Penegakan HAM di antara Retorika dan Realitas

Kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih menuai jalan buntu (Foto: Dokumentasi KontraS)

PARBOABOA, Jakarta - Upaya penegakan HAM di Indonesia rupanya tidak menunjukkan progresivitas berarti dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah seperti tersandung pada persoalan yang sama, buntut banyaknya masalah HAM yang tidak berakhir secara adil. Korban berjatuhan. Sementara pelaku masih bisa menghirup udara segar.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam peringatan Hari HAM Sedunia pada Selasa (10/11/24)  kemarin menyampaikan komitmen untuk melanjutkan upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 

Namun, pernyataan ini menuai tanggapan kritis dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid yang menyebutnya hanya sebatas "retorika kosong". 

Menurut Usman, meskipun reformasi telah menghasilkan banyak landasan hukum untuk penegakan HAM, implementasinya masih 'jauh panggang dari api'. 

Pernyataan Usman beralasan. Catatan Komnas HAM menyebut terdapat setidaknya 17 kasus pelanggaran HAM berat yang belum memperoleh penyelesaian hukum yang jelas. 

"Pidato Menteri Yusril mudah terbantahkan oleh fakta di lapangan jika pemerintah bersedia membuka mata," ujarnya dalam pernyataan yang diterima PARBOABOA, Selasa (10/11/2024).

Ia menyoroti kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu serta mengatasi budaya impunitas yang terus berlangsung, terutama di kalangan aparat keamanan. 

Komitmen menghormati hak asasi tanpa diskriminasi, menurut Usman, justru bertolak belakang dengan peristiwa di Kuningan, Jawa Barat, di mana pemerintah daerah melarang pertemuan Jemaah Ahmadiyah pada 6-8 Desember 2024. 

"Hal ini menjadi ironi, mengingat pelanggaran tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah Presiden menegaskan pentingnya keberagaman sebagai pilar persatuan," tambahnya.

Pidato Menteri Yusril juga menekankan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai prioritas pemerintah. 

Namun, menurut Usman, fokus ini telah mengesampingkan hak-hak sipil dan politik yang justru semakin tergerus kepentingan penguasa. 

Ia mencatat maraknya tindakan kriminalisasi dan represi terhadap aksi damai, baik di ruang publik maupun media sosial. 

Selain itu, aktivis yang menentang proyek strategis nasional (PSN) sering menjadi sasaran persekusi dan intimidasi.

"Negara bukan hanya gagal menjaga hak-hak sipil dan politik, tetapi juga membiarkan ruang-ruang sipil terus menyempit," tegasnya.

Usman juga mendesak pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan HAM melalui proses hukum yang adil dan transparan. 

"Tindakan konkret adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam penegakan HAM," ujarnya.

Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan serius yang melibatkan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan secara meluas atau sistematis kepada penduduk sipil.

Kejahatan ini mencakup penganiayaan terhadap kelompok tertentu berdasarkan kesamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal melanggar hukum internasional. 

Bentuk lain juga mencakup penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid atau pemisahan ras, agama, kepercayaan dan kelas sosial.

Hingga kini, terdapat 19 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diidentifikasi oleh Komnas HAM. Sebanyak 17 kasus telah selesai diselidiki dan dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. 

Mayoritas kasus melibatkan institusi militer dan kepolisian, antara lain seperti Pembunuhan Massal 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), dan Tragedi Talangsari (1989).

Komnas HAM menyatakan bahwa hasil pengadilan atas kasus-kasus tersebut belum memberikan keadilan yang seharusnya. 

Baru pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). 

Tim ini bertugas mengungkap penyebab pelanggaran HAM berat masa lalu, memberikan rekomendasi pemulihan kepada korban, dan mengupayakan pencegahan agar peristiwa serupa tidak terulang.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah menerbitkan Inpres No. 2 Tahun 2023 yang mengatur pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial. 

Bentuk pemulihan yang diusulkan meliputi jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, renovasi rumah, dan bantuan lainnya.

Namun, langkah pemerintah menuai kritik. Pegiat HAM, Wahyu Djafar menilai pendekatan dalam Inpres tersebut cenderung memposisikan korban sebagai penerima bantuan sosial. 

"Kalau yang di Inpres kesannya korban adalah penerima bansos. Karena mereka miskin, diberikan bantuan. Tapi tidak melihat mereka sebagai korban pelanggaran HAM," ujarnya.

Dengan kata lain, meskipun ada langkah signifikan seperti pengakuan resmi dari pemerintah dan pembentukan Tim PPHAM, keadilan substantif bagi korban masih jauh dari harapan. 

Diperlukan komitmen yang lebih kuat untuk memastikan pemulihan hak korban sekaligus pencegahan agar pelanggaran serupa tidak terulang di masa depan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS