Shoegaze Tanpa Batas: My Bloody Valentine

My Bloody Valentine. (Foto: Redbubble)

PARBOABOA – Coba bayangin kamu lagi duduk di sebuah ruangan gelap, sementara alunan musik perlahan memenuhi ruangan. Ada nada yang bergema, vokal samar yang seolah datang dari jauh, dan lapisan distorsi yang mengisi udara.

Musik ini tak hanya sebuah lagu, ini adalah pengalaman yang membawa pendengarnya ke dunia lain. Jika kamu pernah merasakannya, kemungkinan besar kamu sudah akrab dengan My Bloody Valentine.

Band asal Dublin, Irlandia, ini bukan sekadar grup musik biasa, mereka adalah pencipta dan pelopor genre shoegaze, sebuah gaya yang memadukan distorsi tebal, efek reverb yang mendalam, dan vokal yang seolah datang dari kejauhan.

Didirikan pada 1983, My Bloody Valentine terdiri dari Kevin Shields (gitar/vokal), Colm Ó Cíosóig (drum), Bilinda Butcher (gitar/vokal), dan Debbie Googe (bass).

Bersama-sama, mereka menciptakan suara atmosferik yang memecah batas konvensional dan melahirkan sesuatu yang benar-benar baru di dunia musik.

Pada awal karier mereka, My Bloody Valentine cenderung memainkan musik dengan gaya post-punk dan noise rock.

Tetapi segalanya berubah pada 1988, ketika mereka merilis EP "You Made Me Realise." Bagi banyak orang, rekaman tersebut adalah titik balik.

Di sini, band mulai mengembangkan suara khas mereka, melampaui batas-batas genre yang ada dan menciptakan sesuatu yang unik.

Distorsi gitar yang berat, melodi tersembunyi di balik lapisan suara yang tebal, dan vokal yang nyaris berbisik membawa pendengar masuk ke dalam pengalaman mendengarkan yang baru.

EP ini juga menandai mulainya dominasi kreatif Kevin Shields. Dengan obsesinya terhadap detail, Shields memastikan setiap suara, nada, dan efek reverb dalam lagu mereka terdengar persis seperti yang dia bayangkan.

Dibalik Kesempurnaan "Loveless"

Puncak dari eksperimen musikal My Bloody Valentine datang pada 1991 dengan rilisnya album mereka yang paling ikonik, "Loveless."

Namun, proses pembuatan album ini bukanlah perjalanan yang mudah. Faktanya, proses rekaman "Loveless" dikenal sebagai salah satu yang paling rumit dan penuh tantangan dalam sejarah musik.

Dibutuhkan hampir dua tahun penuh untuk menyelesaikan album ini, dengan biaya produksi yang membengkak hingga sekitar £250,000—angka yang sangat besar untuk band alternatif pada waktu itu.

Mereka bekerja di 19 studio yang berbeda dan melibatkan lebih dari sepuluh teknisi suara. Bayangkan bekerja di sebuah proyek yang tidak pernah tampak selesai, di mana setiap hari adalah pengulangan proses pencarian kesempurnaan.

Kevin Shields, dengan sifat perfeksionisnya, menghabiskan berbulan-bulan memoles setiap detail. Ia menciptakan teknik "glide guitar " menggunakan tremolo arm secara ekstrem untuk menciptakan suara gitar yang bergetar dan melayang. Teknik ini menjadi ciri khas yang segera dikenali dalam setiap karya mereka.

Namun, ambisi kreatif Shields datang dengan harga yang sangat mahal. Biaya yang terus membengkak membuat label rekaman mereka, Creation Records, hampir bangkrut.

Alan McGee, pendiri Creation Records, bahkan mengungkapkan bahwa proses rekaman ini adalah salah satu pengalaman paling menegangkan dalam kariernya.

Meski demikian, ketika "Loveless" akhirnya dirilis, hasilnya adalah sesuatu yang benar-benar baru dan berpengaruh di dunia musik rock alternatif.

Album ini disambut dengan pujian kritis dan dianggap sebagai salah satu karya terbaik di era itu. “Loveless” tidak hanya menjadi album yang merevolusi genre shoegaze, tetapi juga mengubah cara banyak orang memandang musik rock.

Distorsi tebal dan efek reverb yang mendominasi, dikombinasikan dengan teknik vokal yang hampir berbisik, membawa pengalaman mendengarkan ke level yang sama sekali baru.

Penantian Panjang Menuju "m b v"

Setelah perilisan "Loveless," My Bloody Valentine seolah menghilang. Penggemar menunggu dan bertanya-tanya apakah band ini akan kembali. Selama lebih dari dua dekade, tidak ada album baru.

Sesekali, Kevin Shields akan muncul di wawancara dan memberikan harapan bahwa mereka sedang mengerjakan sesuatu, tetapi hasilnya tak pernah jelas.

Ketiadaan ini menciptakan sebuah kultus penggemar yang terus berkembang, meskipun tanpa adanya materi baru.

Lalu, tiba-tiba, pada 2013, seperti kilat di siang bolong, My Bloody Valentine merilis album ketiga mereka, "m b v."

Tanpa peringatan atau promosi besar, album ini muncul di situs web resmi mereka dan langsung memicu kegembiraan yang meluap-luap di kalangan penggemar dan komunitas musik.

"m b v" menyajikan kembali esensi dari "Loveless"—suara yang kaya, penuh, dan atmosferik—tetapi dengan kedewasaan dan kedalaman yang lebih besar.

Ini adalah bukti bahwa meski dengan jeda waktu yang begitu lama, My Bloody Valentine masih mampu memberikan karya yang menggugah hati.

Album ini disambut dengan pujian dari para kritikus. Penggemar lama yang menunggu selama lebih dari dua dekade akhirnya merasa terbayar.

Banyak yang memandang "m b v" sebagai kelanjutan alami dari "Loveless," menunjukkan bahwa meskipun waktu berlalu, My Bloody Valentine tetap memiliki keajaiban untuk menciptakan musik yang relevan dan mempengaruhi generasi baru.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS