Pasien TBC Kebal Obat: Terpuruk Tanpa Perlindungan Sosial

Pasien TBC menunggu antrean berobat di Puskesmas Mampang Prapatan. (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

PARBOABOA - Safa’ah membiarkan buliran air mata yang mengalir di pipinya. Wajah perempuan 36 tahun ini sudah sembap sejak awal menceritakan apa yang dilaluinya setahun terakhir. 

Medio Maret tahun lalu, dokter memvonisnya menderita Tuberkulosis resisten obat (TBC RO). Sejak itu, hidup Safa’ah tak lagi sama. 

Sang suami tiba-tiba menghilang meninggalkan Safa’ah. "Pas banget saya lagi periksa ke RSUD Mampang tuh diantar, itu terakhir liat suami," katanya saat ditemui Parboaboa, Minggu (21/7/2024).

Ia kini harus menanggung sendiri biaya hidupnya bersama kedua anak yang masih kecil. Belum lagi ia harus merogoh dompet lebih dalam untuk menjalani 18 bulan proses pengobatan TBC RO. 

Pemerintah memang menanggung biaya pengobatan dan pemeriksaan kesehatan pengidap TBC. Tapi pasien tetap harus keluar uang untuk ongkos transportasi selama menjalani rawat jalan.  

TBC RO yang diidap Safa’ah, sama seperti TBC pada umumnya, disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Perbedaannya, kuman yang menyerang pasien TBC RO sudah kebal terhadap obat antituberkulosis biasa. 

Pasien TBC RO perlu penanganan khusus dengan obat lini kedua yang lebih "kuat". Penanganan kasus seperti ini juga butuh waktu yang jauh lebih lama, bahkan hingga dua tahun tanpa putus

Pasien TBC RO pun harus mengonsumsi obat yang jumlahnya tidak sedikit berikut efek sampingnya. Belum lagi pasien harus rutin bolak-balik ke fasilitas kesehatan.   

Tiap minggu saja Safa’ah datang ke Puskesmas Kebayoran untuk mengambil obat. Ia juga harus sebulan sekali kontrol ke RSUD Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. 

Bila ditotal, tiap bulan Safa’ah harus mengalokasikan Rp220 ribu untuk kebutuhan transportasi berobat. Jumlah itu lumayan besar di tengah kondisi ekonominya yang sedang morat-marit. 

Ia menghitung, kebutuhannya mencapai Rp3,8 juta tiap bulan, termasuk untuk memenuhi kebutuhan harian dan tempat tinggalnya bersama anak. "Saya mah ngirit-ngirit aja. Alhamdulillah yang penting makan. Yang penting makan aja," ujar Safa’ah.

Waktu awal divonis terinfeksi TBC RO, ia bertahan hidup dengan uang tabungan yang kemudian perlahan mulai habis. Dengan kondisi kesehatannya, tubuh Safa’ah terlalu lemah untuk bekerja. 

Safa’ah menunjukkan obat yang dirinya biasa konsumsi selama 18 bulan. Efek samping obat itu membuat kulit Safa’ah menjadi hitam kelam. (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

Ia menambal pengeluaran dari bantuan Global Fund, donor dari luar negeri, yang disalurkan kepada pasien TBC RO, sebesar Rp600 ribu per bulan. Bantuan ini memang ditujukan untuk meringankan beban ekonomi pasien TBC RO.

Namun, menurut Safa’ah, bantuan Global Fund tidak rutin cair setiap bulan, kadang dirapel menjadi 2 atau 3 bulan. "Udah dikasih sakit, ekonomi nggak teratur; istilahnya buat makan kadang nggak  ada gitu kan, kadang nyari utang," keluhnya getir.

Sebulan terakhir, ia nekat bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di tengah kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya pulih. Ia bekerja tiga kali seminggu dengan upah Rp1 juta per bulan.

"Itu aja udah bersyukur ada yang mau kita kerja aja, sekarang nyari kerja susah," ujarnya.

Kegetiran hidup juga dialami Joko Riyadi, pasien TBC RO yang tinggal di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Ia sakit TBC sejak Januari 2023.

Ketika didiagnosis TBC, kondisi tubuhnya sudah tak karuan. Badannya panas-dingin tiap malam, nafsu makan hilang, dan bobotnya turun drastis.

Pada bulan-bulan awal, kantor tempatnya bekerja memberi izin cuti. Karena kondisinya tak kunjung membaik, Joko yang berprofesi sebagai sales ini memilih mengundurkan diri.

"Hampir mau nyerah saya, ama istri tuh udah aduh. Sudah benar-benar jatuh banget kan sampai kerja juga nggak,” ujar Joko kepada Parboaboa, Kamis (18/7/2024).

Setelah Joko kehilangan mata pencaharian, istrinya berinisiatif jual bakso cilok di depan rumah dengan penghasilan Rp50 ribu per hari. Itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Beruntung saat itu kedua anaknya belum sekolah, jadi pengeluaran tidak terlalu banyak. Pemasukan dari berjualan hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.

"Syukuri ajalah, yang penting bisa buat makan. Nggak puasa-puasa banget lah istilahnya, nggak sampe kelaparan," ucapnya getir.

Joko juga mesti bolak-balik mengambil obat di Puskesmas dan kontrol tiap bulan ke RSUD Mampang Prapatan. Jarak rumahnya ke RSUD sekitar 15 kilometer.

Selama tidak bekerja, sumber penghasilan Joko bergantung pada bantuan Global Fund sebesar Rp600 ribu per bulan. Sama dengan Safa’ah, bantuan itu tidak rutin diterima Joko. Kadang pencairannya dirapel beberapa bulan.

Belakangan, setelah anaknya masuk sekolah dasar, Joko memaksakan diri untuk menjadi pengemudi ojek daring. Awal narik ojol, ia hanya kuat mencari sewa selama 2-3 jam. 

Dua bulan belakangan ini, Joko mulai memperpanjang waktu beroperasi. Ia mulai berangkat mencari penumpang pukul 6 pagi, kemudian jam 11 siang pulang untuk istirahat. Selepas asar, ia keluar lagi dan baru pulang pada pukul 18.00 WIB.

"Badan belum stabil. Paling efeknya di tangan, mati rasa. Ya namanya kita kepepet, dikuat-kuatin," kata Joko.

Pasien TBC RO kerap dihadapkan pada realita yang sama. Penyakit itu berdampak multidimensi bagi kehidupan pasiennya.

Joko Riyadi menunjukkan obat yang dirinya biasa konsumsi selama 18 bulan. Efek samping obat itu membuat kulit Joko menjadi hitam kelam. (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

Mereka mengalami pukulan bertubi-tubi dari berbagai sisi mulai dari fisik, psikologis, sosial, dan finansial. Joko dan Safa’ah hanya dua contoh dari sekian banyak kasus serupa. 

Menurut Ahmad Fuady, Dewan Penasihat Stop TB Partnership Indonesia (STPI), banyak pasien TBC yang kehilangan pekerjaan karena hambatan fisik hingga stigma di lingkungan sosial. 

"Kalaupun tidak kehilangan pekerjaan, income-nya berkurang," ujar Fuady saat ditemui Parboaboa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (12/7/2024).

Penelitian STPI mendapati bahwa sebagian besar pasien TBC RO berlatar belakang ekonomi miskin, yang berpenghasilan di bawah Rp2 juta (54%); dan rentan miskin dengan penghasilan Rp3 juta per bulan (23%).

Studi yang dilakukan pada 2022 ini mencatat sebanyak 79% rumah tangga pasien TBC RO menanggung pengeluaran melebihi pendapatan per bulannya. Adapun rata-rata pengeluaran rumah tangga antara 1-4 juta per bulan dengan 4 orang anggota keluarga.

"Orang yang terkena TBC mengalami catastrophic cost. Catastrophic cost itu artinya dia ngeluarin uang atau kehilangan penghasilan yang diluar dari kemampuan finansial keluarganya jadi mereka terbebani sekali," ujar Fuady.

Selama ini pasien TBC RO dapat mengakses pengobatan gratis di layanan kesehatan milik pemerintah. Sebagian dari mereka yang beruntung juga mendapat dana enabler dari Global Fund sebesar Rp600 ribu per bulan. Mereka juga beroleh bantuan sosial lain seperti sembako atau suplemen yang bersifat insidental.

Dana enabler itu, menurut Fuady, hanya cukup untuk biaya transportasi pasien bolak-balik ke rumah sakit. Tak cukup bila harus memenuhi biaya hidup pasien dan keluarga.

“Misal yang kena kepala keluarga, terus dia harus kehilangan pekerjaannya. Rp600 ribu gak bakal cukup dong, menanggung beban (keluarga), kalau anaknya tiga dan istrinya nggak kerja gimana?” papar dosen Fakultas Kedokteran UI tersebut.

Pada Oktober 2020, Kementerian Sosial (Kemensos) sebenarnya telah memasukkan pasien TBC sebagai salah satu kriteria penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Nilainya Rp3 juta per keluarga untuk tiga bulan, dari Oktober hingga Desember.

Saat itu total ada 527 pasien TBC yang menerima manfaat PKH. Namun, pada tahun 2021 pasien TBC tidak lagi masuk kategori penerima manfaat PKH. Direktur Jaminan Sosial, Kemensos, Faisal mengatakan bahwa prioritas pasien TBC sebagai penerima PKH itu disetop karena terbentur regulasi.

"Ada pertanyaan dari pihak pengawas eksternal: Dasarnya apa? Regulasinya apa? Dan dasar penghitungan komponennya apa?" ujar Faisal ketika diwawancarai Parboaboa di kantornya, Rabu (17/7/2024).

Kala itu, tidak ada regulasi yang jelas mengatur pemberian bantuan sosial kepada pasien TBC. Barulah pada tahun 2021 terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Dalam beleid ini, pemerintah pusat wajib melakukan mitigasi dampak psikososial dan ekonomi yang dihadapi pasien TBC serta keluarga; dan memberikan perlindungan sosial kepada pasien TBC.

Memang dalam Perpres itu tidak diatur rinci bagaimana mekanisme perlindungan sosial tersebut. Dan, tidak pula dijelaskan perlindungan sosial itu dilakukan oleh kementerian atau lembaga mana.

Rencana Bantuan Mandek di Birokrasi Pemerintah 

Kemensos sendiri merasa tidak punya wewenang dalam menggulirkan perlindungan sosial bagi pasien TBC. Staf Direktur Jaminan Sosial, Kemensos Risna Kusumaningrum berdalih, Kemensos hanya diamanatkan untuk menyediakan sanatorium dan dukungan psikososial.

“Memang tidak dibunyikan (dalam perpres) bahwa bentuknya itu bantuan sosial,” ujar Risna saat diwawancarai Parboaboa.

Hingga dua tahun berselang sejak Perpres itu terbit, tak ada satupun kebijakan atau program yang dihasilkan. Angin segar baru berembus pada 18 Juli 2023 

Presiden Joko Widodo membahas perlindungan sosial pasien TBC dalam rapat terbatas (Ratas) kabinet di Istana Negara, Jakarta Pusat. Ia memerintahkan agar pasien TBC diberikan insentif khusus di luar program keluarga harapan.

“Bagi orang terdampak TBC, tentu saja yang berpenghasilan rendah, karena kita tidak mungkin semua orang dengan TBC itu kita berikan dukungan,” ujar Nani Rohani, Analis Kebijakan Ahli Madya Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, kepada Parboaboa, Rabu (24/7/2024).

Kemenko PMK sudah menindaklanjuti perintah presiden itu dengan menggelar rapat koordinasi eselon 1 kementerian terkait. Adapun institusi yang terlibat ialah Kementerian Kesehatan, Kemensos, Kementerian Keuangan, dan Bappenas.

Bahkan, menurut Nani, Kemenko PMK sudah beberapa kali menggelar koordinasi teknis eselon 2. Rapat terakhir digelar pada 2 Juni 2024. Dalam rapat itu, Kemenko PMK telah membagi tugas kementerian teknis.

Kemensos ditugasi untuk menggodok skema bantuan sosial bagi pasien TBC. "Kami menunggu dari Kemensos untuk sebetulnya, melakukan konsolidasi internal terkait penugasan ini,” ujar Nani.

Risna Kusumaningrum bilang, hasil rapat koordinasi telah disampaikan kepada pimpinan Kemensos. Ia berdalih, Direktorat Jaminan Sosial hanya unit teknis di Kemensos. Kewenangan menyusun dan mengkaji kebijakan berada di Biro Perencanaan Kemensos. 

“Cuma memang kita belum update lagi nih dari Biro Perencanaan seperti apa,” ujarnya.


Pasien TBC mendapatkan penyuluhan dari Stop TB Partnership Indonesia. (Foto: dok/STPI)

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi mengaku pihaknya tengah menyusun kajian kebutuhan pasien TBC. Ia berjanji dalam waktu dekat kajian tersebut akan selesai, dan diserahkan ke Kemenko PMK.

Ia tidak merinci kebutuhan pasien TBC apa saja yang sudah digodok. Tapi, salah satunya adalah dukungan transportasi untuk berobat pasien dan bantuan renovasi rumah bagi pasien yang tempat tinggalnya tidak layak.

“Karena kan kalau rumahnya nggak bagus penularan tetap jalan kan,” terang Imran.

Perihal skema bantuan sosial, Kemenkes menyerahkan sepenuhnya kepada Kemensos. Sebab, menurut Imran, hal itu merupakan kewenangan Kemensos. Baginya, yang terpenting pasien TBC bisa mendapatkan bantuan sosial.

Menurut kajian Stop TB Partnership Indonesia (STPI), saat ini pemerintah memiliki setidaknya lima program jaminan sosial yang berpotensi mendukung pemenuhan kebutuhan pasien TBC RO.

Adapun program itu yakni Program Indonesia Sehat, PKH, Program Sembako, Program Kewirausahaan Sosial (ProKus), dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH).

Namun, program itu belum secara spesifik menyasar pasien TBC RO sebagai penerima manfaat. Program Manager STPI, Nurliyanti menyarankan agar pemerintah memaksimalkan program keluarga harapan untuk menjangkau pasien TBC.

“Tidak perlu ada mekanisme baru, mengingat pemerintah ini sudah pusing dengan mekanisme-mekanisme yang sudah ada,” ujar Nurliyanti dalam sebuah diskusi dengan awak media di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (3/7/2024).

Meski begitu, ia menyerahkan sepenuhnya skema yang akan diimplementasikan kepada pemerintah. Yang terpenting bagi STPI, pemerintah punya komitmen untuk memberikan bantuan sosial bagi pasien TBC. Langkah konkrit yang harus diambil pemerintah, menurut kajian STPI, ialah menyusun peraturan Menteri Sosial tentang Pemberian Jaminan Sosial bagi orang terdampak TBC RO.

Adapun isi Permensos itu setidaknya memuat: pemberian jaminan sosial bagi pasien TBC RO yang dilaksanakan setiap bulan; bentuknya berupa program berbasis conditional cash transfer (CCT) dan pemberdayaan yang dapat mengakomodir kebutuhan pasien TBC RO; penguatan pendamping program jaminan sosial pasien TBC RO dan tatacara verifikasi peserta penerima jaminan sosial; pembinaan, pengawasan dan evaluasi program jaminan sosial bagi pasien TBC RO secara berjenjang.

Reporter: Achmad Rizki Muazam

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS