PARBOABOA, Jakarta - Tahapan peradilan pidana di Indonesia mengenal istilah replik dan duplik. Keduanya perlu dipahamai secara baik, tidak saja oleh pihak yang sedang berperkara tetapi juga oleh masyarakat umum.
Secara sederhana, kedua tahapan peradilan ini dapat dipahami sebagai argumen hukum yang diungkapkan di pengadilan, untuk menguatkan dalil-dalil hukum yang disertai dokumen-dokumen pendukung.
Karena diungkapkan di dalam sidang, bagi pihak berperkara, pemahaman yang utuh dua instrumen di atas akan sangat membantu mengidentifikasi bukti-bukti yang diperlukan, merumuskan argumen, dan menyusun strategi hukum.
Sementara, bagi masyarakat umum, memahami replik dan duplik membuka pintu wawasan terhadap keadilan dan kebenaran yang sedang berlangsung di pengadilan.
Sekurang-kurangnya, masyarakat dapat memantau proses peradilan, sekaligus menilai proses-proses tersebut menggunakan kaca mata dan pengetahuan hukum yang utuh.
Dengan kata lain, masyarakat memahami replik dan duplik untuk meningkatkan fungsi kontrol terhadap peradilan yang sedang berlangsung, terutama proses persidangan yang menyangkut kepentingan umum.
Namun demikian, replik dan duplik sebenarnya tidak diatur secara rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) atau UU Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana.
Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHP hanya menyebut kata terdakwa, pesahet hukum dan penuntut umum. Penjelasan mengenai replik dan duplik justru mendapat gambaran yang jelas dalam seluruh doktrin hukum yang dicetuskan oleh para ahli.
Monang Siahan, misalnya memberi defenisi yang jelas mengenai dua istilah ini, yakni replik merupakan jawaban penuntut umum atas pledoi atau pembelaan penasehat hukum, dan duplik adalah jawaban penasihat hukum atau pembelaan terdakwa atas replik penuntut umum.
Berikut adalah penjelasan sederhana mengenai perbedaan replik dan duplik yang disari dari beberapa pendapat para ahli hukum.
Replik
Replik adalah jawaban penuntut umum atas pembelaan terdakwa di persidangan. Ini berarti, sebuah kasus pidana telah diajukan di persidangan melalui penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Terdakwa kemudian melakukan pembelaan atau pledoi atas tuntutan tersebut. Sanggahan, atau bantahan terhadap pembelaan ini dalam sidang selanjutnya, itulah yang disebut sebagai replik.
Biasanya dalam sidang, majelis hakim selalu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menggunakan hak-hak hukumnya. Misal, usai sidang penuntutan, hakim selalu memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan atau pledoi.
Begitupun selanjutnya, setelah pembelaan, hakim memberi kesempatan yang sama kepada JPU untuk melakukan bantahan atau replik. Pilihan menggunakan hak-hak hukum ini tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
Mereka bisa memilih menggunakan, atau pun tidak. Dalam hal mereka tidak memilih, sidang dilanjutkan ke tahap berikut.
Duplik
Sementara itu, duplik adalah tanggapan terdakwa atas replik JPU. Melalui duplik, terdakwa menyampaikan poin penolakan terhadap seluruh replik JPU.
Dalam mengajukan duplik, terdakwa harus meminimalkan dalil-dalil hukum yang disampaikan melemahkan poin-poin pembelaanya dalam sidang terdahulu.
Duplik harus menguatkan pembelaan awal dan harus menunjukkan titik lemah replik JPU. Sama seperti replik, duplik juga bisa digunakan atau tidak oleh pihak-pihak yang berperkara.
Namun dalam banyak kasus pidana, hak-hak hukum ini biasanya selalu digunakan. Alotnya persidangan pidana, seperti dalam kasus korupsi, salah satunya karena terdakwa maupun JPU menggunakan instrumen-instrumen yang telah disedikan hukum, termasuk replik dan duplik.