Pilkada Serentak Di Tengah Kendali Rezim Ekstraktif

Ilustrasi pencoblosan pilkada serentak 2024. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - Pilkada serentak yang berlangsung hari ini, Rabu (27/11) 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Dalam tataran idealisme politik, ini merupakan kesempatan sekaligus wadah untuk memilih pemimpin yang mampu memperjuangkan kepentingan rakyat di tingkat lokal.

Namun, Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM membacanya dari perspektif yang berbeda, mengacu pada kondisi riil belakangan.

JATAM menilai, agenda lima tahunan ini lebih terlihat sebagai upaya melanggengkan kekuasaan elite politik dan ekonomi yang telah mendominasi arah pembangunan nasional.

Hal itu, kata mereka, punya pertalian dengan watak kekuasaan yang dikendalikan sepenuhnya oleh kebijakan rezim ekstraktif.

Rezim ekstraktif ini, bermula dari kekuasaan Presiden Jokowi dan diteruskan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran sekarang.

Maka, dalam konteks Pilkada 2024, Prabowo dinilai punya kepentingan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tersebut.

"Pencarian kepala daerah (2024) sesungguhnya adalah mencari pelayan kepentingan pemerintahan Prabowo untuk mengamankan daerah-daerah yang menjadi objek ekstraktivisme," terang JATAM dalam rilis resmi yang diterima Parboaboa.

JATAM menerangkan, Pemerintahan Presiden Jokowi telah membuka jalan lebar bagi investasi ekstraktif dengan dalih transisi energi. Bersamaan dengan itu, berbagai kebijakan yang diambil memberi ruang besar bagi proyek-proyek hilirisasi sumber daya alam seperti gasifikasi batubara dan eksploitasi panas bumi. 

Dengan karpet merah yang digelar untuk para pelaku industri besar, arah kebijakan itu menjadi sulit untuk dihentikan, bahkan di bawah kepemimpinan baru Prabowo-Gibran. 

Prabowo, yang berpotensi melanjutkan warisan ini, kata JATAM, telah diuntungkan dengan perangkat regulasi yang dirancang untuk melegitimasi proyek-proyek besar tersebut.

"Proyek-proyek tersebut akan digarap dan dituai manfaatnya oleh para pebisnis ekstraktif yang berada di lingkaran Prabowo-Gibran, yang beberapa di antaranya berada di balik partai."

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045 dan Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2030 menjadi acuan utama arah transisi energi Indonesia. 

Dalam dokumen RPJPN 2045 yang tebalnya mencapai 293 halaman, pemerintah menargetkan percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis panas bumi, air, surya, angin, hingga nuklir dan hidrogen. Selain itu, pengembangan infrastruktur kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi secara massal menjadi salah satu fokus utama.

Untuk mempercepat implementasinya, proyek-proyek ambisius itu diberi status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendapatkan dukungan pembiayaan internasional seperti AZEC, JETP, dan Belt and Road Initiative. 

Label "keberlanjutan" disematkan pada proyek-proyek ini, meskipun di lapangan, sering kali ada dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat.

Politik Energi Bertujuan Merampas

Pilihan strategi transisi energi yang diambil Indonesia saat ini tampak masih berfokus pada pergantian sumber energi, dari yang dianggap "kotor" seperti batubara, menuju sumber energi yang dianggap "bersih" seperti panas bumi atau surya.

Menurut JATAM, pendekatan semacam ini mengabaikan banyak aspek penting lainnya yang berhubungan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Antara lain, tidak memperhitungkan perlindungan hak-hak asasi manusia, perlindungan biodiversitas, perlindungan sumber pangan dan perlindungan sumber air bersih.

"Juga perlindungan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hingga perlindungan terhadap masyarakat adat," kata JATAM.

Itulah sebabnya JATAM menyayangkan warisan Presiden Jokowi melalui berbagai kebijakan yang memberi legitimasi untuk eksploitasi besar-besaran sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Dampaknya terasa di seluruh penjuru negeri dan menimbulkan kerusakan multidimensi. 

Salah satu warisan kebijakan yang paling kontroversial dalam temuan mereka adalah Omnibus Law, yang rampung hanya dalam 100 hari kerja oleh DPR dan pemerintah. Undang-undang ini, disahkan pada 2 November 2020, merevisi 81 undang-undang sekaligus dan mencabut dua undang-undang lainnya.

Meski Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat karena melanggar UUD 1945, pemerintah dan DPR memilih untuk tidak memperbaikinya. 

Sebaliknya, mereka menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 dengan dalih situasi darurat dan ketidakpastian hukum. 

Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan UU Cipta Kerja. Regulasi ini membuka jalan bagi bisnis ekstraktif, termasuk di sektor mineral, batubara, dan panas bumi.

Sepanjang masa jabatannya, JATAM juga mencatat, Presiden Jokowi sering menggunakan kewenangannya untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) demi memperlancar investasi di sektor pertambangan dan energi. 

Beberapa Perpres yang mencuri perhatian publik antara lain terkait percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan, pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai, pengalokasian lahan untuk investasi, serta pengembangan energi terbarukan. 

Semua peraturan ini, kata mereka, memberikan kemudahan luar biasa, mulai dari percepatan proses perizinan, pengadaan lahan, hingga penyelesaian berbagai hambatan hukum yang mungkin muncul.

Salah satu aturan yang paling kontroversial adalah Perpres 76/2024, yang mengubah Perpres 70/2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi. 

Aturan ini secara eksplisit menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan dapat diberikan legitimasi untuk memanfaatkan lahan yang perizinannya dicabut atau diubah, termasuk untuk kegiatan yang bersifat ekstraktif. Menariknya, Perpres tersebut diterbitkan hanya empat bulan sebelum pelaksanaan Pilpres 2024, sehingga menimbulkan spekulasi mengenai motif politik di baliknya.

Di sektor panas bumi, langkah serupa terlihat melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014. Undang-undang ini membuka jalan bagi eksploitasi panas bumi secara besar-besaran dengan mengeluarkannya dari kategori industri pertambangan. 

Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mengelola panas bumi di kawasan hutan produksi dan hutan lindung melalui izin pinjam pakai, serta di kawasan hutan konservasi dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan. 

Selain itu, yang memprihatinkan UU A QUO memberikan sanksi berat bagi masyarakat yang menolak proyek-proyek panas bumi di wilayah mereka. Bahkan, mereka yang diancam hukuman hingga tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 70 miliar.

Menurut JATAM, Kebijakan ini menunjukkan bagaimana pemerintah tidak hanya memprioritaskan kepentingan investasi besar, tetapi juga mengkriminalisasi mereka yang mencoba melindungi ruang hidupnya dari eksploitasi.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS