Putusan Kontroversial, PSHK Desak Anwar Usman Mundur dari Hakim MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta – Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman didesak mengundurkan diri dari jabatannya imbas putusannya yang kontroversial soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Desakan itu disampaikan Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi.

“Kepemimpinannya justru menjadikan MK menjelma sebagai lembaga yang tidak independen dan cenderung menjadi pendukung dari pemerintah dan DPR,” ujarnya kepada PARBOABOA, Selasa (17/10/2023).

Fajri lantas menyoroti keberpihakan Anwar Usman yang turut mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia minimal 40 tahun calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Keberpihakan itu, lanjutnya, menimbulkan konflik kepentingan karena Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka digadang-gadang bakal maju sebagai cawapres 2024.

“Atas posisinya dalam penanganan perkara itu, Anwar Usman telah melanggar prinsip ketidakberpihakan Sapta Karsa Hutama berdasarkan Peraturan MK Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” tegas Fajri.

Padahal, kata dia, Anwar Usman tidak perlu terlibat pemeriksaan perkara a quo karena anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan tersebut.

Bahkan, kata Fajri, Ketua MK Anwar Usman seharusnya menyatakan mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara a quo tersebut.

Selain mengundurkan diri, Anwar Usman bisa saja dipecat tidak hormat, namun, harus ada yang melaporkan dugaan pelanggaran etik itu ke Majelis Kehormatan MK.

“Pintu masuknya bisa lewat pelanggaran etik yang jadi kewenangan Majelis Kehormatan MK. Potensi dugaan pelanggaran bisa merujuk kepada dissenting opinion hakim Saldi Isra dan Arif Hidayat,” tegas Fajri.

Sebelumnya, Ketua MK, Anwar Usman disinyalir menjadi dalang di balik Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia calon presiden-calon wakil presiden minimal 40 tahun atau pernah menduduki jabatan kepala daerah.

Dugaan itu muncul ketika MK begitu cepat mengubah pendirian dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan seorang mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA) bernama Almas Tsaqibbirru Re A.

Padahal, menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK sebelumnya telah memutus tiga perkara sekaligus yang substansinya sama yakni gugatan batas usia capres-cawapres.

“Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” katanya saat sidang pleno terbuka di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Dalam tiga putusan MK nomor 29-51-55/PUU/XXI/2023, mahkamah dengan tegas menolak gugatan batas usia minimal 40 tahun capres-cawapres.

MK secara eksplisit, lugas dan tegas menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya atau open legal policy.

Bahkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus tiga perkara yang ditolak MK itu, kata Saldi, Anwar Usman selaku Ketua MK tidak hadir.

Hanya saja, pendirian MK mulai berubah saat membahas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. RPH perkara itu dihadiri sembilan hakim, termasuk Ketua MK Anwar Usman, 21 September 2023 lalu.

Menurut Saldi, beberapa hakim konstitusi yang dalam perkara sebelumnya telah berpendapat Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 sebagai open legal policy, tiba-tiba tertarik dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Ketertarikan itu, tambah Saldi, membuat pembahasan perkara Nomor 90 menjadi alot dan membuat pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali hingga akhirnya diputuskan mengabulkan sebagian permohonan pemohon.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS