Menguji Kasus Syahrul Yasin Limpo: Murni Soal Hukum atau Politisasi?

Dugaan politisasi di balik kasus hukum yang menjerat Syahrul Yasin Limpo. (Foto: Instagram/@syasinlimpo)

PARBOABOA, Jakarta - Surya Paloh tak bisa membendung kesedihan ketika mendengar kabar salah satu fungsionaris partainya, Syahrul Yasin Limpo, harus terseret masalah hukum di saat dirinya mendapat penghargaan di mancanegara.

Bagi Paloh, penghargaan Syahrul sebagai Menteri Pertanian RI (Mentan) tentunya menjadi kebanggan, tak hanya bagi Partai NasDem, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.

Sayangnya, di dalam negeri, mantan gubernur Sulawesi Selatan itu harus menelan kekecewaan setelah kedatangannya disambut dengan perkara dugaan korupsi.

"Bagaimana terhinanya dirinya, kecewa, sedih, terlepas dari semua permasalahan dan upaya kita menegakkan keadilan hukum," ungkap Paloh dalam konferensi pers di NasDem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2023) malam.

Sebelum berangkat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, Syahrul sempat pamit kepada Surya Paloh dan Presiden Jokowi.

Di luar negeri, kata Paloh, Syahrul mendapatkan penghargaan dari FAO, organisasi pangan dan pertanian dunia yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia mengaku terusik, penyidikan dugaan korupsi dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika Syahrul masih berada di luar negeri.

"Tidak ada seakan-akan hari esok untuk menunggu dirinya kembali, ini sesuatu yang amat mengusik hati saya," kata Paloh.

Meski demikian, Paloh memastikan bahwa NasDem tetap menghormati proses hukum yang sedang dijalani salah satu kader terbaiknya itu.

NasDem, demikian Paloh, tidak pernah lari dari persoalan hukum, sebagai bentuk komitmen dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Komitmen itu ditunjukkan Paloh dengan meminta Syahrul untuk menghadap Presiden dan menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Menteri Pertanian.

Paloh sempat menyinggung soal politisasi hukum di balik perkara dugaan korupsi yang menyeret mantan bupati Kabupaten Gowa itu.

Ia berharap, hal tersebut tidak sampai terjadi. Namun di sisi lain, Paloh tidak bisa menjamin bahwa tak akan ada politisasi hukum pada kasus yang menimpa Syahrul.

"Kita menjaga jangan sampai ada upaya politisasi hukum, tapi kita kan bukan penegak hukum. Jadi, apakah ada yang menjamin, menggaransi sepenuhnya aparat penegak hukum bebas sama sekali tidak ada politisasi terhadap masalah penegakan hukum," kata Paloh.

Sementara itu, Paloh mengamini kasus hukum yang menyeret kadernya, tentu akan berdampak secara politis terhadap pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung Partai NasDem pada Pilpres 2024.

Tetapi, Paloh mengaku tetap optimis bahwa kasus yang menimpa kader NasDem bisa saja akan memantik empati publik yang menginginkan perubahan.

"Saya yakin, salah-salah bukan memberikan efek yang negatif. Insya Allah barangkali  justru akan mendapatkan sesuatu empati barangkali kalau memang dilihat pendekatannya ini secara terus terang, terbuka, dimana salahnya dan sebagainya," kata Paloh.

Politisasi Hukum

Pakar politik Universitas Nasional, Prof. Massa Djafar, melihat persoalan hukum yang menjerat Syahrul Yasin Limpo erat kaitannya dengan politisasi hukum.

"Semua itu motif politik, ini adalah satu permainan kekuasaan, jadi bagaimana mematikan langkah-langkah lawan dengan menggunakan instrumen hukum," ungkap Djafar kepada PARBOABOA, Sabtu (7/10/2023).

Dalam analisisnya, Djafar melihat proses penegakan hukum yang terjadi masih tebang pilih. Padahal kata dia, masih banyak aktor-aktor lain dengan kasus-kasus besar yang luput dari pantauan penegak hukum.

"Kalau hanya case-case seperti itu, banyak sekali case-case yang lebih besar yang tak pernah ditindak karena mungkin mereka bukan pelaku politik," kata Djafar.

Djafar kemudian menyoroti terkait kasus Harun Masiku, tersangka suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, yang hingga saat ini masih menjadi buronan internasional, terhitung sejak 30 Juli 2021 lalu.

KPK sebelumnya menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka pemberi suap pada Januari 2020. Suap diberikan agar Wahyu memudahkan langkah Harun bisa melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR jalur PAW.

Menurutnya, kasus yang menjerat kader PDI Perjuangan itu akan menjadi bahan guyonan dunia internasional lantaran tak pernah berhasil ditangkap.

"Kasus Harun Masiku itu kan kalau dibaca oleh masyarakat internasional kan jadi ketawa. Ini elit itu membodohi rakyat yang luar biasa. Masiku gak ketangkap-ketangkap itu, pembodohan logika yang sangat luar biasa itu," ungkap Djafar.

Mantan Sekretaris Dewan Pembina Jakarta Islamic Centre itu bahkan menyebut aparat kemanan sangat lemah karena belum juga berhasil menangkap Masiku. Padahal, menurutnya, banyak kasus besar seperti teroris yang begitu mudah dilacak aparat.

"Aneh, berarti aparat keamanan itu boleh dibilang aparat yang sangat lemah, dia tidak bisa menangkap pelaku. Orang teroris aja bisa dilacak kok ke ujung dunia, apalagi yang Masiku," kata dia.

"Jadi luar biasa ini pengerusakan tatanan hukum di republik ini, uda di batas tolern. Itu membuat sama saja negara ini adalah negara yang besar tapi rapuh sekali," tegas Djafar.

Selain itu, Djafar juga menyinggung soal kasus pencucian uang Rp349 triliun yang pernah digembar-gemborkan Menkopolhukam Mahfud MD yang saat ini seakan menghilang.

Alumnus Universiti Kebanggaan Malaysia itu menilai, kasus yang sempat menghebohkan publik beberapa bulan lalu itu tak ada penyelesaiannya.

"Mana janji Pak Mahfud yang pencucian uang, nggak ada ujungnya. Jadi, di antara mereka itu tidak ada keseriusan untuk penegakan hukum, baik di luar pemerintahan maupun di dalam pemerintahan," kata Djafar.

Djafar juga bahkan mendorong aparat penegak hukum untuk bisa melacak sumber harta kekayaan dari anak Presiden Jokowi. Hal ini, kata dia, penting dilakukan untuk mengembalikan persepsi publik terhadap penegakkan hukum yang jujur dan adil.

"Misalnya, bagaimana indikasi dengan anaknya Presiden, dari mana harta kekayaannya. Kita sedih ini hukum itu dijadikan alat kekuasaan, tidak betul-betul untuk penegakan keadilan," tegasnya.

Karena itu, ia mendorong agar di tengah kasus hukum yang menyeret dua kader partainya, Surya Paloh harus berani speak up ke publik terkait hal ini. 

"Dia (Surya Paloh) harus tunjukkan itu, ini nggak benar. Apakah karena NasDem berbeda dengan pemerintah atau keluar dari koalisi pemerintah, lalu kemudian mendapat punishment sanksi politik berupa penyanderaan kader-kader partai dalam kasus hukum," kata Djafar.

Bagi Djafar, jika hukum ditegakkan lantaran motif politik, hal ini akan menjadi bahaya yang menghancurkan peradaban hukum di Indonesia.

"Jadi, supremasi hukum tidak pernah ada, dan hukum itu dijadikan sebagai alat pemukul lawan politik. Itu jauh lebih buruk. Itu bahaya sekali," papar Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

Sebab, kata dia, sebuah negara yang besar seperti Indonesia akan mengalami kehancuran secara perlahan ketika hukum tak lagi ditegakkan, korupsi tidak lagi bisa dicegah, hanya karena ada motif politik.

Isu Pemerasan di Balik Kasus Limpo

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, membaca kasus ini dalam dua peristiwa yang berkesinambungan.

Pertama, soal kasus hukum yang sedang menjerat Syahrul Yasin Limpo, dan kedua soal dugaan pemerasan oleh pimpinanan KPK kepada Syahrul.

"Jadi kasus Syahrul Limpo itu satu kasus sendiri, di saat yang sama juga ada kasus pemerasan oleh pimpinan KPK," kata Ujang saat dihubungi PARBOABOA, Sabtu (7/10/2023).

Menurut Ujang, terlepas bahwa ada motif politik atau tidak di balik perkara dugaan korupsi yang menyeret Syahrul, isu pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK perlu mendapat perhatian serius.

"Kalau ada isu beredar, pemerasaan pimpinan KPK terkait dengan kasus Mentan, harus diusut tuntas, harus dibuka, apakah ada atu tidak, seandainya ada ya harus diusut dan dibuka secara terang-mbenderang dan adil dalam konteks penegakkan perkara," papar Ujang.

Menurutnya, jika isu pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK di tengah perkara dugaan korupsi Syahrul benar terjadi, maka hal itu akan berdampak buruk pada lembaga antirasuah itu.

"Kalau itu terjadi, kalau ini benar tentu ini merugikan institusi KPK sendiri sebagai lembaga pemberisihan korupsi yang utama di negeri ini," kata Ujang.

Ujang berharap agar oknum-oknum yang turut terlibat dalam dugaan pemerasan terhadap Syahrul harus ditindak tegas.

"Jadi saya melihat kalau ada oknum KPK yang seandainya memeras ini tentu tidak bagus. Harus ditindak, harus dihukum sesuai dengan mekanisme yang ada," kata Ujang.

Analis politik dari Universitas Al Azhar itu menegaskan, KPK sebagai salah satu instrumen hukum tidak boleh berbuat seenaknya tanpa mengedepankan asas keadilan.

"Penegakan hukum itu harus berbasis pada proporsionalisme dan harus berdasarkan pada kepentingan bangsa dan negara," kata Ujang.

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menepis tudingan yang menyebut bahwa pemerintah melakukan politisasi hukum pada kasus-kasus korupsi yang dibongkar belakangan ini.

Menurut Mahfud, di dalam setiap persidangan semua dugaan perkara yang melibatkan politisi pada akhirnya terbukti dengan berbagai macam barang buktinya.

Di satu sisi, kata Mahfud, pihak kepolisian dan kejaksaan telah menunda melaksanakan pengusutan dugaan perkara yang melibatkan menteri, calon kepala daerah, serta calon legislatif, setidaknya sampai tahapan pemilu berakhir.

KPK juga ikut menepis soal tudingan proses penyidikan dugaan korupsi yang menyeret Syahrul bernuansa politis. 

Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2023) mengatakan, proses yang dilakukan lembaga antirasuah itu murni penegakan hukum.

Ali memahami apa yang dilakukan KPK kerap dituding sebagai politisasi hukum lantaran bertepatan dengan tahun pemilu 2024. 

Dia menegaskan, semua hasil kerja KPK nantinya akan dipertanggungjawabkan secara hukum melalui persidangan terbuka sehingga publik bisa menilai langsung kinerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS