Pemerintah Dinilai Lambat Mengurus Konflik Agraria antara Masyarakat Adat dan PTPN

Ilustrasi. Konflik agraria antara masyarakat adat dan PTPN merupakan kasus yang sangat jarang diselesaikan oleh pemerintah Indonesia (Foto: MNC)

PARBOABOA, Jakarta - Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pratiwi Febry mengatakan, konflik agraria antara masyarakat adat dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) merupakan kasus yang sangat jarang diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah kasus perampasan tanah milik masyarakat adat Pantai Raja Kabupaten Kampar, Riau, oleh PTPN V sejak 38 tahun lalu.

“Kasus-kasus warga atau masyarakat adat vesus BUMN, terutama PTPN, ini merupakan PR yang tidak pernah selesai di negara ini. Siapapun presidennya, siapapun menteri BUMNnya,” kata Pratiwi dalam Konferensi Pers yang digelar secara virtual, Kamis (27/10/2022) siang.

Melihat banyaknya kasus yang tak kunjung selesai itu, kata Pratiwi, YLBHI memiliki beberapa pendapat yang selalu disampaikan setiap akhir. Menurutnya, Program Reforma Agraria yang dikoar-koarkan pemerintah itu justru menjadi bentuk penyelewengan program itu sendiri. Artinya, lima tujuan Reforma Agraria tidak tercapai sebagaimana semestinya.

“(Pemerintah) Tidak betul-betul hendak mengembalikan kepada masyarakat karena prosesnya dibuat berlarut-larut,” ucapnya.

Maka dari itu, lanjut Pratiwi, YLBHI menyerukan agar pemerintah segera menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang diakibatkan oleh pemberian izin atau keputusan pemerintah dengan cara membatalkan izin atau keputusan tersebut dan mendistribusikan lahan masyarakat itu kembali.

“Ini yang bisa menjadi seruan kita, terutama kepada Kementerian BUMN untuk merespon. Salah satunya bisa dilihat dari track kesepakatan yang sudah ada. Tinggal dijalankan, tinggal dikerjakan,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau Boy Jerry Even Sembiring menilai, konflik masyarakat yang melibatkan BUMN seharusnya lebih mudah dituntaskan.

“Ketika Jokowi bercerita tentang Reforma Agraria, cerita bahwa tanah masyarakat harus dipulihkan, tetapi ketika ada konflik dengan BUMN, itu kan seharusnya lebih gampang untuk diselesaikan. Toh itu juga itu kekayaan rakyat, kekayaan negara,” ucap Boy.

Konflik agraria antara masyarakat adat Tanah Raja dengan PTPN V

Kasus konflik agraria antara masyarakat adat Tanah Raja, Kabupaten Kampar, Riau merupakan contoh kecil dari sekian banyak kasus agraria yang terlibat dengan PTPN.

Berdasarkan catatan Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP), setidaknya terdapat 223 kasus pengaduan dari masyarakat terkait permasalahan agraria yang menyangkut aset milik PTPN. Berbagai pengaduan tersebut disampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo atau kementerian maupun lembaga di lingkup Istana Kepresidenan.

KSP sendiri telah menerima aduan masyarakat adat Pantai Raja sejak tahun 2020 dan menindaklanjutinya dengan kunjungan lapangan.

KSP menyampaikan kendala soal penyelesaian konflik dengan BUMN yaitu terkait Peraturan Menteri BUMN No 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara.

Kendati demikian, KSP menawarkan tiga opsi untuk penyelesaian konflik agraria masyarakat adat Pantai Raja dengan PTPN V.

Yang pertama, menetapkan mekanisme hibah dari PTPN V yang Hak Guna Usaha (HGU)-nya aktif dengan pengurangan penyertaan modal.

Kedua, memberikan hak pakai di atas HGU PTPN V. Dan yang ketiga, menjadikan objek sebagai tanah terlantar bagi HGU yang tidak aktif.

Konflik yang sudah berlarut selama 38 tahun itu menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat Pantai Raja.

Pasalnya, pada tahun 1984, PTPN V datang ke Pantai Raja langsung merusak kebun milik masyarakat tanpa ada dialog. Akibatnya, sebanyak 157 KK kehilangan kebun yang menjadi sumber penghasilan utama mereka.

Salah seorang masyarakat adat Pantai Raja bernama Rizal yang hadir dalam konferensi tersebut mengatakan, dirinya merasa terzolimi oleh PTPN V dan mengklaim sudah generasi ke-3 mendapati perlakuan yang sama.

Ia merasa jengkel melihat perjuangan yang mereka lakukan di daerah hingga ke pusat, tetapi justru dipusingkan dengan regulasi-regulasi yang ada.

Selain itu, masyarakat juga telah berupaya sesuai koridor hukum dan meminta penyelesaian pemerintah daerah mulai dari Bupati Kampar, hingga Gubernur Riau.

Masyarakat Pantai Raja juga sebelumnya pernah difasilitasi oleh Komnas HAM RI pada 2019, DPRD Prov Riau dan oleh Gubernur Riau pada 2021 untuk menyelesaikan permasalahan agraria dengan PTPN V. Sayangnya, hasilnya masih saja nihil.

Bahkan, pada pertengahan 2021, beberapa masyarakat menjadi korban kriminalisasi dan digugat ke pengadilan akibat konflik tersebut dan tak kunjung selesai hingga kini. Gugatan sebesar Rp14,5 miliar dilayangkan pihak PTPN V lantaran warga sempat menutup aktivitas panen sawit dan angkut minyak mentah hampir satu bulan.

Oleh karena itu, sejak Jumat (21/10/2022) kemarin, sekitar 40 orang Masyarakat Adat Desa Pantai Raja, Kampar, Riau berangkat ke Jakarta dengan restu dari Lembaga Adat melayu Provinsi Riau (LAM Riau) untuk berjuang mendapatkan kembali tanah yang dikuasai oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PTPN V sejak tahun 1984. Penguasaan lahan oleh PTPN V merampas tanah masyarakat adat seluas 1013 hektar.

Menjemput Keadilan ke Jakarta

Lambatnya penyelesaian konflik oleh negara tersebut mendorong masyarakat untuk “Menjemput Keadilan di Jakarta”.

Kedatangan masyarakat adat Pantai Raja ke Jakarta demi mengadukan nasibnya pada beberapa lembaga pelat merah seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Menteri ATR/BPN, Menteri BUMN dan DPR RI.

Masyarakat adat tersebut juga didampingi oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi mahasiswa yang terdiri dari Jikalahari, WALHI Riau, LBH Pekanbaru dan PKC PMII Riau-Kepri.

Salah satu perwakilan masyarakat adat Pantai Raja Gusdianto menyampaikan, setibanya di Jakarta pada Minggu (23/10/2022), masyarakat telah menyampaikan aduan kepada Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, Kantor Staf Presiden, Kementerian BUMN, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Gusdianto menilai, pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait, tidak memberi kejelasan lantaran melempar-lempar tanggung jawab.

“Jadi sejauh ini, kami sebenarnya lelah, capek, dan jengkel. Tidak ada kepastian yang kami dapatkan,” ucapnya.

“Kami dibolak-balik terhadap konflik ini. Dari kementerian ini menyerahkan ke kementerian ini, kementerian BUMN menyerahkan ke holding lagi. Jadi, tidak ada kepastian,” tuturnya kecewa.

Gusdianto mengatakan, pihaknya sudah menghabiskan uang iuran masyarakat yang digunakan untuk keperluan berangkat ke Jakarta, tetapi tetap saja mendapat ketidakpastian dari pemerintah.

Oleh karena itu, kata Gusdianto, pihaknya akan kembali berkonsolidasi dengan masyarakat yang bermasalah dengan PTPN V, khususnya wilayah Riau, untuk mengepung Jakarta.

“Kami akan berangkat (lagi) ke Jakarta jika respon ini tidak begitu direspon oleh kementerian terkait, kami akan ke Jakarta untuk lebih banyak lagi mengepung Jakarta ini,” tandasnya.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS