PARBOABOA, Jakarta - Potret penegakan hukum pidana dan jaminan akses keadilan di Indonesia sepanjang 2023 terpantau mengalami penurunan.
Hal itu dibahas dalam media briefing Catatan Akhir Tahun 2023 tentang Hukum Pidana dan Akses Keadilan, Banten, Rabu (27/12/2023).
Fachrizal Afandi, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia menjelaskan, berdasarkan skor Indeks Rule of Law (RoL) Tahun 2023, posisi Indonesia berada di angka 0.53, alias sama dengan skor RoL pada tahun 2022.
Sementara berdasarkan Skor Corruption Perception Index (CPI), Indonesia juga mencatatkan angka terendah sejak 2015. Sehingga secara garis besar potret penegakan hukum pidana dan jaminan akses keadilan masih stagnan.
"Data CPI untuk tahun 2022, Indonesia masih memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya yakni 38 point, sehingga menjadi skor Indonesia yang terburuk sejak 2015," tuturnya.
Data skor tersebut kata dia, rilis sebelum Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menjadi tersangka pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, maka besar kemungkinan skor Indonesia ke depan akan lebih buruk.
"Ada ketua KPK, punggawa pemberantasan korupsi itu malah melakukan perbuatan tercela, melakukan pemerasan. Belum lagi kita bilang di kalangan penegakan hukum, belum lagi di tempat lain sebagainya," sambung dia.
Kondisi itu kata dia, sudah terprediksi sejak tiga atau empat tahun lalu, ketika pemerintah merevisi UU KPK, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Saya termasuk yang menolak dan tidak sepakat dengan revisi ini, dan terjadi memang hari ini KPK menjadi lembaga yang kurang dipercaya oleh publik, dibanding sebelum pembaruan UU 19 Tahun 2019," sambungnya.
Apalagi kata dia, sebelum menjabat sebagai Ketua KPK, Firli Bahuri sudah memiliki riwayat buruk yang berkaitan dengan etik, namun justru terpilih memimpin KPK.
Lebih dari itu, hingga saat ini masih ada fenomena "No Viral – No Justice" di mana akses terhadap keadilan masih bergantung pada viralitas kasus.
"Tidak viral tidak mendapatkan keadilan, ini juga menunjukkan bahwa ada masalah dalam sistem peradilan kita. Kasus ditangani oleh aparat penegakan hukum, bukan karena kasus pidana ini merugikan korban yang sangat parah, tapi berdasarkan viral," sambung dia.
Bahkan, sekalipun sudah viral ada juga kasus yang tak kunjung ditangani. Selain soal itu, terdapat juga praktik kekerasan oleh aparat penegak hukum dengan berbagai bentuk. Mulai dari penembakan, penganiayaan, hingga penangkapan sewenang-wenang yang semakin masif tanpa penegakan hukum memadai.
Seperti halnya tragedi Kanjuruhan yang tidak tuntas, termasuk tidak adanya satupun aparat yang diadili dalam kasus tragedi pulau Rempang sehingga menunjukkan impunitas aparat menebal imbas dari politisasi penegakan hukum oleh kekuasaan negara.
Berdasarkan data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahwa sebanyak 622 kasus melibatkan anggota polri. Data tersebut diperoleh KontraS berdasarkan hasil monitoring dan advokasi sepanjang Juli 2022 hingga Juni 2023.
Lebih rinci dari jumlah tersebut, peristiwa kekerasan terbanyak yakni penembakan dengan 440 kasus, kemudian disusul 58 kasus penganiyaan, 41 kasus pembubaran paksa, 46 kasus penangkapan sewenang-wenang, hingga 13 kasus penggunaan gas air mata, dan sejumlah kasus lainnya.
Ia pun menyayangkan putusan pengadilan dari sejumlah kasus yang ada, contohnya saja keputusan terhadap tragedi Kanjuruhan yang lebih menyalahkan faktor angin.
"Jadi korban terkena gas air mata, kemudian berdesak-desakan itu bukan karena tembakan langsung ke Tribun, tapi tembakan yang ke lapangan dan kena angin. Ini baru kasus Kanjuruhan, kemudian di Rempang, apakah ada sanksi terhadap aparat?" paparnya.
Begitu pilu, berdasarkan penelusurannya juga tidak ada satupun sanksi atas kasus tersebut baik sanksi etik maupun pidana. Alhasil begitu kontras impunitas hukum yang terjadi.
Fachrizal menekankan, hingga kini belum ada tindakan konkret dalam memperbaiki kondisi ini.
Misalnya saja, meski UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan pada 2 Januari 2023 membawa semangat baru, namun masih terdapat pasal-pasal yang masih dipertahankan.
"Misalkan penghinaan presiden, kepala negara, wapres dan kawan-kawan, jadi ini plus minus, saya kira yang bisa dilakukan tahun 2024 dengan KUHP baru juga menjadi penting untuk mengubah perspektif dan pemahaman semua pihak tentang hukum pidana," paparnya.
Akses Keadilan
Yang memiliki akses keadilan yang utama menurut dia, yaitu human rights defender seperti halnya pengacara publik, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan siapapun yang membela hak asasi manusia.
"Maka hal itu perlu diperkuat, namun tidak bisa sendiri, pengajar dan akademisi juga harus berperan untuk semakin mengenalkan dirinya terhadap dunia praktik dan juga mahasiswanya, agar dunia tahu bahwa ada problem di dalam hukum pidana," tandas dia.
Editor: Aprilia Rahapit