PARBOABOA, Jakarta - Potret premanisme atau perilaku yang identik dengan perampokan, pemerasan dan penodong di Indonesia telah berlangsung lama.
Penelitian Ian Douglas Wilson bahkan menyebut, di tanah air, benih-benih aksi ini telah ada sebelum masa penjajahan.
Kala itu, sosok preman diasosiasikan dengan para jagoan yang terkenal karena kemampuan bela diri dan kemampuan fisiknya.
Lalu, ketika Belanda mulai berkuasa ruang gerak mereka semakin terbuka lebar. Ian menulis, pada masa penjajahan Negara Kincir Angin, para preman berperan aktif dalam percaturan politik lokal di wilayah Batavia.
Sementara itu, penelitian Robert Cribb mengungkapkan afiliasi premanisme dengan pengusaha. Robert menggambarkan bagaimana para jagoan ini bekerja bersama dengan para juragan untuk mengkoordinir buruh.
Tak hanya itu, mereka juga memimpin kelompok perampok untuk menjaga gurita bisnis para pedagang kaya, termasuk pedagang Arab dan China.
Saat ini, meski ada sedikit perubahan dari pola kerja, afiliasi premanisme dengan pengusaha dan politisi tidak terbantahkan.
Temuan Parboaboa belum lama ini, mengkonfirmasi hal itu. Pria asal Ambon, Eten (35) bercerita secara detail ihwal keterkaitan premanisme dan pengusaha berbaju politisi.
Kata dia, sebagian besar dari kelompok ini memang tidak memiliki patron tetap di kalangan elit politik tertentu. Mereka bergerak secara fleksibel, hanya mengorganisir massa ketika ada kebutuhan mendesak.
Biasanya, permintaan pengerahan massa datang dari elit politik yang memiliki kepentingan. Untuk itu, mereka akan menghubungi ketua-ketua wilayah di kawasan Jabodetabek, yang bertindak sebagai penghubung sekaligus koordinator.
Setelah terjalin komunikasi, negosiasi biaya akan berlangsung antara elit dan ketua wilayah.
Menariknya, eksekutor lapangan atau mereka yang turun langsung di aksi jarang mengetahui detail kesepakatan harga yang telah dicapai.
Seluruh kepercayaan sepenuhnya diberikan kepada ketua wilayah sebagai perantara utama. Dengan demikian, kontrol atas informasi dan keputusan ada di tangan para ketua.
Hal ini dilakukan agar jalannya pengerahan massa tetap terkendali sesuai dengan kesepakatan di level atas.
"Orang-orang di bawah ini nggak tahu. Ketua itu dapat berapa, dapat berapa kita nggak tahu. Udah saling mengerti aja lah," jelasnya.
Apa yang disampaikan Eten berkorelasi dengan insiden pembubaran paksa acara diskusi Forum Tanah Air (FTA) di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Saat itu, sekelompok orang tiba-tiba masuk ke dalam acara dan memaksa menghentikan kegiatan, bahkan menurunkan banner yang terpasang tanpa alasan yang jelas.
Kelompok-kelompok ini dikenal sebagai penagih dan penjaga lahan sengketa di Jakarta. Dugaan berkembang bahwa mereka mungkin menerima bayaran untuk menjalankan aksi tersebut demi kepentingan elit politik, meskipun hingga kini hal itu belum dapat dibuktikan secara pasti.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun yang seharusnya menjadi salah satu narasumber di acara itu, telah mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dalang di balik aksi preman tersebut.
Polda Metro Jaya sendiri mencatat, aksi-aksi premanisme di DKI Jakarta masih marak terjadi. Selama 2023 saja, terdapat ribuan kasus terkait premanisme, termasuk penganiayaan berat maupun ringan (1.280 kasus), penculikan (12 kasus), pengrusakan (161 kasus), penadahan (52 kasus), dan demonstrasi (1.467 kasus).
Bukan Ideologi
Akademisi sekaligus Staf Pengajar Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia (UI), Bhakti Eko Nugroho dalam sebuah artikel ilmiah (2020) menulis, premanisme atau bisnis kriminal tidak punya kaitan dengan faktor ideologi atau keyakinan tertentu.
Menurutnya, keputusan seseorang untuk bergabung dalam kelompok preman umumnya berlandaskan pada pertimbangan rasional dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan ekonomi.
Mirip dengan cara meningkatkan karir di dunia kerja legal, tulis dia, para preman juga harus melalui berbagai pencapaian untuk mencapai posisi puncak dalam hierarki kriminal mereka.
"Ada dua prinsip kunci yang mereka anut: menyelesaikan tugas dengan baik dan menunjukkan loyalitas yang tinggi."
Kekerasan yang digunakan oleh anggota kelompok kriminal bukan sekadar tindakan tanpa arah, melainkan bagian dari strategi untuk mendapatkan pengakuan dan "naik pangkat."
Dalam dunia bisnis kriminal, lanjutnya, momen bentrokan kekerasan dijadikan ajang untuk menguji keberanian dan menunjukkan kompetensi.
Di mata negara, tindakan kekerasan seperti itu dianggap sebagai pelanggaran hukum yang berujung pada sanksi.
Namun, di lingkungan kelompok kriminal, justru sebaliknya, melakukan kekerasan dianggap "sebagai bukti loyalitas dan keberanian" yang memberikan nilai tambah bagi pelaku di mata rekan-rekannya.
Lebih dari itu, tulis Bhakti, menjalani hukuman atas tindak kekerasan tidak selalu dipandang sebagai aib di dunia kriminal. Sebaliknya, seseorang yang pernah dipenjara sering kali mendapatkan status dan penghormatan lebih tinggi dalam kelompoknya.
Bahkan, hukuman dianggap sebagai bagian dari proses 'pematangan' dalam karir sekaligus penanda komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip kelompok dan dunia kriminal yang mereka tekuni.
Berdasarkan faktor tersebut, Bhakti menyarankan agar Pemerintah Indonesia berhati-hati dalam menerapkan kebijakan untuk memutus mata rantai premanisme.
Ia menekankan pentingnya pendekatan yang tepat, mengingat sejarah kelam dalam penanganan premanisme yang pernah terjadi di Indonesia.
Bhakti mengingatkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2012 yang menyoroti kasus penembakan misterius (petrus) pada periode 1982-1985.
Dalam operasi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu, tercatat 167 orang yang diduga berhubungan dengan premanisme tewas.
Tulis dia, meskipun negara harus tegas dalam menghadapi premanisme, respons tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang serupa dengan tindakan preman.
Penegakan hukum yang sudah berjalan perlu dilanjutkan dan diperkuat, namun langkah itu saja tidak cukup.
Kasus penangkapan John Kei yang kembali terlibat dalam kejahatan setelah beberapa kali menjalani hukuman di penjara, menurut Bakti, menjadi salah satu bukti bahwa penanganan premanisme selama ini belum efektif dan menyeluruh.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah paradigma dengan menanggulangi premanisme secara komprehensif, melihatnya sebagai persoalan sosial dan kesejahteraan yang perlu ditangani dari berbagai sisi.
Langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan pendidikan yang merata dan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan akses pendidikan yang luas dan maksimal, anak-anak muda akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan potensinya secara optimal, tanpa terjebak dalam pilihan jalan hidup yang salah.
Pendidikan juga bukan hanya soal kognitif, tapi juga soal membangun kesadaran dan kemampuan untuk berkontribusi secara positif bagi masyarakat.
Langkah kedua adalah menciptakan lapangan kerja yang merata di berbagai daerah. Apabila anak-anak muda bisa mendapatkan pekerjaan dan berkarya secara sah dan produktif di daerah asalnya, mereka tidak perlu bermigrasi ke kota-kota besar dan terpaksa bergabung dengan kelompok kriminal.
Bhakti menulis, mengabaikan aspek ini sama saja dengan menciptakan kondisi yang mendukung tumbuhnya kelompok preman menjadi organisasi kejahatan yang lebih terstruktur dan mapan.