Setara Institute soal Revisi UU TNI: Seolah Memutarbalikkan Cita-cita Reformasi

Ilustrasi TNI yang sedang membantu warga di Papua. (Foto: X/@tni_ad)

PARBOABOA, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mendapat sorotan berbagai lembaga pemerhati hak asasi manusia (HAM).

Dalam revisi itu, banyak perubahan yang dilakukan, di antaranya pasal 47 yang memperluas kewenangan prajurit TNI duduk di jabatan sipil dan pasal 39 terkait larangan berbisnis untuk prajurit TNI.

Namun belakangan berkembang, pasal soal larangan berbisnis ini tidak tercantum dalam usulan draf revisi UU TNI yang masuk ke Komisi I DPR.

Salah satu lembaga pemerhati HAM, Setara Institute menilai, revisi UU TNI, seolah memutarbalikkan cita-cita dan amanat reformasi yang selama ini terus dirawat.

Setara mengaku tak sepakat dengan alasan penghapusan pasal 39 karena banyak prajurit yang membantu keluarganya bisnis di warung.

Setara menilai, penghapusan larangan justru membuka pintu keterlibatan TNI dalam bisnis yang lebih besar. Kemudian yang dikhawatirkan, bisa membuat membuat TNI menjadi tak profesional jika terlibat dalam aktivitas seperti itu.

"Juga berpotensi menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis. Misalnya menjadi beking sebuah entitas bisnis," tulis setara.

Sementara soal pasal perluasan kewenangan di jabatan sipil, Setara menilai hal itu seperti dwifungsi TNI yang saat ini terus berupaya dihapus masyarakat lewat reformasi.

Tak hanya itu, perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI juga dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer dan dampak jangka panjangnya, berpotensi memunculkan hutang budi politik.

Diketahui, revisi UU TNI saat ini tengah dibahas di DPR. RUU TNI ini menjadi bagian dari 4 RUU yang mendapat surat presiden (Surpres) dan telah diterima DPR. Yaitu RUU Kepolisian/Polri, RUU TNI, RUU Kementerian Negara dan RUU Keimigrasian.

RUU ini diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR yang disahkan saat Rapat Paripurna pada Selasa, 28 Mei 2024 lalu.

Selain Setara Institute, Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menilai pembahasan kedua RUU itu terkesan terburu-buru karena masa jabatan DPR periode ini akan berakhir pada 30 September mendatang.

Apalagi, dalam membahas Undang-Undang, lanjut Wahyudi, tidak cukup hanya satu kali masa sidang yang rencananya akan dilakukan Agustus mendatang.

Tak hanya itu, sejumlah poin revisi dalam RUU TNI belum mencerminkan masalah aktual di kedua lembaga tersebut.

Oleh karenanya, koalisi masyarakat ingin agar RUU TNI-Polri sebaiknya dibahas oleh DPR periode mendatang, atau periode 2024-2029.

Senada dengan ELSAM, Anggota Fraksi PDIP DPR, TB Hasanuddin juga tak ingin pembahasan RUU TNI dan Polri dilakukan secara tergesa-gesa.

Menurutnya, DPR juga harus mempertimbangkan anggota DPR yang tidak terpilih kembali dan waktu pembahasan yang terlalu mepet dengan pergantian periode. Saat ini DPR sedang memasuki masa reses.

Fraksi PDIP, kata Hasanuddin, akan mendalami substansi revisi undang-undang tersebut dan akan mendengar masukan dari publik sebelum RUU itu benar-benar disahkan.

Hasanuddin menyebut, Fraksi PDIP sepaham dengan koalisi masyarakat sipil terkait beberapa poin yang harus disorot dalam RUU tersebut.

Salah satunya mengenai perpanjangan masa pensiun dan penempatan TNI-Polri di jabatan sipil.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto menepis adanya upaya membangkitkan kembali dwifungsi TNI lewat revisi UU TNI ini.

Hadi juga menegaskan, peran TNI di politik seperti di Orde Baru tak akan terulang lagi, meski revisi UU TNI disahkan.

“Dwifungsi hanya bagian dari masa lalu perjalanan sejarah,” imbuh mantan Panglima TNI ini.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS