PARBOABOA, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen, sebagai syarat masuk parlemen.
Namun begitu, keputusan ini belum tentu jadi angin segar bagi partai gurem yang selama ini gagal melaju ke senayan karena terkendala ambang batas.
Selain karena aturan ini baru berlaku di pemilu 2029, MK dalam putusan yang dibacakan Kamis (30/2/2024) juga tidak secara tegas mengatur angka ambang batas yang tepat.
MK hanya memutuskan parliamentary threshold 4 persen yang diatur dalam pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dinyatakan konstitusional sepanjang masih berlaku di pemilu DPR 2024.
Kemudian dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang digunakan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, setelah dilakukan serangkaian perubahan.
Perubahan yang dimaksud MK adalah perbaikan yang dilakukan anggota DPR di senayan sebagai bagian dari tugas legislasi mereka.
MK sebatas memberikan catatan, antara lain: perubahannya nanti harus bisa digunakan secara berkelanjutan, harus dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem Pemilu proporsional serta harus melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat.
Putusan MK ini tentu saja memantik diskusi publik luas, tak hanya terkait bagaimana pemberlakukannya nanti tetapi juga soal sejarah parliamentary threshold di Indonesia.
Lantas bagaimana sejarah parliamentary threshold di Indonesia?
Sejarah Parliamentary Threshold di Indonesia
Parliamentary threshold merupakan syarat minimal sebuah partai politik agar dilibatkan dalam penentuan kursi anggota DPR.
Aturan ini berawal ketika pada pemilu tahun 1999 Indonesia menerapkan sistem ambang pemilihan atau electoral threshold.
Ketika itu electoral threshold yang digunakan hanya sebesar 2 persen mengacu pada UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilu.
Kemudian pada pemilu berikutnya tahun 2004 berdasar ketentuan Undang-Undang No 12 tahun 2003, syarat electoral threshold ditingkatkan lagi menjadi 3 persen.
Memasuki pemilu 2009 aturan electoral threshold diganti dengan parliamentary threshold. Pertimbangannya pada waktu itu adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian.
Persis, dari 38 jumlah partai politik yang ikut kontestasi pemilu 2009, dengan menggunakan sistem ambang batas parlemen 2,5 persen partai yang lolos ke senayan hanya 9.
Berikutnya di pemilu tahun 2014 dengan aturan yang sama, dari 12 parpol yang ikut berkontestasi hanya 10 partai yang dinyatakan lolos ke senayan.
Lalu mengacu pada UU Nomor 7 tahun 2017, pemilu DPR tahun 2019 dan 2024 menggunakan parliamentary threshold sebesar 4 persen.
Pada tahun 2019 dari 16 parpol peserta pemilu hanya 9 partai yang lolos ke senayan. Kemudian di pemilu 2024 tahun ini, berdasarkan real count sementara KPU dari 24 parpol yang berkontestasi hanya 8 yang dinyatakan lolos.
Itulah sejarah parliamentary threshold yang diterapkan di Indonesia. Dalam perjalanannya, aturan ini memicu pro kontra dengan basis argumentasi yang bermacam-macam.
Yang pro menyatakan parliamentary threshold tetap dibutuhkan untuk menyederhankan sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Sementara pihak yang menolak mengaitkan argumentasi mereka dengan potensi diskriminasi terhadap partai-partai baru.