Ende, Soekarno dan Beberapa Kisah yang Patut Dikenang

Rumah Pengasingan Soekarno di Jln. Perwira, Kab, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

PARBOABOA, Jakarta - Delapan hari perjalanan menuju pulau Flores, bukanlah waktu yang terbilang singkat. 

Di pelabuhan Surabaya, Soekarno dilepas dengan perasaan haru biru. Banyak orang berjejal sambil melambaikan bendera merah putih ke arah KM van Riebeeck yang ditumpanginya.

Awal tahun 1920-an merupakan waktu yang teramat sulit bagi Soekarno. Bermula dari inisiatif untuk menggerakkan kelompok nasionalis, ia berulang kali ditangkap Belanda.

Soekarno tak ambil pusing. Bersama Sartono, Anwari, Sunario, dan beberapa rekan lain, ia kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.

PNI bermaksud membangun gerakan bersama untuk melawan penguasa, menyebarkan ideologi Marhaenisme dan berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda pun terusik dan merasa perlu mengawasi propaganda PNI. Bagi Belanda, Soekarno merupakan sosok yang memiliki kemampuan mempengaruhi massa.

Beberapa peringatan kemudian dilayangkan. Namun, Soekarno menutup telinga. Akibatnya, ia diisolasi bersama tahanan elit pada Desember 1929 di Penjara Sukamiskin.

Selama berbulan-bulan, Soekarno putus komunikasi dengan para sahabat. Orang tuanya pun tidak pernah membesuk dengan alasan tak sanggup melihat putra mereka di balik jeruji besi.

Daniel Dhakidae (2013) dalam buku Pengasingan Soekarno Tahun 1938-1942 menyebut, kasus Soekarno baru disidangkan Belanda setelah delapan bulan berlalu.

Selepas dari Penjara Sukamiskin, Soekarno kemudian bergabung dengan Partindo, sebuah partai pecahan dari PNI. Alasannya, karena ia tidak lagi memiliki afiliasi partai. 

Sosok yang dikenal sebagai Bapak Orasi itu lalu diangkat sebagai pemimpin Partindo. Namun, belum lama berselang, pada Agustus 1933, ia kembali ditangkap pemerintah Belanda.

Soekarno kemudian dibawa ke Surabaya bersama istrinya, Inggit, dan anak angkat mereka, Ratna Juami. Ibu Amsi, yang merupakan mertua Soekarno, turut serta dalam rombongan tersebut. 

Belanda berencana mengasingkan mereka ke Ende, sebuah wilayah kecil di tengah Kepulauan Flores. Soekarno dan keluarganya tak pernah mengira akan diasingkan sejauh itu.

Tiga hari sebelum keberangkatannya ke pelabuhan, ia mendapat kesempatan bertemu dengan ayah dan ibunya. 

Pertemuan tersebut berlangsung hanya tiga menit dalam perasaan haru yang luar biasa.

Setelah delapan hari perjalanan di atas kapal barang KM van Riebeeck, Soekarno dan keluarganya tiba di Flores.

Gubernur Jenderal menempatkannya di Ende, sebuah kampung nelayan dengan populasi sekitar 5.000 jiwa, tepatnya di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja.

Dalam masa pembuangan tersebut, satu-satunya harta pribadi yang dibawa Soekarno adalah sebuah keranjang berisi kumpulan buku.

Rumah Pengasingan

Ende di masa pembuangan Soekarno merupakan sebuah wilayah yang sangat kecil. Penduduk setempat umumnya bekerja sebagai nelayan, petani kelapa, dan petani biasa. 

Soekarno tinggal di rumah milik Haji Abdullah Amburawu. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams (2019), Soekarno menceritakan bahwa untuk mencapai kota terdekat, diperlukan waktu hingga 8 jam berkendara dengan mobil. 

Jalan utamanya hanyalah jalan tanah yang sebelumnya merupakan hasil tebasan hutan, dan berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan tiba. 

Di Ende, tidak tersedia fasilitas telepon, telegraf, listrik, maupun air jeding. Kehidupan kotanya pun sangat sepi. Tidak ada hiburan berarti seperti di Batavia. 

Soekarno bersama anggota keluarganya di depan Rumah Pengasingan. (Foto: perpusnas.go.id)

Komunikasi dengan dunia luar hanya dapat dilakukan melalui dua kapal pos yang datang sebulan sekali. 

Untuk mandi, Soekarno harus membawa sabun ke Wola-wola, sebuah sungai dengan air dingin dan bongkahan batu di tengahnya. 

