Larangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Kuningan Cederai Nilai Toleransi

Lokasi kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan (Foto: amnesty.id)

PARBOABOA, Jakarta - Kasus intoleransi umat beragama menjadi persoalan serius yang dialami bangsa Indonesia selama beberapa dekade terakhir.

Terbaru, pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat melarang pelaksanaan pertemuan tahunan Jalsah Salanah oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor pada 6-8 Desember 2024.

Larangan tersebut tercantum dalam surat tertanggal 4 Desember 2024, yang menyatakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah tidak diperbolehkan karena dinilai berpotensi mengganggu kondusifitas daerah.

Menanggapi keputusan pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan kritik tajam.

Ia menyayangkan insiden intoleransi seperti ini kembali terjadi, terlebih hanya dua hari setelah Presiden menyerukan pentingnya menjaga keberagaman dan kerukunan sebagai pilar persatuan bangsa. 

"Kejadian ini menggarisbawahi ketidakkonsistenan antara komitmen pemerintah pusat dan kebijakan di tingkat daerah terkait perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam konteks keberagaman dan harmoni masyarakat di Indonesia," terang Usman, Jumat (06/12/2024)

Ia menambahkan bahwa meskipun pemerintahan telah berganti, pola diskriminasi terhadap Jemaah Ahmadiyah tetap berlangsung. 

Alasan pelarangan yang disebut demi menjaga "kondusifitas daerah" dianggap tidak masuk akal, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. 

"Pembatasan ini menunjukkan tindakan represif terhadap hak dasar dalam menjalankan agama dan kepercayaan, yang dijamin oleh Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, serta Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik," tegasnya.

Amnesty mencatat bahwa tindakan diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah telah terjadi secara berulang, termasuk pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, pengusiran, hingga persekusi. 

Laporan serupa disampaikan Setara Institute yang menyebut total kasus yang menimpa kelompok Jamaah Ahmadiyah sejak 2007-2017 tercatat sebanyak 244 kasus.

Selain kelompok beraliran Islam, tindakan intoleran juga mendera kelompok agama lain, seperti Katolik dan Protestan di mana terjadi banyak larangan pendirian rumah ibadah.

Setara mencatat, setidaknya 21 unit Gereja Katolik dan Protestan yang mendapat penolakan pendirian, perusakan, bahkan pembongkaran oleh kelompok-kelompok ekstrim pada 2022 lalu.

Hal ini mencerminkan pola sistematis diskriminasi yang terus berlangsung terhadap kelompok minoritas beragama di Indonesia.

Usman lantas mendesak Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mencabut larangan tersebut dan menjamin kebebasan Jemaah Ahmadiyah dalam melaksanakan kegiatan keagamaan tanpa intimidasi. 

Selain itu, ia meminta pemerintah pusat mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008, yang dianggap menjadi dasar kebijakan diskriminatif terhadap komunitas ini.

"Negara wajib menolak segala bentuk intoleransi dan diskriminasi yang berlandaskan agama, sebagaimana diatur dalam hukum internasional tentang hak asasi manusia," pungkasnya.

Kronologi Kasus

Kasus bermula dari surat Penjabat Bupati Kuningan pada 4 Desember 2024, yang menyatakan bahwa acara Jalsah Salanah di Desa Manislor tidak dapat dilaksanakan karena dinilai mengganggu kondusifitas daerah. 

Hal ini ditegaskan kembali melalui surat dari Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan pada 5 Desember 2024, yang memberikan ultimatum kepada Jemaah Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan tersebut sebelum pukul 17.00 WIB.

Ironisnya, larangan ini dikeluarkan hanya beberapa jam setelah Presiden Prabowo dalam pidatonya di Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang menekankan pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman. 

Menanggapi larangan pemerintah, Jemaah Ahmadiyah menyatakan tekad untuk tetap melanjutkan acara tersebut.  

"Kami tidak akan membatalkan atau menunda acara ini," bunyi pernyataan resmi yang dirilis pada Kamis (05/12/2024).  

Selain itu, mereka juga menyebut bahwa acara ini telah memperoleh izin resmi dari Kepala Desa Manislor.  

Dalam pernyataan sikap yang dilengkapi tanda tangan para anggota, mereka meminta aparat kepolisian serta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk memberikan perlindungan atas kegiatan mereka.  

"Kami mohon kepada seluruh aparat kepolisian dan Forkopimda untuk melindungi kegiatan kami," lanjut mereka.  

Mereka juga berharap agar acara tahunan ini dapat berlangsung dengan aman dan tanpa gangguan, sejalan dengan hak mereka menjalankan keyakinan yang dijamin oleh konstitusi. 

Kasus tersebut menambah daftar panjang intoleransi di Indonesia. Data Amnesty International menunjukkan bahwa dari Januari 2021 hingga September 2024, terdapat 122 kasus intoleransi. 

Bentuk-bentuknya meliputi penolakan, penutupan, atau perusakan tempat ibadah serta serangan fisik terhadap kelompok minoritas agama. 

Adapun pelakunya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pejabat pemerintah hingga organisasi masyarakat.

Dalam konteks persoalan ini, Pasal 18 ICCPR dan UUD 1945 seharusnya menjadi landasan kuat untuk melindungi hak kebebasan beragama. 

Pemerintah diharapkan dapat lebih tegas dalam menegakkan hukum dan melindungi hak-hak minoritas, demi menciptakan Indonesia yang benar-benar inklusif dan harmonis.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS