Penataan Hukum di Sejumlah Daerah di Indonesia Bermasalah

Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra. (Foto: Dokumen Ditjen HAM)

PARBOABOA, Jakarta - Sebagai negara kepulauan, Indonesia kaya akan keberagaman. Selain beragam suku, agama, ras dan budaya, karakteristik hukum di setiap daerahnya juga sangat bervariasi.

Namun demikian, dalam konteks Indonesia yang berpayungkan negara hukum, pembangunan sejumlah aturan tersebut harus tetap sejalan dengan pembangunan hukum nasional. Lantas bagaimana kondisinya di Indonesia?

Yunan Hilmy, sewaktu menjadi menjadi Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional mengatakan masih banyak kompleksitas penataan produk hukum di daerah.

Berdasarkan temuan kelompok kerja (Pokja), tegas dia, persoalan yang paling banyak terjadi adalah adanya tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah.

Bahkan, tidak jarang, untuk menciptakan keselarasan dengan peraturan pusat, keberagaman daerah yang seharusnya diatur dalam produk hukum lokal tidak dapat diatur secara maksimal.

Guru Besar Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi membaca fenomena ini sebagai implikasi rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang hukum.

Padahal, demikian tegasnya, Indonesia tidak kekurangan fakultas hukum dan setiap tahun jumlah lulusannya sangat banyak.

"Namun, bagaimana dengan kualitasnya, apalagi di daerah?" tanya Wicipto melansir laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Itulah sebabnya ia menekankan pentingnya penguatan SDM untuk menciptakan keselarasan pembangunan hukum antara pusat dan daerah.

Penguatan SDM ini, lanjutnya, harus juga berorientasi pada pembangunan hukum yang adaptif terhadap kemajuan teknologi saat ini di berbagai sektor.

Tidak berperspektif HAM

Ketidakberesan sejumlah produk hukum lokal diakui juga oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia.

Salah satunya adalah terkait dengan masih adanya sejumlah produk hukum di sejumlah daerah yang dipandang belum berperspektif HAM.

Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra dalam rilis yang diterima Parboaboa, Minggu (4/8/2024) mengatakan, hal ini sering kali menjadi sorotan karena mengandung unsur diskriminatif yang merugikan kelompok-kelompok tertentu.

"Seperti perempuan, minoritas agama dan kelompok rentan lainnya," kata Dhahana.

Berdasarkan analisis dari Kemenkumham, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komnas Perempuan, hingga tahun 2024, tercatat ada lebih dari 305 produk hukum daerah yang belum memasukkan perspektif HAM.

Itulah sebabnya, Dhahana mengimbau para pemangku kebijakan di daerah agar meningkatkan pemahaman dan penerapan perspektif HAM dalam penyusunan produk hukum.

Apalagi, demikian tegasnya, salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis dan berperspektif HAM.

Untuk mendorong serta membantu pemahaman yang lebih baik dalam pembentukan produk hukum di daerah, kata Dhahana, Kemenkumham telah menerbitkan Permenkumham Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pengarusutamaan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Melalui Permenkumham ini, pembentukan peraturan perundang-undangan akan melibatkan analisis dari perspektif HAM, Sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak sebatas memenuhi aspek legalitas.

Dhahana berharap, hal ini nantinya mampu mendorong pemerintah daerah untuk dapat menyusun produk hukum yang menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. 

"Sehingga bisa menciptakan pemerintahan yang lebih adil dan inklusif untuk seluruh masyarakat Indonesia," pungkasnya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS