PARBOABOA, Jakarta - Kasus penodaan agama terus bermunculan selama 2023. Sayangnya, dalam implementasi penerapan hukum efek jeranya, masih terkendala dalam memastikan tersangka dan pasal yang jelas.
Hal itu dibahas dalam 'Laporan dan Refleksi Akhir Tahun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 2023’, diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB), di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).
Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir, menyampaikan bahwa kasus penodaan agama semakin marak didukung peran media sosial yang sentral.
Misalnya yang pertama yaitu selebgram Lina Mukherjee, ia mengunggah video saat dirinya tengah makan kerupuk babi yang dimulai dengan 'Bismillah'. Video itu kemudian viral, dan berujung dikenai Pasal 45A ayat (2) Junto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Seorang anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Selatan (Sumsel) menyatakan, perbuatan tersebut merupakan penodaan agama, didukung beberapa saksi ahli lain.
Lina pun kemudian divonis bersalah, ia dinyatakan 'dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan agama'. Ia kemudian mendapatkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Selain itu, selebgram lain yakni Oklin Flia. Videonya viral dengan penampilannya sebagai perempuan berjilbab berpakaian ketat, ia menjilat es krim di depan kemaluan seorang laki-laki. Oklin pun dilaporkan atas tuduhan penodaan agama.
Beda Perlakuan
Dari dua kasus penodaan agama tersebut, terdapat dua hal yang berbeda dalam proses penanganan hukumnya. Misalnya saja setelah dilaporkan ke polisi, Oklin mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dengan meminta maaf dan mengaku menyesal.
Pihak bidang hukum MUI menyebut bahwa apa yang dilakukan Oklin tidak memenuhi unsur penistaan agama, namun lebih kepada perbuatan tidak pantas. Sementara itu Lina tidak mendatangi MUI Pusat, namun di sisi lain ia juga menyampaikan pengakuan menyesal dan meminta maaf, proses hukumnya terus berlanjut.
Adapun kasus lain, yaitu terkait Panji Gumilang sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun. Video dari Ponpes itu viral dengan memperlihatkan jemaah perempuan di baris depan saat shalat Idul Fitri.
Hal itu kemudian membuat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil merespons dengan membentuk tim investigasi, lalu Panji dilaporkan ke polisi atasdugaan penodaan agama dan diperkuat fatwa MUI.
Panji kemudian didakwa Pasal 156a KUHP dan dijerat pasal yang Lina Mukherjee kenai yakni UU ITE pasal 45 A ayat 2 junto pasal 28 ayat 2. Berapa tuduhan lain terhadap Panji Gumilang juga kini tengah diinvestigasi, termasuk tindak pidana pencucian uang.
Melihat sejumlah contoh kasus tersebut, Zainal mengungkapkan yang menarik adalah ketika fatwa MUI cukup sentral untuk menentukan terpenuhinya unsur penodaan agama. Terlebih terhadap kasus Oklin Fia, yang disebut MUI sebagai hal yang 'tidak pantas', dan jelas menekankan bukan peristiwa pidana penodaan agama, hingga akhirnya tidak diproses lebih lanjut.
"Unsur-unsur peristiwa 'penodaan agama' tidak jelas, dan karenanya banyak peristiwa berbeda bisa dianggap penodaan agama. Dalam ketidakjelasan itu, saksi ahli, utamanya dari komunitas keagamaan, seperti MUI, menjadi sentral, untuk menentukan suatu kasus bisa jadi penodaan agama atau tidak,' tutur Zainal.
Zainal menekankan bahwa kondisi tersebut merupakan tanda ketidakjelasan implementasi hukum terhadap pelaku dugaan penodaan agama.
"Kelemahan tersebut, tidak jelasnya unsur-unsur penodaan agama, bukan hanya dalam implementasi peraturan terkait, tapi juga dalam normanya, telah kerap dikritik," paparnya.
Harapan untuk KUHP Baru
Di sisi lain, Zainal mengungkapkan adanya realisasi upaya perbaikan dalam KUHP. Misalnya Pasal 156a tentang “penodaan agama” dinyatakan tidak berlaku, diganti dengan Pasal 300 dan 302 ayat (1) KUHP baru dalam UU 1/2023.
Selain itu Pasal 28 (2) UU ITE untuk menjerat Lina Mukherjee dan Panji Gumilang, kini dinyatakan tidak berlaku, dan diganti dengan Pasal 243 KUHP baru.
Adapun dalam Revisi UU ITE yang disahkan pada Desember 2023, Pasal 28 ayat (2) junto 45A ayat (2) memberikan ancaman pidana paling lama enam tahun dan/atau denda Rp 1 miliar terhadap orang yang 'dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.'
Termasuk dihadirkannya Pasal 300 KUHP 2023, yang berbicara terkait perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, atau menghasut untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan.
Kemudian adanya Pasal 243 yang melarang pernyataan permusuhan terhadap orang atau kelompok atas dasar ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik 'yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang'.
Kedua pasal ini kata Zainal, memperjelas perbuatan yang dilarang dengan menyebut unsur-unsur secara lebih jelas. Dengan ini semestinya aparat penegak hukum tidak harus bergantung sepenuhnya pada ahli dalam menentukan suatu perbuatan yang dilarang oleh pasal-pasal tersebut.
Adapun untuk menafsirkan perbuatan-perbuatan tersebut, terdapat sejumlah instrumen hak asasi manusia yang dapat membantu untuk memperjelas implementasi hukum, seperti Rencana Aksi Rabat, dokumen yang disepakati Kantor KomisarisTinggi Hak Asasi Manusia PBB di Maroko pada tahun 2012 lalu.
Dokumen itu berisikan syarat-syarat suatu tindakan dapat dianggap pernyataan permusuhan, atau hasutan untuk permusuhan, kekerasan atau diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan.
KUHP 2023 sendiri baru mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang. Zainal pun memberikan sejumlah kritikan. Pertama, aparat penegak hukum seharunya tidak menggunakan pasal-pasal yang telah dinyatakan tidak berlaku. Alias, fakta bahwa ia dinyatakan tidak berlaku dalam KUHP yang baru menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bermasalah.
Kemudian yang kedua, meski adanya perubahan, namun terdapat ruang penafsiran terkait tindakan yang disebut dalam Pasal 300 dan 243. Dalam hal ini, aparat penegak hukum semestinya tidak terlalu bergantung pada saksi ahli.
"Karena kriteria atau unsur-unsur perbuatan dalam pasal-pasal baru dan rambu-rambu penafsirannya telah jauh lebih jelas, seperti dalam Rencana Aksi Rabat di atas. Di luar itu, tentu fakta, bukan pendapat ahli, yang seharusnya menjadi dasar utama penetapan suatu kasus," tandasnya.
Editor: Aprilia Rahapit