Pembebasan Mary Jane: Signal Penghapusan Hukuman Mati di Indonesia?

Merry Jane Veloso, Jakarta Mary Jane Veloso, seorang warga negara Filipina yang terjerat kasus penyelundupan narkoba di Indonesia 2010 silam. (Foto: Shutterstock)

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan pemerintah Indonesia merepatriasi Mary Jane Veloso ke Filipina menjadi sorotan penting bagi isu hak asasi manusia dan kebijakan hukuman mati.

Langkah ini dianggap sebagai kesempatan berharga untuk mendorong Indonesia menghapus hukuman mati, yang selama ini menjadi perdebatan panjang baik di dalam negeri maupun internasional.

Mary Jane Veloso, seorang warga Filipina, dijatuhi hukuman mati di Indonesia pada 2010 karena kasus penyelundupan narkoba.

Namun, pada 18 Desember 2024, ia akhirnya dipulangkan ke negaranya setelah lebih dari satu dekade berada di bawah ancaman eksekusi.

Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan panjang antara Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

Mary Jane saat ini menjalani masa tahanannya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Manila, sebagai bagian dari perjanjian pemindahan tahanan antara Filipina dan Indonesia.

Berdasarkan laporan media , pada 20 November 2024, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengungkapkan bahwa telah tercapai kesepakatan dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto untuk memindahkan Veloso ke Filipina.

Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengonfirmasi bahwa Indonesia menyetujui permintaan repatriasi ini, meskipun detail perjanjian tersebut belum diungkapkan.

Langkah ini memastikan Mary Jane tidak akan dieksekusi, mengingat Filipina telah menghapus hukuman mati.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai keputusan ini sebagai peluang untuk meninjau ulang kebijakan hukuman mati di Indonesia.

“Pemindahan ini tidak hanya menyelamatkan nyawa Mary Jane tetapi juga bisa menjadi awal dari reformasi hukum yang lebih manusiawi,” ujar Usman dalam pernyataanya yang diterima Parboaboa, Kamis, (19/12/2024).

Kasus Veloso memperlihatkan banyak kelemahan dalam sistem hukum Indonesia.

Selama proses interogasi, ia tidak diberikan penerjemah resmi, sementara bahasa Indonesia bukan bahasa yang ia pahami.

Penerjemah pengadilan yang digunakan dalam persidangan ternyata tidak memiliki lisensi resmi dan menerjemahkan dalam bahasa Inggris, yang juga kurang dikuasai Mary Jane.

Keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keadilan dalam proses peradilan.

Penundaan eksekusi Mary Jane pada 2015 menjadi titik penting dalam kasus ini.

Presiden Joko Widodo kala itu menunda eksekusi untuk memungkinkan Mary Jane memberikan kesaksian dalam kasus perdagangan manusia yang melibatkan dirinya sebagai korban.

Namun, hingga saat ini, proses tersebut belum sepenuhnya membebaskannya dari status sebagai terpidana mati.

Tren Global 

Saat ini, lebih dari 113 negara telah menghapus hukuman mati, sementara 56 negara, termasuk Indonesia, masih menerapkannya.

Filipina sendiri telah lama menghapus hukuman mati dan menjadi salah satu negara yang aktif mendorong penghapusan hukuman ini secara global.

Amnesty International mencatat bahwa hukuman mati sering kali digunakan secara tidak proporsional terhadap kelompok rentan, termasuk korban perdagangan manusia seperti Mary Jane Veloso.

Menurut Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia, hukuman mati hanya boleh diterapkan untuk kejahatan paling serius.

Namun, standar internasional tidak menganggap pelanggaran terkait narkoba sebagai kategori tersebut.

Dengan demikian, penerapan hukuman mati dalam kasus narkoba di Indonesia bertentangan dengan norma internasional.

Usman menjelaskan, keputusan merepatriasi Mary Jane harus menjadi pijakan bagi Indonesia untuk mempertimbangkan moratorium resmi atas eksekusi hukuman mati.

Dalam jangka panjang jelasnya, langkah ini bisa membuka jalan bagi penghapusan hukuman mati sepenuhnya.

Amnesty International menyerukan agar pemerintah Indonesia mengubah hukuman bagi terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman lain yang tidak melanggar hak asasi manusia.

Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa sistem peradilan memberikan akses yang adil kepada semua terdakwa, termasuk penerjemah resmi bagi warga negara asing.

Hal ini penting untuk mencegah kesalahan pengadilan yang dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.

Reformasi Hukum

Menurut Usman, momentum ini seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Dalam konteks global, penghapusan hukuman mati menjadi tren yang semakin kuat.

Resolusi Majelis Umum PBB sejak 2007 telah mendorong moratorium eksekusi sebagai langkah awal menuju penghapusan total hukuman mati.

Repatriasi Mary Jane Veloso memberikan pesan kuat tentang pentingnya perlindungan hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.

Langkah ini seharusnya menjadi awal dari perubahan besar dalam kebijakan hukum pidana Indonesia.

Dengan mencabut status hukuman mati bagi Veloso dan mengadopsi moratorium nasional, Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kemanusiaan tetap menjadi prioritas utama.

Keputusan memulangkan Mary Jane Veloso ke Filipina adalah langkah kecil dengan dampak besar.

“Ini adalah momen untuk merefleksikan posisi Indonesia terhadap hukuman mati dan memperjuangkan keadilan yang lebih manusiawi, “ tutup Usma.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS