PARBOABOA, Jakarta - Kritik terhadap langkah pemerintah dalam menerapkan kembali Work From Home (WFH) sebagai upaya untuk mengatasi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya terus bergulir dari berbagai kalangan.
Salah satu kritik terbaru terhadap penerapan WFH ini datang dari seorang anggota Ombudsman RI, Hery Susanto. Menurut pandangannya, WFH mungkin bisa menjadi solusi sementara, tetapi tidak akan efektif dalam mengatasi permasalahan polusi udara di wilayah Jabodetabek.
Hery Susanto berpendapat bahwa agar konsep WFH dapat memberikan dampak yang nyata, langkah-langkah penanganan yang bersifat sistemik harus diterapkan, yang meliputi sektor hulu hingga hilir.
Masukan Ombudsman RI Atasi Polusi Udara
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sekitar 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti oleh industri energi sebesar 31 persen. Sektor manufaktur industri mencakup 10 persen, sektor perumahan 14 persen, dan sektor komersial 1 persen.
Dalam hal emisi karbon monoksida (CO), sektor transportasi adalah penyumbang terbesar dengan kontribusi sekitar 96,36 persen atau 28.317 ton per tahun. Disusul oleh pembangkit listrik dengan kontribusi sekitar 1,76 persen atau 5.252 ton per tahun, dan sektor industri dengan kontribusi sekitar 1,25 persen atau 3.738 ton per tahun.
Berdasarkan data tersebut, Ombudsman RI menyarankan beberapa langkah kepada pemerintah untuk mengurangi polusi udara.
Di antaranya perlu adanya kebijakan pembatasan kuota subsidi bahan bakar minyak (BBM), seperti pertalite dan solar, yang memiliki tingkat emisi CO yang tinggi.
Selain itu, masyarakat, terutama aparatur sipil negara (ASN), seharusnya menjadi contoh dalam menggunakan BBM non-subsidi atau kendaraan listrik.
Terkait kendaraan listrik ini, Hery memberikan apresiasi terhadap langkah Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, yang mendorong pegawai eselon IV di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk menggunakan armada semacam itu.
Namun demikian, regulasi teknis dan anggaran perlu segera disusun untuk implementasi Inpres No 7/2022 mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik.
Di ranah publik, Hery mengatakan perlu ada kebijakan yang mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik melalui insentif bagi pengguna selain membebaskan pembatasan ganjil-genap. Pemerintah juga diharapkan terus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan kendaraan listrik.
Hery juga mengungkapkan, memiliki kendaraan listrik tidak selalu berarti harus membeli yang baru. Pemerintah bisa merumuskan regulasi untuk mengubah mesin kendaraan bermotor konvensional menjadi kendaraan listrik, termasuk kemudahan dalam mengurus perubahan informasi di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk meningkatkan jumlah transportasi publik yang menggunakan tenaga listrik.
Terkait Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, Hery menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat, termasuk dalam pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan adopsi teknologi yang ramah lingkungan.
Terkait hal itu, Ombudsman juga berencana untuk melakukan tinjauan lapangan di beberapa PLTU di sekitar Jabodetabek untuk memverifikasi kepatuhan terhadap AMDAL. Tindakan korektif juga akan diberikan kepada pemerintah terkait penanganan polusi udara di wilayah tersebut.
Kritik Pengamat atas Penerapan WFH
Selain Hery, pandangan kritis atas penerapan konsep WFH juga datang dari Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta. Dia berpendapat, penerapan WFH yang direncanakan akan diterapkan mulai September mungkin tidak akan memiliki dampak signifikan.
Penerapan WFH perlu dibarengi insentif lain dan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing perusahaan.
Pengamat kebijakan publik lainnya, Uchok Sky Khadafi, menyatakan konsep WFH yang diterapkan kepada 50 persen aparatur sipil negara (ASN) di Pemprov DKI Jakarta tidak akan cukup untuk mengurangi polusi udara di Jakarta. Dia mencatat, polusi udara di kota tersebut tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor.
Maka dari itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk mengatasi permasalahan ini.