PARBOABOA, Jakarta - Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) mengalami perubahan nama menjadi Koalisi Indonesia Maju.
Nama baru koalisi diumumkan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, setelah berembuk dengan sejumlah ketua partai, yaitu Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Prabowo, perubahan nama koalisi lantaran ingin melanjutkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Di sisi lain, Prabowo menilai, pemerintah Jokowi sukses membawa Indonesia melewati berbagai macam krisis, salah satunya krisis kesehatan akibat Covid-19.
“Setelah saya masuk, saya lihat dari dekat, saya ikut pemerintahan ini, saya yakin bahwa Pak Jokowi seorang patriot yang memikirkan rakyat dan bangsa Indonesia," ungkap Prabowo dalam pidatonya di HUT ke-25 PAN, Senin (28/8/2023).
Di balik pemberian nama baru tersebut, salah satu ketua umum parpol koalisi yang tidak dilibatkan dalam rembuk bersama adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Cak Imin mengaku tidak mengetahui soal pemberian nama baru koalisi menggantikan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Untuk diketahui, PKB menjadi salah satu partai yang pertama kali bergabung dalam KKIR, sebelum disusul Golkar dan PAN.
"Ya, saya baru dikasih tahu tadi sama Pak Prabowo bahwa koalisinya tadi Koalisi Indonesia Maju," kata Cak Imin usai acara.
Meskipun Cak Imin tidak begitu serius menanggapi perubahan nama koalisi, ia mengaku akan tetap melapor ke partainya sebagai bentuk pertanggungjawaban internal.
Di sisi lain, Cak Imin juga mempertanyakan terkait nasib KKIR setelah namanya diganti menjadi Koalisi Indonesia Maju.
"Berarti KKIR dibubarkan dong? Nah saya enggak tahu, saya akan melapor ke partai dulu," ungkap Cak Imin.
Sementara itu, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani belum bisa memastikan nasib KKIR sebelum dibahas di internal partai koalisi.
Ia juga menepis soal Cak Imin yang tidak dilibatkan dalam rembuk bersama sejumlah ketua umum partai koalisi. Menurutnya, Prabowo semula sempat menunggu Cak Imin saat nama itu sudah disepakati para ketua umum yang lain.
Namun hingga acara dimulai, Cak Imin tak kunjung datang. Prabowo kemudian tak sempat menyampaikan ke Cak Imin, hingga akhirnya ia mengumumkannya di tengah sambutan.
"Maka ketika Pak Muhaimin sampai, dibisikkan apa yang sudah menjadi pembicaraan dari tokoh-tokoh tersebut," kata Muzani.
Menepis Klaim Prabowo
Menarik untuk kembali melihat dalil Prabowo di balik perubahan nama KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju.
Prabowo mengklaim, nama baru tersebut hendak mengikuti jejak Jokowi yang dinilai sukses membawa bangsa ini keluar dari krisis. Selain itu, Jokowi juga disebut sebagai seorang patriot yang memikirkan rakyat dan bangsa Indonesia.
Apakah benar demikian?
Salah satu ekonom senior dari Political Economy Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, pernah menyentil soal janji Jokowi untuk mendongkrak perekonomian Indonesia hingga 7%.
Sayangnya, lima tahun pertama Jokowi berkuasa, perekonomian Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan, hanya bergerak di 5%.
Bahkan, pada perioede 2014-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang dua kali pemerintahan SBY. Angka rata-ratanya 5,6% dan 5,8% untuk periode 2005-2009 dan 2010-2014.
Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia malah semakin turun drastis. Apalagi, selama dua tahun, Indonesia dihantam Covid-19, seakan menenggelamkan janji 7% yang digemborkan Jokowi.
Pada 2019, misalnya, perekonomian tumbuh 5,2%. Kemudian mengalami penurunan tajam hingga ke level 2,07% pada 2021, dan kembali naik ke angka 3,69% di tahun 2021.
Menurut Anthony, angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang bukan menjadi jaminan ekonomi sebuah negara sedang baik-baik saja. Artinya, krisis ekonomi bisa saja terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Di Indonesia pada periode 1995 dan 1996, misalnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, masing-masing 8,2 dan 7,8%. Namun, tetap saja terjebak krisis pada 1997 dan 19198.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang stagnan, angka pengangguran di Indonesia juga menjadi persoalan lain yang belum juga berhasil diatasi pemerintahan Jokowi secara maksimal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Februari 2023, masih ada sebanyak 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 5,45% dari 146,62 juta orang angkatan kerja.
Berdasarkan jenis kelamin, pengangguran terbanyak didominasi laki-laki sebesar 5,83% dan perempuan sebanyak 4,86%. Hal ini sejalan dengan angkatan kerja yang mayoritas adalah laki-laki.
Di aspek pendidikan, masih banyak penduduk Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mayoritas penduduk Indonesia tidak atau belum sekolah sebanyak 66,07 juta jiwa atau 23,8% dari total penduduk per 31 Desember 2022.
Di sisi lain, kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara berdasarkan World Population Review, pada tahun 2021.
Indonesia bahkan masih kalah unggul jika dibandingkan dengan sesama negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura yang berada di peringkat 21, Malaysia di peringkat 38, dan Thailand di peringkat 46.
Soal penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah Jokowi juga dianggap gagal. Dalam catatan KontraS, sejak Desember 2020 hingga November 2021 sejumlah tindakan represif hingga penekanan ruang berpendapat terus berulang.
KontraS juga mencatat beberapa pola yang sama terjadi di antaranya di sektor sipil dan politik, seperti peretasan, doxing, penyiksaan hingga penangkapan sewenang-wenang. Catatan yang sama juga menunjukkan, terdapat 150 peristiwa pembatasan kebebasan sipil dengan aktor utama aparat keamanan. Peristiwa tersebut menyebabkan 500 orang ditangkap.
Sederet kegagalan di beberapa aspek krusial ini setidaknya bisa menepis klaim Prabowo Subianto yang menganggap Jokowi sebagai patriot.