Sekeliling rumah tempat tinggal Soekarno juga dihiasi tanaman pisang, pohon kelapa, dan ladang jagung. 

Istrinya, Inggit, pernah mengajukan pertanyaan mengenai alasan mereka diasingkan di Ende, padahal sebelumnya Digul telah menjadi tempat pembuangan bagi para pengikut Soekarno.

"Di Digul ada 2.600 orang buangan. Tentu aku akan menemukan kehidupan yang lebih menyenangkan di sana. Dapatkah kau bayangkan apa yang akan kulakukan dengan 2.600 pasukan yang sudah jadi itu?," jawab Soekarno, sebagaimana ditulis Adams.

Kehidupan di Ende terasa sangat berat bagi Soekarno. Ia harus merasakan kehilangan mertuanya, Ibu Amsi, yang meninggal pada 12 Oktober 1935 setelah lima hari tak sadarkan diri. 

Dengan tangannya sendiri, Soekarno membangun makam Ibu Amsi, menata batu bata untuk dasarnya, dan menggosok batu kali sebagai nisannya.

Ia juga kesulitan menemukan sosok yang bisa diajak berdiskusi politik. Maklum, mayoritas penduduk Ende adalah nelayan dan petani kelapa yang sebagian besar buta huruf. 

Namun, seiring waktu, dengan kharisma dan tekad yang dimilikinya, Soekarno mulai berbaur dengan penduduk setempat. 

Ia mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu sebagai wadah untuk menyalurkan bakat seninya sekaligus mengekspresikan ide-ide perjuangan.

Soekarno juga semakin mendalami agama Islam, di mana ia rutin melakukan korespondensi dengan T.A. Hasan, seorang tokoh Islam dari Bandung, serta mengadakan pengajian di rumahnya.

Selain itu, ia menjalin hubungan baik dengan para pedagang Tionghoa yang membantunya menyelundupkan barang-barang dari Jawa, bahkan dengan seorang pemberontak yang menawarkan bantuan untuk melarikan diri.

Selama masa pembuangannya di Ende, Soekarno menulis beberapa naskah. Dari tahun 1934 hingga 1938, ia berhasil menyelesaikan 12 naskah tonil. 

Karya pertamanya terinspirasi dari cerita Frankenstein berjudul Dr. Setan, dengan tokoh utama "Boris Karloff Indonesia" yang menghidupkan mayat melalui transplantasi hati dari orang yang hidup. 

Naskah lainnya termasuk Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan Taoen 1945.

Soekarno juga mendirikan perkumpulan sandiwara "Kelimutu," yang namanya diambil dari danau tiga warna di Flores. 

Ia bertindak sebagai sutradara, dengan latihan dilakukan selama dua minggu di bawah pohon kayu dan diterangi cahaya bulan.

Para pemain terdiri dari warga sekitar, mulai dari petani hingga montir, yang dilatih langsung oleh Soekarno. 

Ia menyewa sebuah gudang dari gereja dan mengubahnya menjadi gedung pertunjukan, serta menjual karcis pertunjukan itu sendiri.

Sandiwara tersebut berlangsung selama tiga hari dan ditonton oleh 500 orang, termasuk warga Belanda. Hasil penjualan karcis digunakan untuk membayar sewa gedung. 

Budayawan Taufik Rahzen, dalam dialog sejarah bertajuk Drama Bung Karno, mengungkapkan tema-tema yang dikembangkan Bung Karno selama masa pengasingan di Ende sebenarnya merupakan kode rahasia. 

Kode ini digunakan untuk mengirimkan sinyal kepada gerakan perjuangan karena surat-surat sering kali disensor oleh pemerintah kolonial.

"Misalnya, lihat Koet Koetbi. Itu sebenarnya adalah kode untuk mengatakan: 'Kalian harus mulai mengorganisir diri untuk membangun gerakan bawah tanah'," ungkap Taufik. 

"Atau ketika menulis Taoen 45, itu adalah kode bahwa Asia mungkin akan memasuki fase baru pada tahun 1945," tambahnya.

Selain menulis, Soekarno juga membuat berbagai kostum, melukis latar belakang panggung, mengatur peralatan, hingga melatih dua perempuan untuk bernyanyi keroncong. 

Setelah pertunjukan, ia biasanya mengundang seluruh pemain ke rumah pengasingan untuk makan bersama.

Kebiasaan demikian menyimpan banyak kenangan di hati masyarakat Ende. Mereka bahkan dengan bangga menyebut Ende sebagai Kota Pancasila.   

