dalam pelaksanaan program.
Secara nominal, tidak dijelaskan juga secara rinci rumah seperti apa yang akan didapatkan pekerja nantinya.
Konfederasi SARBUMUSI sendiri lebih menginginkan skema penyediaan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi.
Menurut mereka, hal ini jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja.
Karena ketidakjelasan ini, konfederasi menyarankan, ketimbang meneruskan program Tapera, pemerintah sebaiknya - pertama, mengoptimalisasi fungsi BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) yang di dalamnya mencakup rumah buruh.
Selain itu, agar optimal mengharuskan adanya perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang inklusif, termasuk bagi buruh informal.
Kedua, harus ada penguatan program perumahan rakyat oleh negara melalui skema pembiayaan khusus untuk buruh dengan penghasilan rendah.
Hal ini dinilai lebih visible dibanding dengan mengumpulkan dana dari buruh di depan dan baru akan diambil setelah sekian tahun.
Pada program Tapera saat ini, situasinya lebih rumit dan tidak menjanjikan kemudahan, terutama karena belum mempertimbangkan kenaikan lahan dan bahan bangunan dalam 10-30 tahun mendatang.
Kondisi ini bisa jadi membuat dana yang diiur buruh melalui Tapera tidak akan ada nilainya.
Namun bila Pemerintah nekat memberlakukan PP Tapera ini, Konfederasi SARBUMUSI mengingatkan adanya risiko instabilitas ekonomi di masa depan dan adanya public distrust terhadap pengelolaan dana publik.
Apalagi kondisi ekonomi global saat ini penuh ketidakpastian dan fragile. Postur demografi, perubahan iklim, globalisasi, situasi geopolitik serta keamanan global akan membuat dana yang diiur buruh ini akan berada dalam situasi ketidakpastian dan rentan.
Di sisi lain, kata Irhaman masyarakat masih trauma dengan isu korupsi dan hilangnya dana publik yang dikelola oleh beberapa lembaga publik seperti ASABRI beberapa tahun lalu.
Dalam PP disebutkan bahwa Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Kalau jangka waktu minimal iuran yang diberlakukan selama 20 tahun, maka kepemilikan rumah oleh pekerja akan sangat sulit direalisasikan. Terutama adanya risiko inflasi dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Tak hanya itu, Irham juga menyayangkan tidak adanya transparansi proses pembuatan aturan PP Tapera ini. Padahal, selama ini, SARBUMUSI selalu mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya dialog sosial dan konsultasi tripartit yang intens, transparan dan konstruktif dalam setiap proses pembuatan regulasi ketenagakerjaan.
"Jangan di-bypass terus seperti ini," kata Irham.
Belum lagi, di BP Tapera sama sekali tidak ada unsur buruh, membuat kondisi mereka tidak akan pernah benar-benar dipahami dan apa yang diinginkan.
Irham mengatakan, kebutuhan buruh akan hunian adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan yang bisa ditunda 20-30 tahun lagi.
"Mimpi buruh punya rumah jangan semakin dikubur," tegas dia mengingatkan.
Editor: Gregorius Agung