Dampak Ketimpangan Sosial Terhadap Fenomena Pengemis Anak di Perkotaan

Ilustrasi pengemis anak-anak. (Foto: Dokumen Dinsos Pekanbaru)

PARBOABOA, Jakarta - Kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya ketimpangan sosial.

Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi mengkonfirmasi hal ini mengacu pada penguasaan sumber daya ekonomi yang ada saat ini.

Ia menegaskan, ketimpangan itu nyata ketika hanya ada "sekelompok kecil orang yang menguasai sumber daya ekonomi" sementara "sebagian besar orang tidak punya pendapatan."

Hal ini, tegas dia, menyebabkan makin banyaknya fakir miskin yang memilih bertahan hidup dengan menjadi pengemis. 

Lebih memprihatinkan, anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan justru terlibat menjadi pengemis dan gelandangan. Di sana, mereka dieksploitasi dengan dalih membantu perekonomian keluarga. 

Akademisi Sela Rachmawati melihat fenomena ini sebagai bagian tak terpisahkan dari masalah kemiskinan akut yang belum diusut tuntas.

Ia menaruh rasa simpatinya ketika melihat anak-anak menadahkan tangan untuk meminta uang kepada para pemotor dan penumpang angkutan umum di perkotaan.

Bahkan, tak jarang pula kata dia, ada "bayi dan balita diajak juga mengemis" sebagai magnet untuk menarik simpati orang memberikan uang.

Selain masalah kemiskinan, pengemis yang melibatkan anak-anak sebutnya, memperlihatkan pola asuh orang tua yang salah.

Sela berkata, pengabaian tanggung jawab orang tua dalam membesarkan anak telah mendorong banyak anak untuk hidup di jalanan, mencari kenyamanan yang mungkin tidak mereka temukan di rumah. 

Kurangnya perhatian terhadap masa depan anak membuat mereka sulit mengakses pendidikan, membatasi pandangan, pola pikir, dan kesempatan mereka di kemudian hari.

Di samping itu, lemahnya perlindungan sosial dan hukum yang ada membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, apalagi dengan sistem pendidikan di Indonesia yang belum optimal. 

Maka, pencegahan terhadap fenomena anak jalanan dan pengemis anak membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, mencakup semua aspek kehidupan mereka.

Langkah pertama adalah peran orang tua yang terdekat dengan anak. Dukungan melalui pola asuh yang efektif akan membentuk anak dengan karakter yang kuat dan rasa percaya diri yang tinggi terhadap keluarga mereka. 

Kehadiran orang tua, tegasnya bukan hanya fisik, namun juga emosional, mencakup proses merawat, mendidik, melindungi, dan mendisiplinkan anak secara konsisten.

Selain itu, perlindungan hukum untuk anak-anak harus ditegakkan secara berkelanjutan. Hal ini meliputi jaminan hukum untuk berbagai aktivitas yang mendukung perlindungan anak, termasuk aspek peraturan dan kebijakan yang mengatur hak-hak mereka serta implementasinya. 

Dengan memahami berbagai motif yang melatarbelakangi serta solusi yang dapat diterapkan, ia optimis fenomena anak jalanan dan pengemis anak dapat diminimalisir.

Fenomena anak-anak menjadi pengemis sejalan dengan minimnya kesempatan kerja yang masih menjadi masalah utama di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z (15-24 tahun). 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, terdapat 3.618.300 orang Gen Z usia 15-24 tahun yang tercatat sebagai pengangguran.

Rincian lebih lanjut menunjukkan bahwa di kelompok usia 15-19 tahun terdapat 1.034.119 penganggur, sementara pada kelompok usia 20-24 tahun, angka pengangguran mencapai 2.584.181 orang.

Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan didefinisikan sebagai individu yang hidup tanpa norma kehidupan yang layak, tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan sering kali berkelana di area umum. 

Pengemis, di sisi lain, adalah mereka yang bergantung pada pemberian orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sastraatmadja (1978) menggambarkan gelandangan sebagai kelompok yang terpinggirkan, sering ditemukan di lokasi kurang layak seperti kolong jembatan atau pinggir rel kereta api. 

Kuntari dan Hikmawati (2017) mendefinisikan pengemis sebagai individu yang mengandalkan belas kasihan publik untuk bertahan hidup.

Menurutnya, kelompok ini merupakan bagian dari komunitas marginal yang harus bertahan di sektor informal karena kurangnya akses dan daya saing di sektor formal.

Secara umum, para ahli berpendapat bahwa kemunculan gelandangan dan pengemis ini, dalam berbagai kelompok usia sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, baik dari sisi kultural maupun struktural.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS