PARBOABOA, Jakarta – Persoalan tanah di Indonesia merupakan salah satu isu yang kompleks karena melibatkan konflik kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan oleh kelompok tertentu.
Hal ini dipicu oleh ketimpangan distribusi lahan yang sangat tinggi, di mana sebagian besar tanah produktif dikuasai oleh perusahaan besar, baik swasta maupun negara.
Pemerintah menerbitkan izin konsesi seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang sering kali merugikan masyarakat lokal, sehingga menyebabkan terjadinya konflik lahan.
Dampaknya, banyak petani dan masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, dan ketidakadilan agraria terus menjadi masalah serius yang memicu konflik sosial di berbagai wilayah Indonesia.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, untuk tidak mengulangi pendekatan lama dalam agenda pemberantasan mafia tanah.
Menurut KPA, pendekatan yang dilakukan Kementerian ATR/BPN cenderung menangani sengketa individu, sementara konflik agraria struktural justru kerap terabaikan.
Fakta yang terjadi di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, memperlihatkan bahwa sebagian besar lahan penduduk telah dikuasai oleh PT Bumi Sari.
Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut, dari total luas desa 1.309,7 hektar, warga hanya memiliki kendali atas sekitar 321,6 hektar.
Sementara itu, "lahan sekitar 716,5 hektar telah dikuasai oleh Perhutani dan 271,6 hektar lainnya oleh PT Bumi Sari," tulis WALHI pada Kamis (06/04/2023) lalu.
Maraknya kasus perampasan lahan, penggusuran, serta konflik agraria struktural menjadi sinyalemen bahwa praktik mafia tanah masih sangat kuat terjadi di tengah masyarakat.
"Akibatnya sebagian besar penduduk menjadi buruh tani atau buruh kebun, tanpa kepemilikan atas lahan yang mereka kelola, sehingga banyak warga yang hidup dalam kemiskinan," lanjut WALHI.
Dalam banyak kasus, konflik agraria yang timbul di Indonesia umumnya dipicu oleh mafia tanah yang melibatkan berbagai pihak, termasuk individu-individu dalam pemerintahan.
"Contoh nyata adalah penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) dan HGB (Hak Guna Bangunan) secara sepihak yang melibatkan lahan atau permukiman masyarakat," tulis KPA sebagaimana diterima PARBOABOA, Kamis (31/10/2024).
Proses ini sering kali tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga menciptakan konflik antara warga dan perusahaan yang mengklaim kepemilikan lahan melalui HGU.
Berdasarkan data KPA, sepanjang pemerintahan Jokowi, terjadi 2.939 kasus konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 6,3 juta hektar dan berdampak pada sekitar 1,7 juta rumah tangga petani.
"Angka ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan mafia tanah sejauh ini belum berjalan efektif, jika tidak ingin disebut gagal," tambah KPA.
Dalam temuan mereka, pemberantasan yang dilakukan pemerintahan selama ini hanya menyasar pada aspek maladministrasi tanah dan sengketa individu, yang diberi label mafia tanah.
KPA menggarisbawahi bahwa pelaku yang sering ditindak justru pejabat-pejabat level bawah, seperti kepala desa, yang sebenarnya bukan aktor utama.
Secara konseptual, mafia tanah didefinisikan sebagai kejahatan sistematis yang melibatkan pejabat tingkat menengah hingga tinggi sebagai pelindung utama dalam praktiknya.
Karena itu, KPA menyoroti agar Menteri ATR/BPN ke depannya diharapkan berani untuk mengarahkan pemberantasan mafia tanah pada aktor-aktor besar yang berada di balik sindikat ini.
Selain itu, KPA menegaskan perlunya keterbukaan informasi agraria dan pertanahan perlu menjadi perhatian penting.
"Selama ini, praktik mafia tanah berkembang karena kurangnya akses informasi, sehingga pengawasan publik pun minim."
Banyak konflik agraria yang dihadapi masyarakat dengan pengusaha besar, sering kali kesulitan mendapatkan akses terhadap informasi status tanah akibat keterbatasan informasi yang tersedia.
Mirisnya, upaya untuk mendorong keterbukaan data pertanahan yang diinginkan publik sering kali mendapatkan penolakan dari pihak Kementerian ATR/BPN.
Bahkan, putusan Mahkamah Agung yang menetapkan data HGU sebagai informasi publik, yang merupakan hasil gugatan KPA bersama masyarakat sipil pada 2019, ditolak oleh pihak kementerian.
Agar pemberantasan mafia tanah tidak mengulangi kesalahan masa lalu, KPA menekankan beberapa prioritas yang harus dijalankan.
Pertama, pemberantasan mafia tanah harus sejalan dengan dorongan untuk transparansi dan partisipasi dalam kebijakan pertanahan.
Kedua, upaya ini harus melibatkan seluruh kementerian, lembaga terkait, serta organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, pemberantasan mafia tanah harus selaras dengan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan upaya pemberantasan mafia tanah dapat berlangsung lebih efektif dan berkelanjutan, demi terciptanya keadilan dan kepastian hak atas tanah.
Editor: Defri Ngo