PARBOABOA, Jakarta - Pelukis kawakan Yos Suprapto kecewa bukan kepalang. 30 lukisan yang dibopongnya dari Jogjakarta batal digelar di Galeri Nasional Indonesia (GNI).
Pria yang lazim disapa Yos itu semula bersiap untuk memukau publik seni dengan pameran tunggal bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang direncanakan berlangsung di GNI.
Agenda ini dijadwalkan mulai dari 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025, dan menampilkan lebih dari 30 karya lukisan yang mengangkat tema kedaulatan pangan dan budaya agraris Nusantara.
Persiapan pameran telah berlangsung sejak tahun 2023, dengan dukungan kurator Suwarno Wisetrotomo. Namun, rencana tersebut harus ditunda karena kendala teknis terkait proses kurasi.
Meski demikian, antusiasme terhadap karya Yos tetap tinggi, mengingat rekam jejaknya sebagai seniman yang kerap menyuarakan kritik sosial lewat lukisan.
Di media sosial, publik ramai mengunggah dukungan kepada Yos. Mereka juga mengajukan kritik keras terhadap pihak GNI yang dinilai diskriminan dan alergi kritik.
Lantas, siapa Yos Suprapto sebenarnya? Dari mana ia berasal? Bagaimana sepak terjangnya dalam dunia kesenian?
Seniman Kritikus
Lahir di Surabaya pada 26 Oktober 1952, Yos Suprapto adalah figur yang dikenal tak hanya sebagai pelukis, tetapi juga konsultan teknologi tepat guna dan pertanian biodinamik.
Yos merupakan sosok seniman yang meyakini bahwa ide dan konsep kreatif bisa diungkapkan melalui cara konvensional maupun nonkonvensional.
Melalui berbagai karya, ia kerap menyampaikan kritik tajam terhadap isu-isu politik, sosial, hingga budaya nusantara.
Dalam tesis berjudul “Pembuatan Buku Biografi: Yos Suprapto Naskah Akademik Skripsi Berbasis Karya” oleh Dorothy Ryani Honesty dari Universitas Multimedia Nusantara (2018), Yos dikenal lewat gaya lukisannya yang penuh simbolisme abstrak dengan dominasi warna hitam, merah, biru, hijau, coklat, kuning, dan putih.
Perjalanan seninya dimulai sejak masa SMA, dengan fokus pada isu sosial dan lingkungan. Yos sempat menimba ilmu di ASRI Yogyakarta pada 1970, namun memutuskan keluar tiga tahun kemudian.
Sebagai aktivis mahasiswa, ia gencar menentang rezim Orde Baru (Orba) dan menjadi ilustrator untuk majalah independen bawah tanah.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan dan meraih gelar PhD di bidang Sosiologi Kebudayaan dari Southern James Cook University, North Queensland, Australia.
Selama lebih dari 25 tahun, Yos tinggal di Australia, di mana ia juga mendalami teknologi pertanian dan menulis buku “Aplikasi Pupuk Kandang yang Ramah Lingkungan dalam Perspektif Budaya” (2022).
Selain itu, Yos pernah menjabat sebagai ketua umum The Rainforest Information Centre di Lismore, Australia, yang bekerja sama dengan berbagai organisasi seperti WALHI dan CUSO dari Kanada.
Sepanjang kariernya, Yos Suprapto telah menggelar banyak pameran tunggal yang menyoroti isu sosial dan lingkungan.
Beberapa di antaranya, adalah “Bersatu Dengan Alam” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1994), “Barbarisme: Perjalanan Anak Bangsa” di Galeri Nasional Indonesia (2001), “Mata Hati Demokrasi” di Taman Budaya Surakarta (2002), dan “Republik Udang” (2005) di Tembi Gallery, Yogyakarta, yang mengkritik korupsi elite birokrasi Orba.
Pameran di tahun 2005 itu bahkan sempat membuat Yos terancam keselamatannya meski berada di luar negeri.
Pameran terakhirnya di GNI pada 2017, bertajuk “Arus Balik Cakrawala”, menyoroti perjalanan budaya bangsa, khususnya budaya maritim.
Dalam salah satu lukisannya yang berjudul “Adu Domba”, ia dengan lugas menggambarkan fenomena masyarakat yang sering dipecah belah demi kepentingan politik.
Melalui karyanya, Yos Suprapto terus menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa yang terpecah, sambil menyerukan perubahan dan introspeksi budaya.