PARBOABOA - Permasalahan agraria di Indonesia bukanlah cerita baru. Setiap tahun, isu ini terus hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik lahan hingga kebijakan pemerintah yang tak jarang memancing polemik.
Namun, 2024 mencatat dinamika yang cukup unik. Dengan semangat reforma agraria, pemerintah mencoba menunjukkan komitmen untuk menciptakan keadilan di sektor tanah.
Di sisi lain, tantangan-tantangan lama, seperti sengketa tanah, dampak perubahan iklim, dan proyek pembangunan besar, kembali menguji keseriusan pemerintah.
Mengapa agraria begitu krusial? Di balik konflik dan kebijakan, agraria adalah soal hak atas tanah, kehidupan petani kecil, serta keberlanjutan pangan bangsa.
Tahun ini, sorotan terhadap agraria tidak hanya berbicara soal redistribusi tanah, tetapi juga bagaimana isu ini bersinggungan dengan kebutuhan modern: inovasi teknologi, pembangunan infrastruktur, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Apakah 2024 membawa angin segar atau justru menjadi refleksi dari persoalan yang terus berulang?
Mari kita lihat kilas balik perjalanannya, yang penuh dengan dinamika menarik dari awal hingga penghujung tahun, agraria menjadi salah satu topik yang tidak pernah kehilangan relevansi.
Ironi Investasi dan Pembangunan Infrastruktur – Februari 2024
Di awal 2024, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti dampak negatif investasi dan pembangunan infrastruktur pada masyarakat adat selama 2023.
Sebanyak 2,57 juta hektar wilayah adat dirampas melalui manipulasi hukum, kriminalisasi, dan kekerasan, mengakibatkan ratusan korban jiwa, termasuk satu kematian.
Kebijakan seperti Perpres No. 98/2021 dan Peraturan OJK No. 14/2023 semakin meminggirkan masyarakat adat dengan menjadikan wilayah adat sebagai komoditas karbon.
Contoh perampasan mencakup 591.957 hektar hutan di Aru, Maluku, dan penggusuran wilayah adat di Flores oleh proyek energi terbarukan.
Menjelang Pemilu 2024, isu masyarakat adat minim diperhatikan para kandidat, meskipun dampak proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) mengancam keberlangsungan hidup sekitar 20 ribu warga adat.
Sekjen AMAN, Rukka, mengkritik para Capres dan Cawapres yang lebih fokus pada kepentingan politik daripada nasib masyarakat adat.
Pengusiran Paksa Kantor PKBI – Juli 2024
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengecam tindakan Pemkot Jakarta Selatan dan Kementerian Kesehatan yang mengusir dan menghancurkan paksa kantor pusat PKBI di Hang Jebat, Jakarta Selatan, pada 10 Juli 2024 lalu.
Tindakan ini didasarkan pada Pergub DKI No. 207/2016, meskipun PKBI telah menempati lahan tersebut secara sah sejak 1970 berdasarkan SK Gubernur DKI Ali Sadikin.
Ketua KPA, Dewi Sartika, menilai penggusuran ini melangkahi putusan hukum, melibatkan ratusan aparat, dan mencampuradukkan penguasaan tanah dengan praktik penyerobotan. KPA meminta pencabutan Pergub 207/2016 yang dinilai rawan digunakan untuk penggusuran paksa.
PKBI, lembaga yang berdiri sejak 1957 dan dikenal memperjuangkan hak kesehatan keluarga, turut menjadi korban ketidakadilan negara terhadap hak tanah dan bangunan.
AMAN Desak Segera Sahkan UU Masyarakat Adat – Oktober 2024
Pada Oktober 2024 lalu, pelantikan anggota DPR dan DPD RI periode 2024-2029 menjadi momen bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk mendesak pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.
AMAN menilai UU ini penting untuk melindungi hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan, termasuk perampasan lahan, kriminalisasi, dan kekerasan.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menekankan agar DPR dan DPD RI bekerja sesuai amanah rakyat dengan mengutamakan demokrasi, transparansi, serta akuntabilitas.
Mereka juga menyerukan pengawasan ketat terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
AMAN mencatat 11,7 juta hektar wilayah adat telah dirampas dalam 10 tahun terakhir, dengan banyak korban kriminalisasi dan kekerasan.
Oleh karena itu, mereka berharap UU Masyarakat Adat segera disahkan untuk menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Kontroversi Pembebasan Lahan PIK 2 (Liputan khusus Parboaboa)
Pembebasan lahan untuk proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten kembali menuai kontroversi.
Warga menolak relokasi akibat ketidakjelasan skema dan nilai ganti rugi yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Mereka merasa dipaksa menerima tawaran tanpa negosiasi yang adil, dan khawatir uang ganti rugi tidak cukup untuk membangun rumah baru dengan kualitas yang sama.
Beberapa warga juga mengaku mengalami intimidasi dari pihak desa yang mendesak mereka untuk setuju.
PIK 2, yang berstatus proyek strategis nasional (PSN), seharusnya tidak menggusur tanah warga, menurut Kemenko Perekonomian.
Namun, pembebasan lahan di luar kawasan PSN diduga melibatkan praktik yang merugikan masyarakat, dengan keterlibatan aparat desa dan indikasi permainan mafia tanah.
Pembebasan lahan ini seharusnya menggunakan skema transaksi antara pengembang dan pemilik tanah. Sementara itu, pengembang belum memberikan klarifikasi mengenai proses ini.
Tragedi Rempang – September 2024
Tragedi di Pulau Rempang, Batam, menjadi sorotan setelah konflik antara pemerintah dan warga memanas terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Proyek yang direncanakan seluas 165 km² dengan investasi Rp43 triliun ini menghadapi penolakan keras dari masyarakat lokal yang telah tinggal di sana secara turun-temurun.
Pada September 2024, situasi memburuk ketika warga yang menolak penggusuran tanah mereka mengalami kekerasan.
Serangan dari aparat dan kelompok tertentu menyebabkan korban luka di pihak warga. Pemerintah mengklaim tanah tersebut milik entitas swasta, tetapi warga menuntut pengakuan hak atas tanah adat mereka.
Kasus ini mencerminkan konflik agraria yang berulang, di mana proyek pembangunan sering mengorbankan masyarakat lokal tanpa solusi yang adil.
Tragedi Rempang menjadi pengingat penting akan perlunya perlindungan hak masyarakat adat dalam setiap kebijakan pembangunan.
Peran Partai Politik dalam PSN – November 2024
Di akhir 2024, konflik agraria di Indonesia semakin kompleks, terutama akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sering memicu sengketa lahan.
Aktivis Said Didu mengkritik rendahnya nilai ganti rugi tanah warga terdampak PSN Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan menyoroti risiko penggusuran paksa akibat perluasan wilayah PSN.
Ia juga menghadapi tuduhan penyebaran berita bohong, meski mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Data 2023 mencatat 241 konflik agraria yang melibatkan ratusan ribu hektar tanah, utamanya akibat ekspansi korporasi dan proyek infrastruktur.
Kaleidoskop 2024 menunjukkan masalah agraria belum terselesaikan, meski ada peningkatan kesadaran untuk mencari solusi yang lebih adil.
Ke depan, kebijakan agraria perlu memastikan dampak positif bagi masyarakat yang rentan terhadap ketimpangan.