PARBOABOA, Jakarta - Partai politik memegang peran penting dalam sistem pemerintahan di negara demokrasi, termasuk menentukan arah kebijakan negara.
Baik di tataran legislatif DPR RI maupun DPRD, eksekutif, hingga yudikatif, pembenahan berbagai persoalan bangsa harus dimulai dengan pembenahan partai politik sebagai hulu demokrasi.
Di Indonesia, parpol adalah satu-satunya lembaga yang diakui Undang-Undang Dasar 1945 pasca-amandemen oleh MPR pada 1999-2002 untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum yang tertuang dalam Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 3.
Posisi itu membuat parpol begitu kuat dan berkuasa. Parpol juga satu-satunya lembaga yang diberi amanat undang-undang untuk seleksi pejabat publik, baik di tingkat daerah maupun pusat melalui pemilu.
Parpol juga punya wewenang untuk seleksi hampir semua pimpinan dan anggota komisi negara yang masuk atau lolos ke DPR.
Termasuk seleksi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, pimpinan dan anggota BPK, Komisi Yudisial, KPK, KPU, hakim agung, dan hakim konstitusi menjadi ranah parpol melalui kewenangan fraksinya di DPR.
Adapun pengertian partai politik tertuang dalam Pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 2011. Sementara fungsi partai politik ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 2/2008, terdapat lima fungsi partai politik di Indonesia, antara lain:
Pertama, wadah pendidikan politik bagi seluruh masyarakat Indonesia agar menjadi WNI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedua, menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Keempat, tempat WNI dapat berpartisipasi dalam politik.
Kelima, merekrut untuk mengisi jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa fungsi partai politik di Indonesia tidak optimal dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru, banyak kader partai politik terlibat kasus kriminal, bahkan terlibat korupsi setelah mendapatkan kursi jabatan.
Syamsuddin Haris, anggota Dewan Pengawas KPK, dalam bukunya ‘Menuju Reformasi Partai Politik’ (2020), menulis, "Alih-alih menjadi solusi bagi aneka masalah bangsa, kehadiran parpol acapkali terkesan menjadi problem atau beban sistem demokrasi dan pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu."
Pernyataan Syamsuddin tersebut dipertebal oleh data penindakan hukum KPK sejak 2004—2023 menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota parpol menduduki posisi tiga dengan 344 kasus.
Sementara, menurut survei LIPI 2018, kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipilih secara demokratis ini rendah, dengan hanya sekitar 13,1 persen yang percaya pada parpol.
Karena itu, tidak heran jika pertanyaan seperti berikut ini banyak muncul di masyarakat. Mengapa banyak kader partai terlibat korupsi? Mengapa banyak kasus korupsi terjadi di partai politik? Mengapa partai politik tidak maksimal menjalankan fungsinya?
Cacat Akut Parpol
Pengamat Politik, Eduardus Lemanto menilai, kebuasan atau keberingasan oligarkisme dalam negara-negara demokrasi terletak pada libido kelas oligarki menguasai sumber-sumber uang, ketimbang kemampuan mereka memimpin dan memerintah rakyat.
Demikian pula, kata Edu, evaluasi terhadap oligarkisme dalam tubuh parpol-parpol harus pada apa yang disebutnya sebagai duitisme.
Istilah ini diambil Edu dari dua kata; duit (uang koin tembaga zaman Belanda), dan isme yang dalam kasus ini diartikan sebagai kecanduan, ketergantungan dan gaya hidup.
Sama seperti definisi alkoholisme dalam dunia kesehatan, yakni kecanduan atau ketergantungan pada alkohol yang menyebabkan kerusakan terhadap seluruh jejaring sel tubuh bagi si pecandu.
“Duitisme parpol-parpol, dengan demikian, dimaknai sebagai kondisi kecanduan atau ketergantungan pada uang yang menggerogoti kesehatan partai-partai secara khusus, dan merusak negara secara umum,” jelasnya melalui keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Senin, (23/04/2024).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Duitisme parpol menganakkan korupsisme; gaya hidup korup politisi, tak hanya materi tetapi juga bermental korup.
Adapun hulu dari persoalan ini adalah metamorfosa watak partai politik (political party) menjadi perpol (perusahaan politik) (political enterprise).
Termin perpol ini, dibuat Edu, guna menunjukkan watak komersial dan transaksional partai. Perubahannya menjadi perpol menandai perubahannya menjadi entitas komersial.
Akibatnya, mengolah partai akan lebih mirip dengan mengorganisasi perusahaan. Di sana hanya ada pemilik partai, yang bisa pula kita sebut sebagai CEO perpol.
Mereka adalah kaum timokrat (elit-elit berduit) yang bertransformasi menjadi kaum oligarki yang feodal. Keputusan-keputusan penting harus melayani kepentingan pemilik-pemilik partai.
Menurut Edu, konsekuensi dari kondisi ini, anggota partai tidak punya peluang untuk mengharapkan pemilik partai menjalankan partai-partai itu dengan sistem deliberatif; dialogis, diskursif atau musyawarah mufakat.
“Yang ada hanyalah komando atau perintah dari boss. Sisanya adalah direktur politik, manajer politik, dan para karyawan politik.”
Struktur parpol pun serupa korporasi: boss-jajaran pimpinan-buruh. “Singkat cerita, dalam perpol, para politisi ikut berubah watak menjadi orang-orang kantoran yang sangat tergantung pada gajian,” tegasnya.
Konsekuensi lainya, terang Edu, watak perpol-perpol itu menjadi otoriter dan feodal. Dalam kondisi semacam ini, mengharapkan politisi menjadi perpanjangan ‘mulut, mata dan telinga warga’ kepada pemerintah sama halnya dengan upaya menangkap angin.
Ambang Kehancuran Bangsa
Bagi Edu, Perpol-perpol inilah yang akan menyeret bangsa dan negara dalam kekacauan hampir di semua lini, yang pada ujungnya bisa menghasilkan perpecahan negara berkeping-keping. Sebab, dalam tubuh elit mengalami defisit kebajikan-kebajikan patriotik dan republikan.
Sifat koruptif, watak komersial, dan karakter feodal perpol-perpol itu menjadi indikasi-indikasi yang cukup terang tentang kepunahan sikap patriotik-republikan dalam tubuh mereka.
Dari filsafat seni perang, perpol-perpol kehilangan watak konskripsi, yaitu watak keprajuritan yang darinya mereka sadar bahwa mereka lahir dari rakyat dan karenanya mereka seharusnya berpolitik untuk kepentingan rakyat.
“Yang ada pada mereka hanya watak condottieri; yaitu watak prajurit-prajurit bayaran (baca: politisi-politisi bayaran) yang hanya akan berperang (baca: bekerja) jika dibayar dengan keuntungan besar (bandingkan: Machiavelli, Discorsi),” ungkapnya.
Parpol-parpol yang seharusnya berkedudukan sebagai tempat persemaian calon-calon pemimpin bergagasan besar dan bermental patriotik, makin ke sini justru dikerdilkan menjadi wadah adu kekayaan, kontes kemewahan, dan ruang perebutan penghargaan dan privilese pribadi.
Hal ini sebagiannya termanifestasi dalam rupa taksonomi kekuatan internal parpol berdasarkan geng-geng kekayaan. Sejarah perpecahan beberapa parpol sebagiannya berakar dari permasalahan itu.
Di sana terjadi adu kekuatan dan adu pengaruh di level elit, dimana uang sebagai barometer utama kekuatan. Oleh karena uang adalah barometer utama kontestasi, maka anatomi dan mekanisme politik secara otomatis mirip seperti persaingan bisnis dan kontestasi korporasi.
“Karena kontestasi politik di antara mereka berubah menjadi persaingan bisnis, maka di sana terjadi perebutan lahan-lahan uang. Sumber uang ada di kekuasaan,” terangnya.
Medan pertempuran bisnis ini jelasnya, sekaligus menjadi episentrum-episentrum korupsi, dimana parpol-parpol sangat mungkin dan berpeluang besar menjadi pemain utama.
Kembali lagi ke rumus dasar bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
“Bisa dikatakan bahwa untuk menjadi koruptor anda harus memiliki lisensi kekuasaan. Anda harus memiliki (kekuatan) parpol atau sekurang-kurangnya memiliki perkawanan yang kuat di pusat-pusat parpol,” terang Edu.
“Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa parpol bisa mirip seperti lembaga yang mengeluarkan lisensi kekuasaan yang dengannya politisi bisa memanfaatkan kekuasaan itu untuk melakukan korupsi,” sambungnya.
Edu pun menguraikan tantangan parpol-parpol, sekaligus sikap yang harus diambil sebagai solusi atas masalah tersebut.
Menurut Edu, Parpol-parpol harus berupaya untuk merombak total sistem-sistem kelembagaan kepartaian.Hakekat perombakan itu adalah pembaruan sikap, mental dan itikad baik para pemimpinnya.
Perombakan dimulai dari kelas kepala (elit-elit parpol), dan secara otomatis menghasilkan perubahan sikap dan mental bagi seluruh kader partai.
“Sebab, kualitas kader-kader sangat ditentukan oleh kualitas elit partai. Kualitas elit partai menentukan wajah kelembagaan partai. Hanya ini jalan untuk menyehatkan parpol dan mengembalikannya dari perpol,” tandasnya.
Editor: Norben Syukur