PARBOABOA, Jakarta - Jalan Ireda, Mergangsan, Yogyakarta tampak sepi pada Senin (06/05/2024) siang. Hanya satu dua kendaraan yang lewat. Beberapa pengemudi memilih melipir ke warung terdekat.
Pemandangan yang berbeda terlihat di Gang Hiperkes 188 A-B, tepatnya di rumah Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Di sana, sekelompok seniman suntuk mengerjakan tumpukan arsip.
Kerja arsiparis demikian telah berlangsung selama tujuh tahun. IVAA sendiri merupakan organisasi nirlaba yang tumbuh dan berkembang dari Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang berdiri sejak tahun 1995.
"IVAA berperan sebagai laboratorium kreatif yang menginisiasi berbagai gagasan dan kegiatan yang mendukung perkembangan seni visual dan budaya kontemporer," ungkap arsiparis Dwi Rahmanto.
Ia menerangkan, dokumentasi IVAA mencakup rekaman proses kreatif seniman serta peristiwa seni visual dalam bentuk foto, audio, video, hingga hibah buku referensi seni visual dan budaya.
"Selain itu, terdapat katalog pameran lokal dan internasional, portofolio seniman, serta salinan karya berbasis foto dan audio," tambah Rahmanto.
Basis data IVAA menyimpan ribuan arsip dan dokumen terkait sejarah secara umum, maupun seni rupa di Indonesia dan internasional secara lebih khusus.
IVAA didirikan atas inisiatif pasangan Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo untuk mengelola arsip sejarah dan seni yang mulai ditinggalkan di Indonesia.
Keduanya memotret gambaran mengenai minimnya pusat pengelolaan arsip, selain lembaga non-kementerian bernama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Dalam sejarahnya, ANRI de facto hadir sejak 28 Januari 1892 saat Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Landsarchief yang bertanggung jawab terhadap arsip-arsip VOC.
Namun demikian, pengesahannya baru terjadi beberapa tahun kemudian melalui UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan yang mengalami perubahan menjadi UU No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan.
Selain ANRI, masyarakat Indonesia juga mengenal Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin yang terletak di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Berdasarkan data yang dipaparkan Kepala ANRI, hingga kini sekitar 80 persen pemerintah daerah belum mencapai target pengelolaan arsip yang baik.
Angka ini berpotensi menyebabkan dokumen-dokumen penting, seperti sertifikat tanah, berpindah tangan ke pihak lain jika tidak dijaga dengan benar.
IVAA sebagai ruang arsip kemudian mengoleksi ribuan data yang terdiri dari foto, rekaman audio visual, dan dokumen sejarah dan seni rupa dari zaman kemerdekaan hingga sekarang.
"Publikasi buku serta kegiatan seperti Pameran dan Festival Arsip menjadi sarana dalam memperluas aksesibilitas arsip kepada masyarakat luas," pungkas Rahmanto.
Kenapa Penting?
Masyarakat sering kali terjebak dalam penilaian keliru soal status arsip sebagai sesuatu yang dianggap kuno, berdebu, dan tertinggal dari perkembangan zaman.
Di Indonesia, pemahaman dan tata kelola arsip tergolong sangat rendah dibandingkan negara maju yang menyadari pentingnya akses cepat dan akurat terhadap data arsip.
Data yang tersistem dengan baik bukan hanya memudahkan administrasi, tetapi juga menjadi acuan penting bagi masyarakat dan pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Meski begitu, di banyak instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, pengelolaan arsip masih jauh dari kata ideal. Arsip menjadi seperti barang rongsok yang 'layak ditinggalkan.'
Sebagai perbandingan, survei yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1992 menyebutkan, volume arsip telah mengalami peningkatan pesat sejak Perang Dunia Kedua.
Pada dekade 1980-an, terjadi ledakan jumlah arsip yang signifikan sehingga sulit untuk mendeteksi seberapa besar peningkatannya dari tahun ke tahun.
Pemerintah Amerika Serikat juga membangun pusat arsip yang berhasil menampung sekitar 70 % dokumen inaktif yang sangat berguna bagi sejarah bangsa.
Upaya tersebut membuahkan hasil positif. Riset akademis semakin berkembang pesat. Aksesibilitas data menjadi sangat luas dan para akademisi serta masyarakat mampu mengetahui kebenaran sejarah.
Pengalaman Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa arsip dan dokumentasi merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia di suatu bangsa.
Arsip sesungguhnya bukan hanya rekaman dari berbagai kegiatan atau peristiwa dalam beragam bentuk dan media, tetapi menjadi pegangan hidup untuk individu dan komunitas.
Peneliti dan fotografer, Arif Furqon dalam kesempatan workshop dengan para seniman residensi Asana Bina Seni Jogja menyebut arsip sebagai bagian integral dari hidup.
"Arsip itu menyatu dengan keseharian. Apapun yang sudah kita buat di masa lalu dan masa kini akan menjadi sejarah yang selalu dikenang," jelas Furqon, Selasa (07/05/2024) lalu.
Karena itu, baginya, kerja pengarsipan menjadi sangat penting dalam membangun sebuah peradaban. Upaya mencatat, merekam, dan menyimpan sejarah akan sangat berguna bagi individu dan komunitas.
"Arsip berfungsi merawat memori kolektif. Foto-foto keluarga atau perjalanan akan menjadi refleksi untuk kehidupan seseorang dalam komunitas," tambah Furqon.
Stella Rimington, seorang perempuan arsiparis dari Inggris, telah menunjukkan betapa penting kerja pengarsipan untuk kehidupan pribadi dan sosial.
Berkat ketekunannya dalam mengoleksi arsip dan sejarah bangsa, Rimington diangkat menduduki kepala intelijen keamanan nasional yang terkenal di dunia (M15) sejak 1992.
Di Indonesia, sosok H.B Jassin dan Pramoedya Ananta Toer juga menunjukkan kerja-kerja kreatif serupa. Mereka akhirnya dikenal sebagai tokoh yang memberi pengaruh besar untuk kemajuan dan peradaban bangsa.
Gorong-Gorong Gelap
Pegiat Klub Literasi Progresif (KLiP), Nanang Djamaludin pada Rabu (04/09/2024) membeberkan sulitnya kerja pengarsipan di Indonesia. Selain karena minat, kendala terbesar adalah soal dana.
Padahal, menurut Nanang, seorang arsiparis berperan sangat penting untuk mengabadikan detail masa lalu, masa kini, dan melestarikan masa depan sebuah bangsa.
"Para arsiparis atau para dokumentator di Indonesia seakan dipaksa masuk ke gorong-gorong gelap dengan anggaran kecil," ungkap Nanang yang juga pegiat Jaringan Anak Nasional (JARANAN).
Pernyataan Nanang beralasan. Kurangnya dukungan dana dari pemerintah terhadap kerja pengarsipan membuat masyarakat kehilangan jejak pada sejarah bangsa.
Sebagai informasi, pada tahun 2024, ANRI hanya menerima Rp 282 miliar dari APBN. Sementara, Perpusnas diberikan anggaran sejumlah Rp 721 miliar. Padahal RAPBN 2025 Indonesia tercatat sebesar Rp3.613 triliun
“Bagaimana para penjaga, perawat, dan pelestari memori kolektif bangsanya atau provinsinya itu akan mampu menjadi seperti Stella Rimington?” tanya Nanang.
Di pihak lain, Nanang tetap optimis ketika melihat adanya sebuah gerakan “sadar arsip” yang berlangsung di masyarakat lewat pemilu, baik Pemilu 2014 hingga Pemilu 2024.
Sejak Pemilu 2014, misalnya, orang ramai memfoto, merekam dengan hp dan mendokumentasikan hasil pemilu di TPS-nya beserta kecurangan-kecurangan yang terjadi di wilayah mereka.
Atau pada tahun 2024, masyarakat juga secara kreatif membuat aplikasi yang mudah diakses, seperti jagasuaramu.id, wargajagasuara dan jagasuara2024.
Meskipun kesadaran masyarakat tentang pentingnya arsip pemilu tercatat mencapai ribuan orang, jumlah tersebut masih kalah banyak dengan ratusan juta orang yang tidak peduli dengan kerja serupa.
Berhadapan dengan persoalan ini, Kementerian PAN RB yang diwakili mantan Menteri Asman Abur menggarisbawahi pentingnya peningkatan jumlah dan kompetensi arsiparis di berbagai instansi.
Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk membuka program studi kearsipan dinilai sebagai langkah strategis dalam mencetak tenaga profesional di bidang arsiparis.
Selain itu, ANRI diminta untuk memastikan setiap instansi memiliki unit kearsipan yang mandiri dan didukung oleh sarana dan prasarana memadai, serta arsiparis yang kompeten.
IVAA Yogyakarta telah menunjukkan tren positif. Kini, kolaborasi lintas sektor dibutuhkan untuk mendukung pusat pengelolaan arsip yang mewadahi kebutuhan masyarakat.
Langkah tersebut menjadi alarm bagi seluruh pihak untuk segera melakukan perbaikan yang menyeluruh agar arsip tidak lagi dipandang sebelah mata, melainkan sebagai aset penting bangsa.