PARBOABOA – Ayu Utami, seorang maestro dalam dunia sastra Indonesia, kembali menggetarkan jiwa para pembacanya melalui novel Larung, yaitu sebuah novel yang menyelami lebih dalam kompleksitas politik dan pergulatan batin di masa Orde Baru.
Sebagai sekuel dari Saman, karya ini mengantarkan kita pada perjalanan yang lebih dalam, serta membedah kompleksitas hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang penuh intrik dan kuasa.
Di tangan Ayu, cerita ini menjadi sebuah narasi yang tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga merangkum jerit batin perempuan-perempuan tangguh yang berdiri di garis depan perlawanan, di tengah pusaran perubahan zaman yang tak kenal apapun.
Novel Larung berlatar pada masa Orde Baru, sebuah era di mana kebebasan di bawah taring kekuasaan militer yang menindas.
Empat sahabat perempuan yang sebelumnya kita kenal dalam Saman kini kembali, namun dengan kehadiran sosok baru yang bernama Larung dan membuat dinamika di antara mereka semakin kompleks.
Larung bukan hanya sekedar karakter, ia adalah sebuah simbol dari perlawanan yang tersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan yang absolut.
Lalu, dengan kebersamaan, mereka menyusun strategi untuk menyelamatkan tiga aktivis yang tengah diburu oleh aparat militer setelah insiden bersejarah pada 27 Juli 1996.
Kehadiran Larung yang penuh misteri memancarkan daya tarik yang tak terelakkan, seolah menjadi magnet yang mengikat perhatian pembaca sejak awal.
Ayu Utami menyusun ceritanya dengan ketelitian yang halus, dan membuat langkah Larung terasa seperti bagian dari puzzle yang harus disatukan.
Tokoh-tokoh dalam novel ini bukan sekedar bayangan dalam sebuah novel saja, tetapi juga sebagai potret nyata dari para pejuang yang mempertaruhkan hidup demi secercah kebebasan.
Novel ini pun juga menggambarkan peran militer yang dominan dan menindas, sehingga rakyat tidak dapat bersuara, apalagi melayangkan sebuah protes.
Aktivisme pelajar disini pula digambarkan dengan keceriaan dan tanpa tekanan, meski akhirnya banyak yang dibungkam, bahkan sampai dibunuh.
Salah satu contohnya yaitu pada saat Saman dan Larung ditangkap dan diinterogasi.
Yang di mana setelahnya, penguasa yang otoriter tersebut menunjukkan kekejamannya dengan membunuh mereka tanpa pengadilan yang adil.
Pada saat itu Larung ditembak dengan peluru redam, dan ia pun terjatuh di pundak Saman.
Puzzle Cinta, Kuasa, dan Perlawanan di Bawah Kekuasaan Otoriter
Selain perjuangan melawan militer, novel ini juga menyajikan kisah cinta yang penuh rahasia dan perselingkuhan yang memecah hubungan para tokohnya.
Larung, seorang aktivis dengan latar belakang keluarga yang rumit, menjadi pusat penuh dari cerita ini.
Sejak kecil, ia diasuh oleh neneknya yang berumur lebih dari seratus dua puluh tahun, seorang wanita tua yang terjebak antara hidup dan mati karena susuk mistis yang tertanam di tubuhnya.
Dalam kondisi yang sulit, Larung harus mencabut susuk tersebut dengan menggunakan enam cupu, yang di mana itu adalh sebuah tindakan yang sarat makna karena berarti mengakhiri hidup sang nenek demi membebaskannya dari penderitaan yang tak berkesudahan.
Hal ini bukan sekedar keputusan biasa, tetapi sebuah pengorbanan kelam yang menjadi simbol keberaniannya dalam memutus ikatan yang mengikat neneknya di dunia fana.
Ayu Utami pun juga menghidupkan sosok Larung dengan karakter yang penuh misteri dan emosi yang mendalam, serta menciptakannya sebagai tokoh yang berlapis, kompleks, namun tetap teguh dalam pendiriannya.
Namun, meski Larung berusaha menjauhkan dirinya dari godaan duniawi, perjuangannya melawan rezim otoriter justru membuat hidupnya berakhir tragis.
Konflik yang disajikan dalam novel ini tersusun bak kepingan puzzle, satu demi satu terhubung menjadi alur yang menegangkan dan tak terduga.
Setiap kejadian dalam novel ini menyiratkan nuansa mistis yang mempengaruhi langkah Larung, dan menghadirkan cinta yang tersembunyi di balik luka-luka batin, serta menonjolkan ketegangan dalam hubungan antara rakyat, aktivis, dan militer. Semua elemen itu terjalin menjadi satu, membentuk cerita yang memikat dan penuh lapisan makna.
Dalam novel ini, Ayu Utami tidak hanya menghadirkan kisah pribadi para tokoh, namun juga menyampaikan kritik sosial yang mendalam.
Dengan gaya bahasa yang lugas namun tetap penuh kedalaman, ia mengeksplorasi kekuasaan dan seksualitas tanpa ragu, serta menampilkan keberanian perempuan yang berani menantang batas-batas yang diciptakan oleh norma masyarakat.
Melalui tokoh-tokoh wanitanya yang tampak berani dan penuh gairah, Ayu menyentil norma sosial yang sering kali mengekang hasrat dan emosi mereka.
Lebih dari sekedar kisah perlawanan, novel Larung juga berfungsi sebagai cermin yang memantulkan realitas gelap di bawah bayang-bayang rezim Orde Baru.
Ayu Utami pula menyindir kekuasaan yang memberangus suara-suara kebenaran, mengingatkan kita bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para aktivis seperti Saman dan Larung bukanlah sebuah cerita yang hilang ditelan waktu, melainkan bagian dari sejarah yang terus menggema.
Para aktivis dalam cerita ini rela mengorbankan segala yang mereka miliki demi mempertahankan prinsip yang mereka pegang teguh.
Meskipun menyadari risiko besar yang menghadang, mereka tetap memilih untuk melangkah di jalan yang penuh duri demi memperjuangkan keadilan yang mereka yakini.
Novel ini, pada akhirnya, bukan hanya tentang Larung atau kisah pribadi para tokoh saja, melainkan tentang perjalanan panjang menuju kebebasan.
Tentang keberanian yang tidak mengenal takut, tentang suara-suara yang tak pernah sepenuhnya terbungkam meski kekuatan militer berusaha menindasnya.
Ayu Utami menutup novel ini dengan pesan yang kuat: bahwa perlawanan, meskipun seringkali terbungkam, adalah bagian dari proses yang menggerakkan roda perubahan, dan setiap pengorbanan yang dilakukan tidak akan pernah sia-sia karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
Penulis: Mila Rismaya Sriyatni
Editor: Luna