PARBOABOA, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak penerapan prinsip non-punishment untuk korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Prinsip ini hendak memastikan bahwa korban TPPO tidak dipidana meskipun mereka terlibat dalam tindak pidana karena paksaan pelaku perdagangan orang.
Desakan tersebut mencerminkan upaya perlindungan terhadap korban yang sering kali menjadi target hukuman berat, terutama dalam kasus kejahatan narkotika.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, menjelaskan prinsip non-punishment merupakan bagian penting dari perlindungan hak korban perdagangan orang.
"Prinsip ini menetapkan bahwa korban perdagangan manusia tidak dapat dikenakan hukuman pidana jika mereka terpaksa melakukan kejahatan sebagai akibat dari paksaan pelaku," ungkap Tiasri, Rabu (31/07/2024).
Menurutnya, prinsip ini bertujuan mencegah korban yang terpaksa terlibat dalam kejahatan karena paksaan pelaku perdagangan orang yang dijatuhi hukuman pidana.
Hal ini menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi korban untuk kedua kalinya dalam sistem peradilan.
Tiasri juga menekankan bahwa prinsip non-punishment sejalan dengan Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak (2015).
Konvensi ini mengatur agar negara anggota ASEAN mempertimbangkan untuk tidak mempidanakan atau meminta pertanggungjawaban korban atas tindakan melanggar hukum yang terkait langsung dengan perdagangan orang.
Selain itu, prinsip tersebut didukung oleh berbagai pedoman dan rencana aksi ASEAN, termasuk Pedoman Sensitif Gender dan Pedoman Praktisi ASEAN.
Namun, Wiandani mencatat, Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN "yang terikat atas prinsip tersebut belum mengimplementasikan-nya dengan baik."
Tindakan Lebih Lanjut
Penerapan prinsip non-punishment di Indonesia menghadapi berbagai tantangan.
Meskipun terdapat regulasi internasional dan pedoman yang mendukung, implementasinya tampak ‘jauh panggang dari api.’
Banyak kasus menunjukkan bahwa korban TPPO sering kali menjadi sasaran kriminalisasi, bahkan dihukum mati, terutama dalam kasus terkait kejahatan narkotika.
Kesenjangan antara kebijakan dan proses pelaksanaannya menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut dari pemerintah untuk memastikan prinsip ini diterapkan dengan baik.
Secara konseptual, prinsip non-punishment dirancang untuk melindungi korban TPPO dari hukuman pidana yang tidak adil dan memperburuk penderitaan mereka.
Dengan menghindari hukuman terhadap korban yang terpaksa terlibat dalam tindak pidana tersebut, prinsip ini bertujuan untuk mencegah re-viktimisasi oleh sistem peradilan.
Perlindungan hak asasi manusia yang mendasar ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban tidak mengalami penderitaan tambahan dalam proses hukum.
Penerapan prinsip non-punishment juga memiliki potensi untuk mengubah cara penegakan hukum dalam menangani kasus TPPO, dengan menekankan perlunya perlindungan hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Implementasi prinsip non-punishment dapat membantu mengurangi kriminalisasi terhadap korban dan meningkatkan kesadaran mengenai dampak dari perdagangan orang.
Hal ini juga akan memperkuat dasar hukum untuk menangani kasus TPPO secara lebih manusiawi dan adil.
Pemerintah didesak melakukan upaya yang lebih besar untuk memastikan penerapan prinsip non-punishment agar berjalan konsisten dan efektif.
Selain itu, meningkatkan kesadaran di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai pentingnya prinsip non-punishment merupakan langkah krusial.
Kegagalan dalam penerapan prinsip ini dapat mengakibatkan ketidakadilan bagi korban TPPO dan menghambat upaya nasional serta internasional untuk memerangi perdagangan orang secara efektif.