PARBOABOA, Jakarta - Warga di sekitar Sungai Ciliwung terancam kehilangan tanahnya karena proyek normalisasi yang akan dilakukan pada 2023. Di samping itu, banjir rob juga berpotensi terjadi karena minimnya resapan air akibat dibangunnya tebing beton.
Salah satu warga sekitar, Yaqub mengatakan, sejak isu normalisasi digaungkan, ada banyak broker yang memanfaatkan kesempatan dengan membeli tanah-tanah milik warga.
“Para broker membeli tanah-tanah warga yang bermukim di bantaran sungai dengan harga rendah. Ada banyak alibinya. Sementara tanah yang dibeli, nanti mereka jual lagi dengan harga tinggi,” ceritanya.
Diakui Yakub, ada banyak warga yang terancam kehilangan tanah saat ini karena isu normalisasi dan isu pembebasan lahan.
“Dengan isu pembebasan tanah, untuk program normalisasi, banyak masyarakat yang kehilangan tanah warisan mereka dan ada yang dibeli dengan harga sangat rendah,” ungkapnya
“Yang terjadi di lapangan ini berbeda, ada yang beli lahan warga seharga Rp500 ribu permeter, lalu dijual kembali ke pemerintah dengan harga keseluruhan Rp18 miliar, sementara yang punya tanah sebelumnya cuma nerima Rp5,5 miliar. Kan jauh sekali perbedaannya,” kata Yaqub kembali.
Ketua Komunitas Jawara Peci, Samsul mengatakan, pemerintah kurang memberikan edukasi ke masyarakat yang bermukim di sekitaran bantaran sungai ciliwung.
Menurutnya, rencana pemerintah menormalisasi bagus, hanya saja masalahnya di pembangunan beton dan taman-taman di pinggir jalan, justru akan ada banyak pohon yang ditebang dan berdampak ke resapan air jadi terhambat.
“Sumur warga jadi kering,” kata Samsul.
Ketua YPCC (Yayasan Padepokan Ciliwung Condet), Lantur mengatakan, upaya pemerintah menormalisasi Sungai Ciliwung dengan memasang beton di bantaran sungai justru akan menghambat proses resapan tanah.
"Dalam hal normalisasi pemerintah mengambil perannya, menghitung debit air, kegiatan bersih-bersih sungai, dengan perhitungannya sebagai manusia akhirnya bantarannya dibeton pohon-pohon yang sudah subur hijau dibikin jalan inpeksi, sementara Jakarta saat ini kurang dari 20 rth" kata Lantur kepada Parboaboa Selasa, (6/12/22).
Dikatakan Lantur, beberapa program pembangunan yang dilakukan pemerintah dengan menebang pohon dan tidak adanya pembatasan pembuatan sumur bor hingga melewati kapasitas adalah masalah besar.
"Penyempitan bibir sungai untuk membangun apartemen menyebabkan sungai jadi mengecil, ditambah ada tebing beton, serta siklus alam, memicu terjadinya banjir di Jakarta,” jelasnya.
Lantur menjelaskan, konsep normalisasi pemerintah yang bertujuan proses pengairan sungai menuju ke laut tidak ada hambatan, justru memunculkan ancaman lain.
"Siklus banjir besar itu kan terjadi karena kondisi laut rob di dataran tinggi (pegunungan), terjadi hujan deras. Nah kalau kondisinya begini air untuk menuju laut akan mendapat tekanan itu memicu air meluap yang disebut banjir,” jelasnya.
Lantur memberikan solusi, naturalisasi yang lebih aman bisa dengan mekanisme penyedotan air dengan kapasitas yang dibatasi, kemudian perkuat sistem penyerapan air hujan ke tanah dengan dibangun serapan air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dan perluasan kawasan zona hijau.
Untuk diketahui, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung (BBWSCC) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bambang Heri Mulyono mengatakan, wilayah Kramat Jati dan Pejaten akan dinormalisasi.
Pj Gubernur DKI Jakarta sendiri, telah mengusulkan anggaran sekitar Rp700 miliar lewat anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) 2023 untuk normalisasi ciliwung.