PARBOABOA, Jakarta - Aulia Risma Lestari tak punya pilihan lain. Kala menemukan dirinya berada di titik terendah, ia mengambil jalan pintas, bunuh diri.
Semuanya berawal ketika perempuan muda yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip), itu menghadapi tekanan dari senior-seniornya.
Sang ibu merekam baik curhatan sang putri. Bahkan sempat dia (Aulia) meminta resign karena tak mampu menghadapi sejumlah perundungan.
Namun, di tengah upaya Ibunda menguatkan sang anak, Aulia lebih dulu memilih mengakhiri hidupnya.
Kisah tragis Aulia menggemparkan publik ketika sebuah buku misterius, yang diduga sebagai 'panduan' perundungan, tersebar luas di media sosial.
Buku dengan sampul bertuliskan 'Unthulektomi' ini berisi aturan-aturan tak biasa dan sangat menekan.
Di dalam buku itu, ada aturan tentang hirarki dalam bertanya. Mahasiswa semester 1, misalnya, hanya diizinkan bertanya kepada mahasiswa satu tingkat di atasnya, yakni semester 2.
Begitu juga dengan mahasiswa semester 2 yang hanya boleh bertanya kepada mereka yang berada di semester 3, dan seterusnya. Selain itu, buku tersebut melarang mahasiswa untuk banyak bertanya, seolah-olah bertanya adalah sebuah kesalahan.
Ada juga aturan yang mengharuskan mahasiswa junior untuk siap menerima tugas 'ekstra' dari para senior. Tugas-tugas ini harus dikerjakan dengan baik dan tanpa keluhan, bentuk 'kewajiban' mereka sebagai junior.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah merespons dugaan adanya buku pedoman perundungan di lingkungan PPDS.
Plt. Kepala Biro Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, setiap aduan yang masuk akan diinvestigasi dengan serius, dan sanksi tegas akan diberikan jika terbukti ada pelanggaran, terutama yang terkait dengan perundungan.
Sanksi ini bisa mencakup penghentian kegiatan pendidikan di institusi terkait, pengembalian peserta didik atau dosen yang terlibat ke universitas asal mereka, penurunan pangkat, hingga pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Masalah perundungan di lingkungan PPDS, kata dia, sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak dibukanya kanal pelaporan pada tahun 2023, hampir 350 laporan terkait aksi bullying telah diterima.
Hasil verifikasi menunjukkan bahwa memang ada aturan-aturan yang mengatur bagaimana seorang junior harus bersikap di awal masa pendidikan mereka sebagai dokter spesialis.
Namun, hingga kini, pihak Kemenkes belum menemukan bukti konkret berupa buku fisik yang mendokumentasikan aturan-aturan ini secara resmi.
Sering kali, yang ditemukan hanyalah potongan-potongan halaman atau tangkapan layar dari buku-buku pedoman yang beredar di kalangan mahasiswa.
Meski sebagian pihak mengakui keberadaan buku tersebut, bukti fisiknya sulit didapatkan. Banyak informasi yang beredar dalam bentuk elektronik dan tidak lengkap, membuat investigasi menjadi lebih rumit.
Perundungan di lingkungan PPDS tampaknya sudah menjadi semacam tradisi yang sulit diberantas. Para junior merasa takut untuk melaporkan apa yang mereka alami, khawatir hal itu akan menghambat proses pendidikan mereka. Rasa takut ini semakin memperkuat posisi para senior dan membuat perundungan terus berlangsung tanpa henti.
Namun begitu, Kemenkes, pungkas dr. Siti terus berupaya mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan, termasuk terkait buku pedoman perundungan yang beredar.
Meski hal ini tidaklah mudah, mereka tetap berkomitmen memastikan bahwa setiap tindakan perundungan bisa dihentikan demi menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan adil.
Dampak Perundungan
Perundungan di lingkungan kampus sering kali meninggalkan bekas yang mendalam, mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan seorang individu, baik fisik, psikologis, maupun sosial.
Mu’aliyah Hi Asnawi, dalam jurnal Pengaruh Perundungan Terhadap Perilaku Mahasiswa menulis, perundungan disebabkan karena ketidakseimbangan kekuasaan diantara para mahasiswa.
Mahasiswa senior yang merasa lebih berkuasa cenderung mengambil tindakan yang menekan para junior.Tekanan ini, terutama dalam bentuk perundungan, dapat berdampak serius pada korban, khususnya dalam hal kesehatan mental.
Bagi mereka yang menjadi korban perundungan, perasaan tidak nyaman, takut, rendah diri dan merasa tidak berharga adalah dampak yang kerap dirasakan.
Penyesuaian sosial mereka juga terganggu, dengan rasa takut yang terus-menerus menghantui. Dalam beberapa kasus ekstrem, tulis Asnawi, tekanan ini bahkan bisa memicu keinginan untuk bunuh diri.
Sementara itu, perundungan verbal, yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang, juga memiliki dampak yang sama seriusnya.
Ejekan, olok-olok, dan cemoohan yang dilontarkan dengan kata-kata bisa menggerogoti semangat seorang mahasiswa, membuat mereka putus asa, enggan bergaul, hingga terjebak dalam halusinasi.
Meskipun sering kali dianggap wajar, kenyataannya perilaku ini bisa perlahan menghancurkan seorang individu.
Jika perundungan ini berubah menjadi tindakan kekerasan fisik, seperti yang sering terjadi dalam kegiatan Ospek atau kaderisasi di organisasi kampus, dampaknya bisa jauh lebih mengerikan.
Mengingat betapa seriusnya dampak dari perundungan, terutama yang mengakibatkan luka fisik dan psikologis, penting bagi semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius terhadap korban.
Asnawi menulis, mereka perlu didukung untuk tetap melanjutkan kuliah dan diyakinkan bahwa mereka aman dan dihargai di lingkungan kampus.
Dukungan yang kondusif dari seluruh komunitas kampus sangat diperlukan untuk membantu korban mengatasi trauma mereka. Sesama mahasiswa memegang peran penting dalam memberikan semangat dan dorongan agar mereka tidak menyerah dalam perkuliahan.
Di sisi lain, penanganan terhadap pelaku perundungan harus dilakukan dengan bijak. Institusi pendidikan, dalam hal ini kampus, "perlu memainkan peran penting dalam pencegahan perundungan, bukan hanya mendisiplinkan pelaku setelah kejadian terjadi."
Di sisi lain, program-program yang berfokus pada pencegahan dan pendidikan mengenai bahaya perundungan bisa menjadi "langkah awal yang efektif dalam menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman dan mendukung bagi semua mahasiswa." tulisnya.
Editor: Gregorius Agung