PARBOABO, Jakarta – Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, dimana puncaknya diproyeksikan terjadi pada 2045.
Di saat itu, Generasi Z (Gen Z) akan menjadi mayoritas angkatan kerja produktif dan memainkan peran penting dalam menentukan masa depan bangsa.
Namun, potensi besar ini hanya bisa dioptimalkan jika ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kreativitas dan inovasi anak muda.
Wakil Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Dzulfikar Ahmadi Tawalla, menyampaikan bahwa membangun generasi muda yang kompeten adalah tugas bersama.
“Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kolaborasi lintas sektoral adalah kunci dalam menghadapi tantangan masa depan,” ujar Dzulfikar dalam diskusi di Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (28/10/2024).
Sementara menurut World Economic Forum, sejak 2025, Gen Z akan mendominasi angkatan kerja global.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya tantangan yang tidak ringan yang harus dihadapi kelompok usia ini.
Perusahaan semakin fokus mempertahankan karyawan berpengalaman, sementara lulusan baru kesulitan mendapatkan kesempatan pertama mereka.
Paradoks ini muncul karena banyak posisi entry-level kini menuntut pengalaman, sementara kesempatan memperoleh pengalaman tersebut justru terbatas.
Transformasi digital semakin memperketat kompetisi. Perusahaan mencari karyawan dengan keterampilan teknologi dan kemampuan adaptasi cepat.
Mereka yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan memiliki keunggulan, namun yang belum memiliki keterampilan tersebut harus bekerja lebih keras untuk bisa bersaing.
Selain pengetahuan akademis, keterampilan kolaborasi, kemandirian, dan pemecahan masalah juga semakin penting.
Gen Z tumbuh dalam dunia digital yang penuh ketidakpastian, menghadapi tekanan dari berbagai sisi.
Ketidakstabilan ekonomi pascapandemi dan ekspektasi sosial di media online turut membebani kesehatan mental mereka.
Di media sosial, Gen Z kerap merasa harus mencapai kesuksesan dengan cepat dan membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, yang memicu rasa cemas dan rendah diri.
Selain itu, pandemi COVID-19 mengubah pola komunikasi. Pendidikan jarak jauh dan keterbatasan interaksi sosial membuat banyak anak muda kesulitan mengembangkan keterampilan interpersonal, terutama di lingkungan profesional.
Dampaknya, kepercayaan diri dalam berkomunikasi menjadi tantangan baru.
Menurut data Robert Half, 60% Gen Z cenderung berpindah pekerjaan pada 2023, terutama di rentang usia 18-25 tahun.
Faktor utamanya adalah kesenjangan antara ekspektasi mereka terhadap pekerjaan bermakna dan kenyataan di dunia kerja.
Selain itu, lingkungan kerja yang tidak kondusif bagi kesejahteraan turut mendorong mereka mencari peluang baru.
Sinergi Kebijakan dan Dukungan Pemerintah
Dalam menghadapi tantangan ini, Dzulfikar mendorong adanya langkah kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat.
BPS melaporkan bahwa pemuda berusia 15-29 tahun mencakup 62% populasi Indonesia.
Artinya pada tahun 2045, jelas Dzulfikar, mereka bukan hanya konsumen informasi, tetapi juga produsen kreatif dengan potensi inovatif yang besar.
Karena itu ia menyambut baik kebijakan strategis yang telah dirancang untuk memperkuat potensi Gen Z.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden berfokus pada koordinasi lintas sektoral, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
Imam Gunawan, Analis Kebijakan Ahli Utama Kemenpora, menekankan bahwa tantangan yang dihadapi Gen Z tak hanya soal ekonomi, tetapi juga kesehatan mental.
Kita, tegas Imam, tidak bisa hanya mengandalkan pendidikan formal.
Ia menyebut, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan menjadi landasan penting dalam pengembangan karakter dan keterampilan pemuda.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program konkret untuk mempersiapkan Gen Z menghadapi tantangan masa depan.
Salah satunya adalah program pelatihan keterampilan yang dijalankan melalui kerja sama antar pemerintah dengan negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Jerman.
Program ini tidak hanya membuka peluang bekerja di luar negeri tetapi juga memperkaya pengalaman global anak muda Indonesia.
Terkait hak ini, Dzulfikar menjelaskan, fokus program pelatihan bukan hanya pada peningkatan keterampilan teknis, tetapi juga pembentukan mental dan karakter.
"Kita perlu menaruh kepercayaan pada Gen Z, tetapi mereka juga memerlukan pendampingan yang bijak agar tetap berada di jalur yang benar," katanya.
Menurut Imam, pendekatan komunitas penting untuk mendorong pemuda dan Gen Z aktif merancang serta menjalankan kegiatan positif.
Misalnya, Kemenpora menginisiasi program kelompok sebaya untuk mendorong keterlibatan aktif generasi muda.
Melalui program ini, mereka diberi kesempatan mendesain kegiatan sendiri dengan dukungan dari pemerintah.
Inisiatif tersebut juga menanamkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial sejak dini, membentuk generasi yang mandiri, tangguh, dan inovatif.
Dengan bonus demografi yang ada, Indonesia memiliki peluang besar untuk memberdayakan Gen Z sebagai motor penggerak perubahan.
Program kewirausahaan, pelatihan vokasi, dan peningkatan partisipasi sosial diharapkan dapat memperkuat kompetensi dan daya saing mereka.
Imam menekankan pentingnya memberikan ruang bagi anak muda untuk berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat.
Kepercayaan yang disertai dukungan memadai akan membentuk generasi pemimpin masa depan yang kompetitif dan inovatif.
Namun, keberhasilan ini membutuhkan konsistensi kebijakan dan program berkelanjutan.
Dengan memanfaatkan bonus demografi dan memastikan setiap pemuda mendapatkan kesempatan yang setara, Indonesia dapat mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Kolaborasi lintas sektor harus terus diperkuat agar setiap individu, terutama Gen Z, siap menghadapi tantangan dan menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Editor: Norben Syukur