PARBOABOA, Jakarta - Isu dan praktik suap di kalangan hakim mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Praktik semacam ini tidak hanya melanggar kode etik profesi, tetapi juga merusak prinsip keadilan yang menjadi fondasi hukum.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik suap di kalangan hakim telah menjadi isu serius yang berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun.
Dari 2011 hingga Oktober 2024, misalnya sebanyak 30 hakim tercatat menerima suap untuk mengatur putusan pidana.
Fenomena ini muncul secara konsisten, pada 2012 dan 2013, masing-masing ditemukan empat hakim terlibat kasus serupa.
Angka ini berfluktuasi pada tahun-tahun berikutnya, hingga pada 2022 terdapat tiga kasus dan satu kasus pada 2023.
Komisi Yudisial (KY), yang bertugas mengawasi perilaku hakim, juga mencatat jumlah laporan dugaan pelanggaran etik terus meningkat.
Pada 2021, terdapat 2.501 laporan dengan hasil 71 sanksi ringan, 18 sanksi sedang, dan 8 sanksi berat. Di tahun 2022, laporan naik menjadi 2.925 kasus, meskipun sanksi ringan menurun menjadi 14. Sementara itu, sanksi sedang dan berat masing-masing hanya tercatat dua dan tiga kali.
Pada 2023, jumlah laporan melonjak signifikan menjadi 3.593, disertai 15 sanksi ringan, 10 sanksi sedang, dan 17 sanksi berat.
Baru-baru ini kasus suap menyeret 3 hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya atas nama Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.
Ketiganya menerima suap untuk membebaskan Gregorius Ronald Tannur (Ronald Tanur), terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti.
Dalam pengembangan kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menetapkan Zarof Ricar, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, sebagai tersangka.
Zarof diduga bertindak sebagai perantara yang menghubungkan pengacara Ronald, Lisa Rachmat, dengan para hakim yang menangani kasasi Ronald.
Saat penangkapan berlangsung, penyidik berhasil mengamankan barang bukti yang mencengangkan. Di antaranya, uang tunai lebih dari Rp20 miliar, perangkat elektronik, dan catatan transaksi yang ditemukan di rumah para tersangka.
Di kediaman Zarof sendiri, ditemukan uang dalam berbagai mata uang senilai Rp920 miliar serta 51 kilogram emas batangan. Zarof mengklaim bahwa kekayaan tersebut diperoleh dari pekerjaannya sebagai "makelar kasus" yang sudah ia jalani sejak 2012.
ICW menilai bahwa terbatasnya jumlah pengawas di KY dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) membuka peluang bagi hakim di daerah untuk melakukan praktik suap.
Meskipun kedua lembaga tersebut sudah berusaha memetakan pengadilan rawan suap, masih banyak hakim yang diam-diam berkolusi dengan pihak yang berperkara.
Karena itu, peneliti ICW, Diky Anandya menyatakan bahwa pengawasan menyeluruh dari MA, KY, termasuk KPK sangat penting.
Penerapan pengawasan langsung, evaluasi berkala, dan pemetaan pengadilan rawan korupsi, kata dia, diharapkan dapat mencegah niat hakim untuk berbuat curang.
Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, juga mengakui bahwa lemahnya pengawasan adalah salah satu alasan mengapa praktik suap di kalangan hakim masih terjadi. Dua faktor utama pendorongnya adalah kebutuhan pribadi dan keserakahan.
KY, tegasnya, telah melakukan pemantauan dan pelatihan bagi para hakim untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Namun, upaya ini dinilai belum cukup untuk mengurangi praktik suap secara signifikan.
Dalam keterangan terpisah, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menilai, menyebut hakim dengan sebutan 'yang mulia' mengacu pada perilaku mereka belakangan ini sangatlah berlebihan.
Melalui akun X miliknya, @mohmahfudmd, ia mengatakan alih-alih menyebutnya 'yang mulia' (YM) mereka lebih layak disebut "Yang memalukan atau Yang terhinakan atau yang sejenisnya dengan itu, seperti Yang Anu...dan lain-lain" tulisnya dikutip Jumat, (8/11/2024).
Tak hanya itu, menurutnya, kalau di sidang resmi pengadilan, sebutan YM kepada hakim mungkin masih bisa diterima karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan.
Tapi, kalau di luar sidang atau di tempat-tempat lain masih 'bersedia' disebut 'Yang Mulia', apalagi hanya di restoran, itu sungguh berlebihan.
"Saat ini sebutan YM itu menjadi berlebihan. Hakim hadir resepsi nikah, masuk masjid untuk salat, bahkan pergi ke toilet saja disapa dengan "..Silakan Yang Mulia" tulisnya lagi.
Ia menambahkan, sebutan "Yang Mulia" untuk hakim sebenarnya sudah tidak digunakan lagi sejak diterbitkannya Tap No. XXXI/MPRS/1966. Sebutan itu sudah diganti dengan Bapak/Ibu/Saudara.
Kata dia, alasan di balik pencabutan itu karena penyebutan "Yang Mulia" dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila. Istilah tersebut dinilai mengandung unsur feodal dan berbau kolonial, bertentangan dengan semangat kesetaraan.
Di Indonesia, hakim sering disebut sebagai YM atau bahkan "wakil Tuhan," merupakan sebuah istilah yang menekankan kehormatan dan tanggung jawab besar mereka.
Meskipun penyebutan ini tidak tercantum dalam undang-undang (UU) dan aturan resmi, akar penggunaannya bisa ditelisik ke Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan pencantuman kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap putusan hakim.
Ini menunjukkan bahwa hakim bertanggung jawab kepada hukum, masyarakat, dan Tuhan.
Kedudukan hakim yang tinggi di pengadilan menciptakan persepsi bahwa mereka bertindak sebagai perwakilan Tuhan dalam menegakkan kebenaran.
Oleh karena itu, mereka diberi gelar YM atau officium noble, yang melambangkan penghormatan atas integritas dan kejujuran mereka. Walau begitu, hakim tetap manusia yang dapat melakukan kesalahan, termasuk terlibat dalam tindak pidana.
Untuk menjaga kehormatan profesi, Komisi Yudisial (KY) bersama Mahkamah Agung menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
KEPPH memuat prinsip-prinsip seperti adil, jujur, dan bertanggung jawab, yang harus dipegang oleh hakim.
Gelar "Yang Mulia" memiliki sejarah panjang, terkait dengan penghormatan bagi individu berstatus tinggi, termasuk hakim.
Meskipun tak ada aturan formal yang mewajibkan panggilan ini, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 menyebutkan kewajiban menunjukkan sikap hormat kepada hakim.
Panggilan "Yang Mulia" tetap sering digunakan sebagai bentuk penghormatan terhadap peran hakim sebagai penegak keadilan.