Kenapa Pedagang Pasar Tanah Abang Belum Memilih Beralih ke Penjualan Online?

Suasana Pasar Tanah Abang yang tampak lengang meski TikTok Shop telah resmi dilarang pemerintah. (Foto: PARBOABOA/Fahri Bahri)

PARBOABOA - Bagi pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, beberapa bulan terakhir ini merupakan periode paling berat. Neng, salah seorang pedagang di Blok F, berkeluh soal sepinya pembeli kepada Parboaboa.  

Dia bilang, kondisinya kali ini yang paling parah sepanjang pengalamannya berjualan. Neng dan suaminya, Irwan, sudah 10 tahun berdagang celana di Blok B Pasar Tanah Abang.

"Zaman COVID masih mending. Masih ada orang belanja istilahnya," kata Neng, Senin (16/10/2023) pekan lalu.

Seretnya omset membuat dua karyawannya terpaksa diistirahatkan. Neng sudah tidak sanggup membayar gaji mereka.

Kondisi serupa dihadapi banyak pedagang di Kawasan pasar Tanah Abang. Lesunya transaksi penjualan membuat pedagang gerah.

Keluhan bernada protes mereka sempat mendapat sorotan di jagat maya awal Oktober lalu. Gara-garanya sebuah video di salah satu akun TikTok.

Unggahan itu menunjukkan spanduk dan poster yang dipajang pedagang di Blok B. Mereka meminta pemerintah menutup TikTok Shop dan lokapasar (marketplace).

Platform digital yang memfasilitasi belanja online dianggap sebagian pedagang sebagai biang keladi sepinya pengunjung Pasar Tanah Abang. Meski tidak semua pedagang beranggapan demikian.

Dua pekan lalu, kata Neng, dua hari berturut-turut tak satu pun dagangannya yang terjual. Uang yang masuk hanya cukup buat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Neng sampai harus meminjam uang ke bank sekadar untuk bertahan. Keputusan itu mau tidak mau harus diambil.

"Jadi keuntungannya itu dibagi buat kehidupan sehari-hari sama cicilan. Sekarang itu kita sisihkan uangnya," ucapnya.

Suasana di Pasar Tanah Abang yang lengang (PARBOABOA/Fahri Bahri)

Tren anjloknya penjualan dirasakan Azmi, pedagang baju anak di Blok B, sejak awal tahun. Periode Mei-Agustus, ia malah nyaris tidak mencatatkan transaksi.

Arus keluar-masuk transaksi mandek. Keinginan Azmi untuk mengembangkan usaha pun menjadi tertunda.

"Masih pakai survival mode. Selama belum pindah toko, berarti masih bisa mendapat keuntungan walaupun kecil," ungkapnya. 

Melemahnya denyut transaksi di Pasar Tanah Abang juga dirasakan Alfin, pedagang di baju anak di Metro Tanah Abang. Saking sepinya, kata dia, banyak pedagang yang ogah-ogahan membuka toko. Mereka hanya buka di hari-hari tertentu saja.

"Buka jam 6 pagi sampai jam 3 sore. Tidur aja, yang lewat juga jarang," dia menuturkan.

Data dari pengelola Blok A, F, dan G bisa jadi potret kondisi di Tanah Abang. Muhammad Yamin–Manajer Unit Pasar Besar Tanah Abang Blok A, F, G, mengatakan jumlah pengunjung Blok A tiap hari berkisar 8 ribu orang.

Angka itu jauh dari jumlah pengunjung sebelum pandemi COVID yang bisa menyentuh 40 ribuan orang per hari. Perbandingan itu bisa juga jadi cerminan Pasar Tanah Abang secara keseluruhan.

Ketika Parboaboa berkeliling di beberapa blok Pasar Tanah Abang sepanjang pekan lalu, memang tidak tampak aktivitas perdagangan yang berarti.

Di beberapa lantai, lorong-lorong kios yang kanan-kirinya terpajang aneka jenis pakaian terlihat lengang tanpa pembeli. Tren itu terjadi di hampir semua blok.

Kondisi tersebut menjadi ironi. Pasar Tanah Abang pernah disebut-sebut sebagai pusat kulakan tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Konsumennya tidak hanya dari luar provinsi, tapi juga mancanegara. Predikat itu kini seolah hilang tak berbekas.

Sejumlah pedagang yang Parboaboa temui mengakui, memang terjadi perubahan perilaku pembeli yang kini beralih ke online. Hal itu menjadi salah satu faktor sepinya Pasar Tanah Abang di samping penyebab lain. 

Kepala Bidang Umum dan Humas Pasar Jaya, Agus Lamun (PARBOABOA/Fahri Bahri)

PD Pasar Jaya, yang menjadi pengelola Pasar Tanah Abang, sebenarnya telah mendorong proses transisi digital. Agus Lamun, Kepala Bidang Umum dan Humas Pasar Jaya, berharap pedagang bisa berinovasi dan beradaptasi.

Menurutnya, pedagang tanah abang juga sudah mulai melek teknologi. Karena itu, pasar daring bisa menjadi opsi untuk bertahan.

"Marketing mereka akan jauh lebih luas," ucap Agus.

Tak Mudah Bermain di Pasar Online

Ketua Himpunan Pedagang Tanah Abang (Hipta), Yasril Umar, mengungkapkan sebagian pedagang sudah berjualan secara online.

"Mungkin tidak terlalu terlihat mencolok saja," ungkapnya.

Ketua himpunan pedagang tanah abang, Yusril Umar berharap agar pasar Tanah abang kembali ramai (PARBOABOA/Fahri Bahri)

Masalahnya, terjun ke pasar online juga tak menjamin peningkatan omset. Persaingan di lokapasar ibarat masuk medan persaingan baru dengan karakteristik pendekatan yang berbeda.

Beratnya masuk ke penjualan online dialami Alrido. Pedagang Kerudung Pasar Binaan Jatibaru samping Blok F itu mengaku, dagangannya yang laku di lokapasar terbilang minim.

Sejauh ini, dia cuma bisa menjual 30 paket secara online. Kontras dengan pemain lain di platform yang sama dengan jumlah transaksi sampai ribuan.

Alhasil, dia memutuskan untuk berjualan offline saja. Toh, kata Alrido, penjual online juga membeli barang dari tokonya.

Dengan begitu, rantai pasok yang selama ini berjalan bisa hidup. Secara tidak langsung, hal itu akan menguntungkan banyak orang.

"Jadi Jadi kita itu harus berbagi sama orang yang lain. Kita diuntungkan, dia juga untung," ujar Alrido.

Dia termasuk pedagang besar yang punya konveksi sendiri. Pedagang yang punya fasilitas produksi sendiri umumnya punya kekhawatiran serupa dengan Alrido.

Suasana Pasar Jatibaru yang masih di Kawasan Pasar Tanah Abang (PARBOABOA/Fahri Bahri)

Bila ikut-ikutan berjualan di dunia maya, bisa-bisa merusak jalur distribusi produk mereka. Alfin, salah satunya.

Dia juga merupakan penjual tingkat pertama, yang punya konveksi untuk memproduksi baju anak. Transaksi yang membuat tokonya bertahan didominasi oleh pembeli skala besar dari luar kota.

Pelanggan biasanya punya toko pakaian di daerahnya masing-masing. Bila ikut berjualan online, menurut Alfin, justru bisa mematikan jalur distribusi.

Sebab, dia malah bersaing dengan konsumen sendiri. "Bisa marah-marah mereka. Nanti barang dia enggak laku," katanya.

Bila distributor dan pengecer bangkrut, tidak ada lagi yang mau membeli produk Alfin. Sebagai produsen, ia harus merawat jalur distribusinya agar tidak mati.

Hal itu untuk menjamin kontinuitas pemesanan dari pedagang di tingkat kedua dan ketiga. Meski penjualan eceran di tokonya tersendat, ia menahan diri untuk tidak ikut menjual dagangan secara online.

Terlebih, pengalaman sejawatnya di Tanah Abang soal penjualan online tidak selalu manis. Alfin bercerita, pedagang tak jauh dari tokoknya sudah mencoba menjajakan pakaian di lokapasar.

Hasilnya bisa dibilang nihil. Hanya 1-2 transaksi saja yang bisa dibukukan.

Sementara itu, faktor literasi ekonomi digital jadi kendala bagi sebagian pedagang lain. Tuti, yang berdagang di Central Tanah Abang, misalnya.

Tuti sebelumnya punya toko dengan dibantu karyawan di Blok G. Sejak penjualan sepi, dia terpaksa pindah ke Central Tanah Abang untuk mengurangi ongkos sewa yang tidak tertutup oleh penjualan.

Sudah banyak orang mendorongnya membuka toko online. Namun Tuti enggan menjajalnya.

Ia beralasan tidak mengetahui cara mengoperasikan toko secara digital. Di sisi lain, dia telanjur nyaman berjualan dengan metode yang selama ini di lakoninya.

Kalau tidak melayani pembeli yang datang, dia biasa mendapat pesanan dari pelanggan di luar daerah melalui telepon atau aplikasi perpesan.

"Misalnya orang nelepon misalnya di Brebes, 'Mbak, kirim barang.' Terus saya kirim lewat jasa pengiriman," ujarnya.

Lain lagi dengan Neng. Dia memilih tidak membuka toko online karena tuntutan yang berbeda dengan toko offline.

Neng mengatakan, ia juga punya peran sebagai ibu selepas berjualan di Tanah Abang. Aktivitas toko online yang cenderung tak kenal waktu dikhawatirkan membuat Neng terlalu sibuk dengan ponsel.

Bisa-bisa, kata dia, anak atau toko online-nya yang malah tidak terurus.

Piter Abdullah, Direktur Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, menilai tren platform digital sudah tak terelakkan. Fenomena tersebut berlaku secara global, tidak hanya bagi pedagang Pasar Tanah Abang.

Ia berpendapat, pelaku usaha perlu beradaptasi dengan perubahan lanskap yang terjadi. Bila tidak, lanjutnya, pelaku usaha akan tersisih.

"Ini memang tanda kutip, kesannya menyakitkan ya. Tetapi ini kenyataannya harus dihadapi oleh para pedagang di Tanah Abang," kata Piter.

Nah, proses transisinya memang butuh dukungan dari banyak pihak. Ia berharap pemerintah terlibat di dalamnya. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah sosialisasi, edukasi, dan bantuan untuk mendorong proses digitalisasi.

Dihantam Harga Murah

Gempuran harga murah di platform digital juga menjadi faktor yang membuat pedagang kesulitan masuk ke ekosistem tersebut. Hal itu diungkapkan Yasril Umar.

"Istilahnya mematikan temen-temen yang berusaha online disini," ucapnya.

Barang-barang murah tersebut diduga berasal dari luar negeri. Jangankan pedagang tingkat dua atau tiga, yang membeli barang dari produsen atau distributor, pedagang yang punya konveksi untuk memproduksi barang saja tidak sanggup menghadapinya.

Alfin, pedagang yang punya konveksi baju anak, pernah membandingkan produknya dan produk yang dijual sebuah platform digital.

"Dihitung-hitung sama orang toko aja enggak masuk. Dibawah modal malahan, Jauh banget," katanya dengan menggebu.

Ia menyebut ada baju anak yang dibandrol Rp10-20 ribu. "Bahannya kayak gini," lanjutnya sambil menunjuk salah satu baju anak yang dipajang tokonya.

Untuk produk yang sama, Alfin memproduksi dengan biaya sekitar Rp30 ribuan. Ia menjualnya secara grosir dengan harga per itemnya sekitar Rp35 ribu.

Sayangnya, menurut Alfin, pembeli cenderung terpukau dengan harga murah. Padahal kualitas produk lokal lebih bagus meski harganya lebih mahal.

Dia mencontohkan perbedaan di kualitas jahitan produk lokal yang lebih rapat. Barang murah yang diduga impor semacam itu, menurut beberapa pedagang yang Parboaboa wawancarai, banyak beredar di TikTok Shop–Platform yang kini telah dilarang pemerintah untuk beroperasi.

Tak cuma membuat pedagang Tanah Abang kalah saing ketika memasuki platform digital, produk-produk tersebut juga bikin penjualan offline merosot.

Buat Alfin dan banyak pedagang lain, produk murah dari luar negeri itu lebih berbahaya dibanding lokapasar atau TikTok Shop. Pasalnya, barang-barang tersebut merusak harga pasar.

Dia bercerita, beberapa waktu lalu punya pelanggan yang menjual kembali barangnya lewat TikTok Shop.

"Ada belanja biasa empat lusin, sekarang sudah berkurang karena dapat barang import," tuturnya.

Reporter: Faisal Bachri

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS