PARBOABOA - Maryam merupakan novel ketiga karya Okky Madasari yang terbit pada 2012. Novel yang memiliki 275 halaman ini, mengisahkan perempuan bernama Maryam Hayati atau biasa disapa Maryam, perempuan asli Lombok yang mengalami diskriminasi akibat aliran Ahmadiyah yang dianutnya.
Ahmadiyah adalah sebuah aliran dalam agama Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889 di India, sebagai bagian dari gerakan kebangkitan Islam.
Aliran ini menekankan ajaran perdamaian, cinta, keadilan, dan kesucian hidup.
Pengikutnya, yang dikenal sebagai Jamaah Muslim Ahmadiyah, percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus oleh Allah SWT untuk mengakhiri konflik agama dan menegakkan moralitas serta kedamaian.
Penganut Ahmadiyah percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, sementara dalam Islam Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.
Mengutip dari Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag), Suryadharma Ali (SDA) Menteri agama dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VIII DPR dan Kapolri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu malam (9/2/2011), SDA menyatakan bahwa Ahmadiyah Qadiyan dianggap menyimpang karena ajarannya tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Pandangan ini mencerminkan sikap masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia yang sering kali mengalami diskriminasi dan pengusiran.
Sikap yang sama dihadapi oleh komunitas Ahmadiyah di berbagai daerah, termasuk di Gerugung, Mataram, Lombok Barat, yang kisahnya kemudian diangkat oleh Okky Madasari dalam novel fiksinya, dengan judul Maryam.
Okky menuliskan Maryam sebagai karya yang terinspirasi dari kejadian nyata, menggambarkan bagaimana masyarakat Ahmadiyah terusir dari kampung halamannya karena keyakinan yang berbeda dengan mayoritas Muslim di sekitarnya.
Melalui karakter-karakter fiktif, Okky memperlihatkan dampak sosial yang sangat nyata akibat ketidakmampuan masyarakat menerima perbedaan keyakinan.
Perbedaan iman tersebut lantas menjadi konflik yang menarik dalam novel Maryam. Alur campuran (maju-mundur) yang diciptakan penulis, mampu membuat pembaca penasaran akan kisah hidup Maryam dan keluarganya.
Dalam novel ini, Okky juga tak hanya menggambarkan betapa termarginalkannya Maryam sebagai kaum Ahmadi, melainkan membahas sisi kemanusiaan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas.
Diskriminasi yang Tak Kunjung Reda
Setelah menamatkan kuliahnya di Surabaya, Maryam memutuskan untuk bekerja di Jakarta dan bertemu dengan seorang lelaki bernama Alamsyah.
Perlahan, rasa cinta pun muncul hingga akhirnya Maryam dan Alam memutuskan untuk menikah.
Hubungan keduanya tentu tidaklah mudah. Orangtua Maryam tak setuju jika anaknya harus menikah dengan lelaki yang bukan penganut Ahmadiyah begitupun sebaliknya.
Pergolakan batin hingga rasa cinta, memaksa Maryam harus mengambil keputusan hingga akhirnya nekat menikah dengan Alam.
Diskriminasi yang dirasakan Maryam mulai terasa ketika prosesi pernikahan. Maryam yang dicap sebagai penganut aliran sesat dipaksa bersumpah untuk memeluk agama Islam sesuai keyakinan Alam.
Setelah menikah, kian hari konflik antara Maryam dan keluarga Alam pun terus memanas.
Walaupun Maryam sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya sebagai Ahmadi, namun keluarga Alam selalu mengaitkan Maryam sebagai penganut aliran sesat.
Merasa jengah dan tidak dihargai, dalam lima tahun pernikahannya Maryam memutuskan untuk bercerai dengan Alam dan kembali ke Lombok.
Sesampainya di Lombok, betapa terkejutnya Maryam ketika menemukan rumah yang ditinggali keluarganya sudah menjadi gedung pertemuan warga dan seluruh keluarganya telah pindah ke tempat lain.
Setelah ditelusuri, ternyata keluarga Maryam telah diusir oleh warga setempat yang memiliki stigma negatif terhadap Ahmadiyah. Warga beranggapan, bahwa seluruh penganut Ahmadi adalah sesat dan merupakan kaum yang menyimpang.
Konflik agama hingga diskriminasi antar masyarakat begitu terasa dalam novel ini. Hanya karena memeluk keyakinan yang berbeda, Maryam dan keluarganya harus rela terusir bahkan dari tanah kelahirannya sendiri.
Peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa
Berkat kemampuan Okky Madasari mengangkat isu kasus faktual di Indonesia, Maryam berhasil memenangkan Anugerah Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa pada 2012.
Novel ini berhasil menyisihkan 'Cerita Cinta Enrico' karya Ayu Utami yang sedang populer pada saat itu.
Diketahui, Kusala Sastra Khatulistiwa merupakan ajang bergengsi bagi kesusastraan Indonesia.
Sastrawan dan sosiolog Indonesia yang lahir pada 30 Oktober 1984 ini berhasil menjadi pemenang termuda pada saat itu sejak penghargaan tersebut pertama kali digelar pada 2001.
Selain penghargaan sastra, novel Maryam juga berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nurhayat Indriyatno dan Makna Sinatria dengan judul "The Outcast".
Bagi pembaca, novel ini mengajak untuk mengetahui realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Diskriminasi terhadap Ahmadiyah serta penolakan oleh masyarakat muslim arus utama menjadi konflik yang menarik dalam novel Maryam.
Konflik agama yang tersaji dalam novel, bukan hanya sekedar masalah keberagaman. Melainkan eksklusivisme kelompok Ahmadiyah baik itu dalam menjalankan ibadah maupun kegiatan lainnya.
Penulis: Surya Mahmuda