PARBOABOA, Jakarta - Masalah truk dengan muatan berlebih atau Over Dimension Overload (ODOL) menjadi isu serius yang mendapat perhatian pemerintah dan pengelola lalu lintas di Indonesia.
Fenomena ini sering dikaitkan dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Data Korlantas Polri, misalnya menyebut bahwa selama lima tahun terakhir, tercatat sebanyak 349 kecelakaan.
Adapun rinciannya adalah 107 kasus (2017), 82 kasus (2018), 90 kasus (2019), 20 kasus (2020), dan 50 kasus (2021). Sebagian besar kasus disebabkan kelalaian yang berakhir pada kematian.
Data ini menunjukkan fluktuasi angka kecelakaan, dengan penurunan signifikan pada tahun 2020 yang dipengaruhi oleh pembatasan mobilitas selama pandemi.
Namun, pada tahun 2021, angka tersebut kembali meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ODOL tetap menjadi ancaman serius di jalan raya.
Sejumlah sopir yang diwawancara PARBOABOA dalam laporan khusus, Senin (09/12/2024) menerangkan keberadaan truk ODOL menyimpan persoalan tersendiri.
Dari sekian banyak penyebab, sorotan utama kerap tertuju pada sopir alias orang di balik kemudi. Sementara dari kaca mata sopir, ODOL sesungguhnya juga merupakan momok.
Ketua Forum Komunitas Pengemudi Nasional, Asep Dani, menyebut bahwa mengemudi truk ODOL seperti bertaruh nyawa. Segala keterampilan pengemudi benar-benar diuji.
"Kok seakan-akan pengemudi itu siap mati dengan over dimension-overloading," ujar Asep kepada PARBOABOA belum lama.
Menurutnya, sopir sering kali tidak memiliki pilihan selain mematuhi perintah perusahaan untuk membawa muatan berlebih.
"Kalau tidak mengikuti perintah, kami bisa kehilangan pekerjaan," imbuhnya.
Perintah tersebut jelas bertentangan dengan regulasi sebagaimana diatur pemerintah. Salah satunya Peraturan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penetapan Jenis dan Fungsi Kendaraan.
Pasal 71 ayat (1) dalam beleid tersebut menetapkan bahwa setiap pengemudi dan/atau perusahaan angkutan umum harus mematuhi aturan mengenai tata cara pemuatan barang, kapasitas angkut, ukuran kendaraan, serta jenis jalan yang diperbolehkan.
Sementara pengawasan muatan barang dilakukan melalui pemeriksaan tata cara pemuatan barang, pengukuran dimensi kendaraan angkut, penimbangan beban keseluruhan atau tekanan pada tiap sumbu kendaraan, serta verifikasi dokumen, seperti daya angkut dan kelas jalan yang diperbolehkan.
Pengawasan ini dilaksanakan di sejumlah lokasi, antara lain Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB), tempat istirahat (rest area), kawasan industri dan pelabuhan, serta terminal barang dan ruas jalan tertentu.
Selain itu, pengawasan dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang lalu lintas, Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor, dan petugas Kepolisian.
Hal ini menjadi prioritas terutama jika terjadi peningkatan pelanggaran, kerusakan jalan akibat muatan berlebih, atau ketiadaan alat timbang permanen di jalur tertentu.
Sanksi Hukum
Pelanggaran terhadap regulasi ODOL sebagaimana diatur dalam UU membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi pengemudi maupun pemilik kendaraan.
Pengemudi yang melanggar aturan dapat dikenakan denda yang besar hingga sanksi pidana apabila pelanggaran tersebut memicu kecelakaan atau kerusakan fasilitas publik.
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memuat sanksi tegas bagi pelaku ODOL.
Menurut Pasal 307, pengemudi truk yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, atau dimensi kendaraan dapat dijatuhi pidana kurungan hingga dua bulan atau denda maksimal Rp500.000.
Peraturan-peraturan ini tak jarang dilanggar pengusaha truk ODOL. Mereka bahkan dengan berani meminta pengemudi memuat angkutan saat kendaraan dalam keadaan kurang baik.
Karena itu, upaya pemerintah untuk memperketat pengawasan dan menerapkan sanksi menjadi langkah penting untuk menciptakan kondisi lalu lintas yang lebih aman dan teratur.
Dengan mematuhi aturan yang ada, semua pihak dapat berkontribusi untuk mengurangi risiko dan kerugian akibat ODOL.