PARBOABOA, Jakarta - Pengamat Politik Rocky Gerung kembali ramai disorot setelah dilabrak seorang wanita usai menjalani pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Jakarta Selatan, Rabu (7/9/2023).
Dalam sebuah video yang beredar, terlihat sejumlah orang yang mengenakan kaos putih bertuliskan 'Gerakan Nasional Tangkap Rocky' sedang menunggu eks dosen Filsafat Universitas Indonesia itu di Bareskrim Polri.
Kemudian, seorang wanita dengan rambut sebahu sambil mengenakan kaca mata hitam menghampiri Rocky yang didampingi Haris Azhar dan beberapa pengawal.
Awalnya, wanita yang tidak diketahui identitasnya itu menanyakan kabar Rocky dengan santun. Namun, tanpa diduga ia langsung mencecar Rocky dengan sejumlah pertanyaan dengan nada yang tinggi.
Wanita tersebut bahkan ikut mendorong Rocky. Haris Azhar yang berdiri di samping Rocky kemudian mengingatkan sang wanita untuk tidak melakukan kontak fisik ke Rocky Gerung.
Rocky dan rombongan akhirnya masuk kembali ke ruangan dibantu beberapa personil polisi untuk menghindari keributan.
Sederet Kontroversi
Sebelumnya, Rocky diperiksa terkait pernyataannya yang diduga menghina Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Dalam video yang beredar, akademisi kontroversial ini awalnya menyinggung soal proyek IKN.
Menurut Rocky, proyek IKN merupakan upaya Presiden Jokowi untuk mempertahankan legasinya. Jokowi bahkan dituding hanya memikirkan dirinya sendiri, bukan nasib rakyat. Ia kemudian menyebut Presiden Jokowi 'bajingan tolol'.
Setelah pernyataan kontroversialnya itu beredar luas di media sosial, banyak pihak yang geram dan ramai-ramai melapor Rocky ke polisi.
Salah satunya adalah Organisasi sayap PDI Perjuangan, Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi Perjuangan (REPDEM). Selain itu, laporan juga dilayangkan politikus PDIP Ferdinand Hutahaean juga ke Polda Metro Jaya pada 1 Agustus 2023.
Jauh sebelumnya, pendiri SETARA Institute ini memang kerap melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial ke publik. Tak jarang, banyak orang yang merasa terganggu dan geram dengan celotehannya itu, meski banyak juga yang mendukung Rocky.
Pada 10 April 2018 lalu, Rocky sempat menjadi bahan pergunjingan publik setelah menyebut kitab suci sebagai fiksi.
Pernyataan itu diucapkan ketika ia menjadi narasumber di salah satu stasiun televisi swasta. Menurutnya, fiksi merupakan energi yang dihubungkan dengan telos (tujuan akhir), dan hal tersebut baik.
Ia kemudian menyebut bahwa fiksi itu berbeda dengan fiktif yang berkonotasi buruk. Lalu, ia kembali bertanya, Apakah kitab suci fiksi atau bukan?.
Menurutnya, jika ia memakai arti bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci adalah fiksi, karena menuntun semua orang untuk berpikir imajinatif. Sayangnya, pernyataan Rocky ditanggapi berbeda oleh sejumlah pihak dan berujung pada laporan polisi.
Setahun setelahnya pada 2019, Rocky kembali disorot setelah melayangkan kritikan keras ke Presiden Jokowi. Pria berdarah Manado itu menyebut Presiden tidak paham Pancasila.
Tesis Rocky sebetulnya berangkat dari klaim sejumlah pihak yang mengatakan paling pancasilais dibandingkan kelompok lainnya. Karena itu, ia mempertanyakan siapa yang berhak menentukan standar seseorang pancasilais dan yang lainnya tidak.
Menurutnya, Jika Presiden Jokowi seorang yang pancasilais, maka ia seharusnya mengerti makna yang terkandung pada setiap sila, karena itu ia tidak akan berhutang ke luar negeri hingga menaikkan premi BPJS.
Kritikannya itu berujung pada laporan polisi, meskipun akhirnya tidak dipenjara.
Dicap Sofis
Harus diakui, Filsafat sukses mempengaruhi nalar publik hari-hari ini. Kehadiran Rocky yang meramaikan konstelasi politik dengan sejumlah kritikan tajam berbasis argumen filosofis, seakan memberi warna baru dalam diskursus politik Indonesia.
Rocky yang semakin sering tampil di publik menjelang pemungutan suara Pilpres 2019 lalu itu, membawa satu pesan, bahwa publik mesti merawat akal sehat ketika berhadapan dengan praktik-praktik politik kekuasaan yang melenceng.
Namun, di tengah namanya yang makin melambung dan mendapat penerimaan hangat, sejumlah orang mulai mempertanyakan klaim-klaim filosofis akdemisi yang pernah disebut genit oleh Bonny Hargens itu.
Mereka adalah sejumlah akademisi filsafat lintas kampus. Para akedemisi ini kemudian mematerialisasikan pertanyaan-pertanyaan itu lewat diskusi bertajuk ‘‘Menolak Pembusukan Filsafat’ yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2019).
Diskusi tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa Rocky bukanlah seorang filsuf sebagaimana yang disematkan kebanyakan orang, melainkan kaum sofis. Mereka juga menolak praktik sofisme sebagai permainan tipu daya yang dibungkus kelihaian retorika.
Lantas, Apa itu kaum sofis?
Dalam sejarah peradaban filsafat, istilah sofisme maupun sofis pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-5 SM di Yunani Kuno. Saat itu, Athena di bawah komando Perikles menjadi sentral ilmu pengetahuan dan peradaban budaya.
Di sisi lain, demokrasi pun dihidupkan dalam diskursus-diskursus ketat yang melibatkan rasionalitas. Orang Athena paham betul, demokrasi hanya bisa berjalan jika diisi oleh politikus-politikus yang cakap dengan kemampuan argumentasi yang mumpuni.
Karena itu, retorika menjadi salah satu kebutuhan yang wajib dipelajari politikus sebelum mengemban jabatan publik, kala itu.
Di tengah tuntutan tersebut, muncul orang-orang yang mempunyai kemampuan retorika. Mereka kemudian menyediakan jasa sebagai mentor dari para politikus. Orang Athena menyebutnya kaum sofis.
Mengutip Ensiklopedia Filsafat Stanford, sofis berasal dari kata shopos, yang berarti ‘orang bijaksana’. Para sofis adalah guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu retorika, tetapi juga mengajar matematika, astronomi, hingga tata bahasa.
Mereka bahkan menguasai ilmu ontologi sebagai salah satu cabang Filsafat. Selain itu, kefasihan dalam hal metodologi, logika dan keterampilan berbicara membuat mereka sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat Athena. Namun, pemaknaan ini mengalam ipergesaran dalam perjalanan waktu.
Protagoras, Gorgias, Prodikos, hingga Kritias, merupakan sejumlah sofis yang sangat populer di jaman Athena, saat itu. Mereka begitu dekat dengan kekuasan dan para elite Athena. Bahkan, Protagoras tercatat turut merumuskan konstitusi bagi koloni Athena di Thurioi.
Kehadiran kaum sofis di Athena rupanya mengganggu Socrates, salah satu Filsuf besar dalam peradaban Filsafat Barat Kuno. Dalam sejumlah dialog yang ditulis muridnya, Plato, Socrates mengaku resah dengan pergerakan kaum Sofis yang mulai menguasai Kota Athena.
Dalam dialog berjudul Protagoras misalnya, kaum sofis digambarkan Socrates sebagai 'pedagang yang menjual barang rohani'. Karena itu, ia mewanti-wanti anak-anak muda Athena untuk selalu waspada dengan barang dagangan kaum sofis tersebut.
Dalam dialog itu, Socrates menunjukkan bahwa para sofis yang terkesan mengetahui segala hal, tetapi sebetulnya mereka tidak mengetahui apa-apa. Ia kemudian menuduh kaum sofis sebagai orang-orang pragmatis yang hanya menjual kata-kata belaka.
Dalam perspektif Socrates, tuduhan tersebut setidaknya bersandar pada tiga hal. Pertama, kebiasaan kaum sofis yang meminta bayaran. Kedua, ajaran relativisme, yang menekankan semua sudut pandang sama validnya dan bahwa semua kebenaran relatif terhadap individu. Ketiga, dalil argumentasi yang tidak peduli terhadap keutamaan (arete).
Socrates sendiri memilih cara hidup yang berbeda dengan kaum sofis. Ia tidak pernah meminta bayaran. Hal itulah yang membuat hidupnya miskin. Selain itu, Socrates tidak memiliki pengikut sebagaimana kaum sofis. Ia hanya berjalan-jalan ke Agora (pasar), sambil mengajak setiap orang untuk berdialektika, mempertanyakan segala sesuatu.
Socrates tidak juga menjadi mentor dari para politikus yang menduduki jabatan-jabatan strategis di negara kota (polis). Dia tak mendapat panggung sama sekali, dan memilih untuk menjadi oposisi.
Dalam Apologia yang ditulis muridnya, Plato, Socrates menyebut dirinya sebagai 'lalat pengganggu'. Ia bahkan tidak lagi peduli dengan pemerintah Athena yang akan memberinya hukuman mati lantaran sikap kritisnya.
Editor: Andy Tandang