PARBOABOA, Pematang Siantar – Bertempat tinggal disekitar Tempat Pemrosesan Akhir sampah (TPA) pasti tidak nyaman. Setiap hari harus merasakan bau tidak sedap dan tak jarang menimbulkan kerugian akibat limbah yang masuk ke area pemukiman.
Dalam amanat Undang-undang No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), pada Pasal 25 ayat (1) pemerintah dan pemda secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat memberikan kompensasi kepada masyarakat sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di TPA.
Pada ayat (2) Pasal 22 UUPS dijelaskan bahwa Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. relokasi; b. pemulihan lingkungan; c. biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau d. kompensasi dalam bentuk lain.
Masyarakat yang dimaksud tersebut adalah mereka yang berdomisili disekitar lokasi pemrosesan akhir sampah yang merasakan atau mencium bau sampah dari Tempat Pengolahan Sampah (TPS), sampai pada jarak tertentu yang sudah tidak mencium lagi bau menyengat dari sampah.
Dalam menyikapi pasal 25 ayat (1) dan (2) tersebut, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) untuk tidak memberi atau menahan dana kompensasi tersebut kepada warga yang terdampak bau TPA. Dana kompensasi warga terdampak ini sering pula disebut sebagai "dana bau".
Masyarakat terdampak sesungguhnya tidak perlu meminta atau bermohon kepada pemerintah dan pemda untuk mendapatkan dana tersebut. Tapi secara otomatis masyarakat berhak menerima dan menuntut pemerintah dan pemda bila tidak menerimanya.
Dana tersebut pastinya setiap tahun dikeluarkan dan menjadi kewajiban pemerintah dan pemda. Tapi apakah "dana bau" tersalur atau tidak sesuai yang berhak menerimanya ? Menurut dugaan dan temuan melalui survei langsung oleh Tim PARBOABOA, dana tersebut tidak tersalur sebagaimana mestinya.
Salah satu masyarakat yang tinggal disekitar TPA Pematang Siantar, Weni Simarmata menjelaskan kepada Tim PARBOABOA bahwa selama ini mereka tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Sampai saat ini bantuan dari pemerintah itu tidak ada. Kami hanya merasakan bau-baunya saja. Untuk bantuan belum pernah ada bagi kami yang terkena dampak ini,” Ujar Weni kepada Tim PARBOABOA, Rabu (20/7/2022).
Ia juga menambahkan, ketika musim penghujan turun, sampah-sampah yang ada di TPA tersebut akan longsor dan masuk ke area jalan. Aroma tidak sedap yang ditimbulkan pun semakin parah.
“Yang sakitnya itu, ketika musim hujan terjadi. Sampah-sampah yang menumpuk itu pasti longsor dan mau berserak ke area jalan. Bau sampahnya juga pasti lebih parah,” jelasnya.
Weni menjelaskan kepada Tim PARBOABOA biasanya yang mendapatkan bantuan itu adalah pekerja di TPA.
“Kalopun ada bantuan daripada pemerintah, mereka pekerja itunya yang diluan dapat. Kalo kami yang minta, alasannya kalian bukan pekerja di TPA,” Pungkasnya.
Pekerja sebagaimana dimaksud diatas adalah para pemulung yang mencari rejeki dari sampah.
Dari hasil wawancara Tim PARBOABOA dengan para pemulung yang ada disekitar TPA Pematang Siantar, mereka juga tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Selama kami menjadi pemulung di TPA ini, belum ada bantuan daripada pemerintah. Tapi kalo atas nama pribadi pernah,” ujar Leni Sinaga salah satu pemulung di TPA Pematang Siantar kepada Tim PARBOABOA.
Salah satu warga yang rumahnya berada persis di depan TPA Pematang Siantar, Lina Saragih (45) menyampaikan bahwa ia tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, khususnya selama pandemi COVID-19.
“Kami yang langsung berada di depan TPA ini tidak pernah mendapatkan bantuan. Apalagi pas COVID-19 lalu, bantuan masker, vaksin, vitamin tidak ada untuk masyarakat yang tinggal dekat sini.”
Selain itu, ia menambahkan bahwa ternak dan tanamannya mati akibat limbah TPA yang mengalir ke area pemukiman ketika musim hujan turun.
“Saya merasakan dampak yang sangat besar kalo musim hujan turun. Limbah dan bau sampah di TPA ini pernah menghancurkan ternak dan tanamanku,” jelasnya.
Ketika ditanyai soal ganti rugi akibat aliran limbah tersebut, Lina menjelaskan sampai saat ini kerugian tersebut belum tergantikan pemerintah.
“Saya sudah pernah meminta ganti rugi kepada Pemerintah terkait hal itu. Namun, hingga saat ini ganti rugi atau bantuan itu tidak pernah sampai,” pungkasnya.
Untuk meminta keterangan lebih lanjut terkait masalah ini, Tim Parboaboa mencoba menemui Dedy Tunasto Setiawan (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Pematang Siantar) di kantornya.
Namun, yang bersangkutan sedang tidak berada di tempat. Tim Parboaboa juga sudah mencoba menghubunginya via WhatsApp namun belum ada respon.