PARBOABOA, Jakarta – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dinilai sejumlah kalangan berpotensi mengkhianati semangat reformasi.
Bahkan, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya revisi UU TNI tidak urgen dilaksanakan.
“Revisi UU TNI tidak memiliki urgensi dan jika dilanjutkan bisa berpotensi mengkhianati amanat reformasi,” tegas Dimas kepada PARBOABOA, Jumat (7/10/2023).
Reformasi, kata Dimas, mengamanatkan prajurit TNI kembali ke barak. TNI, tidak boleh lagi terlibat aktif dalam urusan masyarakat sipil, hanya fokus pada tugas menjaga kedaulatan negara.
“Hubungan sipil-militer harus dipertegas. Militer tidak boleh lagi terlibat secara aktif dalam urusan-urusan sipil. Oleh karena itu lahirlah UU TNI yang mana isinya banyak membatasi kewenangan TNI dalam terlibat urusan sipil,” tegasnya.
Dimas mencontohkan, pada draft revisi UU TNI, kewenangan prajurit TNI diperluas misalnya dapat melakukan operasi militer selain perang.
Anggota TNI, lanjut Dimas, bakal dilibatkan menanggulangi kejahatan siber, penanggulangan narkotika dan turut aktif terlibat dalam agenda pembangunan pemerintah.
“Menurut kami ini merupakan suatu upaya yang pada akhirnya akan memunculkan sistem militer dominan, dimana militer akan sangat terlibat aktif dalam upaya-upaya penegakan hukum yang sebenarnya bukan domain mereka. Kemudian relasi antara sipil-militer, militer akan semakin menguat,” jelasnya.
Desakan Revisi UU Peradilan Militer
Koordinator KontraS, Dimas juga meminta DPR merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, alih-alih merevisi UU TNI.
Apalagi, UU Peradilan Militer sudah usang karena dibuat sebelum reformasi terjadi.
“UU Peradilan Militer dibentuk tahun 1997, seharusnya direvisi dan mengalami penyempurnaan terutama untuk memasukkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia,” ungkapnya.
Revisi UU Peradilan Militer, menurut Dimas, sangat mendesak memberikan kepastian hukum terhadap anggota TNI. Termasuk, masih abu-abunya domain penegakan hukum terhadap anggota TNI.
Ia mencontohkan, hal itu terjadi dalam kasus Kepala Basarnas yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka, Juli lalu.
“Kasus itu bentuk kebingungan TNI dan intervensi TNI dalam kasus korupsi Basarnas. Itu kan ada rebutan domain hukum, siapa yang berwenang. Apakah menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis,” jelasnya.
“Ini harus diperjelas dengan revisi UU Peradilan Militer. Ini juga kan jadi janji kampanye Jokowi,” imbuh Dimas.
Respons Aktivis HAM
Selain KontraS, aktivis HAM, Sumarsih juga berharap prajurit TNI tidak mencampuri urusan masyarakat dalam menduduki jabatan sipil.
Ia mengingatkan, sebaiknya prajurit TNI fokus pada tugas dan kewajibannya sebagai aparat negara sebagaimana diatur undang-undang.
“Sebaiknya kembalikan TNI ke ranah tugas dan kewajibannya sebagai aparat negara, menjaga kedaulatan negara,” tegas Sumarsih kepada PARBOABOA.
Ia juga menilai tugas prajurit TNI menjaga kedaulatan negara belum maksimal. Contohnya, masih banyak pulau terluar Indonesia yang hilang dan diakui negara lain.
“Kalau ditelusuri kan banyak pulau-pulau di Indonesia yang dijual dan diakui negara lain, itu kan tugasnya tentara. Ada patok batas wilayah hilang, itu kan mestinya jadi tugas mereka,” jelas Sumarsih.
Editor: Kurniati