Pohon Sukun

Selama di Ende, Soekarno memiliki banyak waktu untuk berpikir. Ia sering duduk berjam-jam di bawah pohon Sukun (kluwih) di depan rumahnya.

Kepada Cindy Adams, Soekarno mengakui ada keistimewaan tersendiri setiap kali duduk di situ. Banyak inspirasi yang ia timba ketika memandang hempasan gelombang di kejauhan.

"Aku memandang lautan dengan hempasan gelombang yang besar, berirama memukul pantai. Dan aku selalu berpikir bagaimana lautan tak pernah bisa diam. Memang ada pasang naik dan pasang surut, tetapi lautan terus bergulung secara abadi. Itu mirip dengan revolusi kami," kata Bung Karno.

Di bawah pohon sukun, momen permenungan Soekarno tentang situasi bangsa Indonesia datang silih berganti. 

Kesunyian mengantarnya pada tekad untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Revolusi, bagi Bung Karno adalah niat yang tak pernah mati. Ia hidup seperti gelombang laut.

"Revolusi kami tidak akan pernah berhenti. Revolusi kami, seperti lautan, adalah ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Yang Maha Esa, termasuk diriku dan tanah airku, berada dalam aturan-Nya," tambahnya.

Soekarno sungguh mengaggumi pohon Sukun itu. Ketika menderita sakit kepala yang luar biasa, ia disebut pernah merangkak keluar dari tempat tidur untuk duduk di bawah pohon sukun. 

Soekarno berdiri di depan pohon sukun tempat permenungan. (Foto: perpusnas.go.id)

Kesehatan Soekarno tak berangsur baik. Oleh dokter, ia didiagnosis menderita malaria.

Kondisi demikian menarik perhatian sahabat-sahabatnya di Pulau Jawa. Mereka melayangkan protes kepada Volksraad. 

Hingga akhirnya, Kolonial Belanda mengumumkan melalui radio bahwa Soekarno akan dipindahkan ke tempat pengasingan yang lain.

Pada Februari 1938, setelah menghabiskan lima tahun di Ende, Soekarno dan keluarganya dipindahkan dari Flores. Banyak warga yang mengiringi kepergiannya di pelabuhan.

Menurut Frans Sarong dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno, pohon sukun yang menjadi saksi sejarah berada sekitar 700 meter dari rumah Bung Karno, tepatnya di tepi Lapangan Perse Ende. Namun, pohon sukun yang asli telah mati pada tahun 1970-an. 

Pemerintah setempat kemudian menggantinya dengan anakan pohon sukun serupa. Kini, pohon sukun tersebut dikenal dengan nama Pohon Pancasila.

Mengenang Ende

Setelah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno pada 1951 kembali menginjakkan kaki di Ende, tempat di mana ia pernah menjalani masa pembuangan. 

Dalam kunjungan tersebut, ia mengungkapkan keinginan agar rumah pengasingan dijadikan sebagai museum. Pemerintah merespons usul tersebut dengan baik.

Mereka lantas membangun kembali rumah pengasingan Bung Karno yang kemudian diresmikan sebagai "Rumah Museum" pada 1954 oleh Soekarno sendiri.

Selanjutnya, pada 13 Oktober 2014, rumah pengasingan ini ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya berperingkat Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 285/M/2014.

Rumah pengasingan Bung Karno memiliki makna yang sangat istimewa bagi Indonesia, karena dari tempat inilah Soekarno mulai menggali dan merumuskan nilai-nilai luhur Pancasila. 

Sementara, tempat di mana Soekarno sering merenung selama masa pembuangannya dikenal dengan nama Taman Renungan Bung Karno, atau Taman Renungan Pancasila. 

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pernah menggelar pameran virtual bertajuk "Ende dan Nilai-Nilai Pancasila" pada 1 Juni 2022 lalu.

Pameran ini menampilkan berbagai arsip terkait Bung Karno selama masa pengasingannya di Ende, termasuk peta wilayah Timor en Onderhoorigheden (sekarang Flores), rancangan pangkalan kapal di Ende pada 1914, serta foto-foto kunjungan Bung Karno ke Ende pada 1954.

Selain itu, pameran tersebut juga menyajikan beberapa surat dan catatan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengenai pengasingan Bung Karno, termasuk surat keputusan pengasingan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal De Jonge pada 28 Desember 1933.

Soekarno sendiri, dalam percakapannya dengan Cindy Adams menyebut Ende sebagai salah satu kota yang istimewa.

"Dalam segala sesuatu, Ende di Pulau Flores yang terpencil itu merupakan ujung dunia bagiku," pungkas Soekarno.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS