PARBOABOA, Jakarta - Soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kekhususan Jakarta (DKJ), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan dirinya lebih memilih jika wakil gubernur dipillih langsung oleh rakyat.
Ia menilai bahwa alangkah baik kalau rakyat langsung memilih kandidat pemimpin suatu daerah, bukan melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Kalau tanya saya, ya gubernur dipilih langsung (rakyat),” papar Jokowi di Kali Sentiong, Jakarta Utara, Senin (11/12/2023).
Namun, yang menjadi sorotan adalah aspek penunjukan dan pemberhentian gubernur dan wakilnya oleh presiden, dengan mempertimbangkan usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ide ini bahkan mendapat penolakan dari mayoritas fraksi di DPR, termasuk PDIP, Golkar, PKS, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Demokrat.
Fraksi Gerindra tetap mendukung usulan penunjukan langsung gubernur oleh Presiden, dengan pengecualian bahwa usulan atau pendapat DPRD Provinsi Daerah Khusus Jakarta tetap dipertimbangkan.
Sementara Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai bahwa usulan ini berpotensi memunculkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisma (KKN).
Dengan mengusulkan penunjukan gubernur oleh Presiden, dapat mengurangi akuntabilitas langsung pemimpin daerah kepada warganya.
Perhatian tidak hanya terfokus pada siapa yang memilih, tetapi juga pada dampak keputusan tersebut terhadap keterwakilan dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Lanjut dia, RUU DKJ, dapat memicu kekhawatiran tentang erosi otonomi daerah. Selain masalah administratif, juga mempengaruhi kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Achmad memadang bahwa RUU DKJ juga akan memengaruhi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Apalagi dengan kebutuhan anggaran yang mencapai Rp 466 triliun.
Pemerintah berencana untuk membiayai hanya sekitar 20 persen dari total anggaran melalui APBN, sementara sisanya diharapkan berasal dari investasi swasta dan sumber lainnya.
"Jika IKN gagal terwujud atau mengalami penundaan signifikan karena kekurangan dana, maka perubahan yang diusulkan dalam RUU DKJ mungkin menjadi tidak relevan yang berujung kesia-siaan,” sambung dia.
Ketidakpastian seputar IKN juga mencuatkan pertanyaan apakah perubahan yang diusulkan dalam RUU DKJ masih akan efektif dan relevan jika rencana pemindahan ibu kota mengalami hambatan atau perubahan signifikan.
Dalam konteks ini, RUU DKJ dan rencana pemindahan ibu kota tidak hanya menjadi masalah administratif atau politik, tetapi juga menyangkut pertimbangan ekonomi yang luas.
"Keputusan terkait RUU DKJ dan IKN harus dibuat dengan mempertimbangkan realitas ekonomi saat ini dan proyeksi masa depan, agar tidak menimbulkan beban finansial yang tidak perlu atau mengorbankan proyek-proyek penting lainnya yang juga membutuhkan dukungan anggaran,” tandas Achmad.
Editor: Aprilia Rahapit