PARBOABOA, Medan – Sebanyak 50 tokoh masyarakat yang terdiri dari aktivis, akademisi, hingga mantan pegawai KPK yaitu Novel Baswedan, Bivitri Susanti, Usman Hamid, Faisal Basri, Haris Azhar, Saut Situmorang, dan Fatia Maulidiyanti mengirimkan surat kepada beberapa ketua umum partai terkait Hak Angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Pimpinan Partai Politik yang menerima surat dari tokoh masyarakat ini adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.
Surat yang dikirimkan berisi desakan agar hak angket diajukan segera. Menurut para tokoh masyarakat ini, dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu terjadi bukan hanya pada saat hari pencoblosan yaitu 14 Februari 2024 namun sejak awal proses penyelenggaraan sampai dengan penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan adanya dugaan kecurangan yang dilakukan secara masif itu, partai politik diharapkan menggerakkan anggota DPR agar segera mengajukan Hak Angket. Para tokoh masyarakat ini meyakini bahwa partai politik yang tidak tergabung dalam pemerintah yang berkuasa saat ini akan menyelamatkan bangsa serta penegakkan demokrasi di Indonesia.
Pengamat Politik Sumatera Utara, Dr. Warjio, SS, MA memaparkan Hak Angket adalah hak yang dimiliki oleh anggota legislatif untuk menilai pemerintah dalam hal kebijakan dan apa yang sudah dilakukan.
Hak angket merupakan bagian dari politik representatif. Apabila nantinya para ketua umum partai yang menerima surat dari para tokoh masyarakat akhirnya menginstruksikan anggotanya di DPR untuk mengajukan hak angket, maka itu memang hak dari partai politik.
“Hak angket itu memang hak partai politik dan hak anggota DPR untuk melakukannya,” ujar Dr. Warjio SS, MA kepada PARBOABOA, Senin (11/03/2024).
Walau begitu, Warjio mengatakan bahwa hak angket walaupun bergulir di DPR tidak akan terjadi perubahan signifikan terhadap hasil pemilu 2024. Hak angket merupakan penilaian terhadap pemerintah terutama presiden.
Sedangkan hasil pemilu menurut Undang-Undang mutlak dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara. Untuk menggugat atau menggoyang hasil pemilu yang diduga dilandasi oleh kecurangan, harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Yang akan terjadi adalah pergeseran penilaian dan kepercayaan terhadap pemerintah tidak berdampak pada hasil pemilu ya. Tapi bagaimana kinerja-kinerja pemerintah dalam melaksanakan pemilu yang diduga banyak praktik yang salah tidak sesuai dengan kebijakan yang ada,” jelas Warjio.
Walau begitu, hak angket tetap dirasa perlu karena pada kenyataannya telah terjadi pergeseran nilai demokrasi dan trust issue (krisis kepercayaan) di tengah masyarakat akibat adanya dugaan kuat telah terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh pemerintah atau presiden.
Dengan adanya hak angket ini, maka semakin kuatlah dugaan adanya banyak pelanggaran kinerja yang dilakukan oleh pemerintah khususnya presiden saat ini yaitu Joko Widodo.
Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, Warjio mengungkapkan selalu banyak dugaan kecurangan yang terjadi. Seperti terjadi beberapa peristiwa seperti pada tahun 2019 dimana masyarakat pendukung Prabowo Subianto merasa telah dicurangi oleh lawannya dalam Pilpres yaitu Joko Widodo dan akhirnya terjadi demo besar di Jakarta.
Bahkan, juga dilakukan sidang di Mahkamah Konstitusi yang akhirnya tetap memenangkan Joko Widodo sebagai Presiden 2019-2024. Selain aksi di jalanan dan Mahkamah Konstitusi, walaupun tidak ada hak angket pada saat itu, namun tidak merubah apapun secara signifikan.
Akan tetapi, Warjio menilai bahwa apabila hak angket kali ini bergulir di DPR maka akan merubah penilaian masyarakat Indonesia bahkan luar negeri secara keseluruhan. Mengingat saat ini, kondisi perpolitikan Indonesia sudah menjadi perhatian di berbagai negara.
Sementara itu, Akademisi Sumatera Utara, Reviza Putra Syarif mengatakan hal senada. Dimana saat ini nilai etika dan moral dalam berpolitik di Indonesia semakin hari semakin menurun.
Menurutnya, hal ini merupakan dampak besar dari pelaksanaan Pilpres 2024. Pasalnya, penilaian masyarakat akan dinasti politik yang tengah dibangun semakin kuat. Mulai dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto sampai proses penghitungan suara di sirekap KPU yang jelas-jelas bermasalah.
“Yang tetap ramai dibicarakan masyarakat saat ini adalah etika dan moral politik yang seringkali ditampilkan menjadi acuan bagi masyarakat menganggap semuanya wajar. Kenapa? Karena pemimpinnya saja sudah melakukan pelanggaran etika dan moral, maka jangan salahkan masyarakat melakukan hal yang sama,” jelasnya.
Reviza menyampaikan pengajuan hak angket saat ini positif dilakukan karena tetap harus ada perlawanan akan kondisi politik saat ini. Dengan pelanggaran etika dan moral yang dipampangkan secara terang benderang oleh pemerintah yang berkuasa saat ini, tentunya masyarakat perlu mendapatkan perbandingan sehingga bisa memahami mana yang benar dan salah.
Editor: Fika