PARBOABOA, Jakarta - Uganda dan Republik Demokratik Kongo (DRC), masih sama-sama menghadapi masalah kelompok militan yang terus membantai warga sipil dan militer.
Dalam kasus terbaru, 26 orang dilaporkan dibunuh dengan parang di Kota Oicha, timur DRC, Senin (13/10/2023) sekitar pukul 11 malam waktu setempat.
Wali Kota Oicha, Nicolas Kikuku yang berada di Provinsi Kivu Utara mengatakan, selain korban tewas, serangan ini juga menyebabkan empat orang terluka dan dibawa ke rumah sakit.
Hingga saat ini belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas kejahatan ini.
Meski demikian, banyak pihak menduga pelaku pembantaian ini dengan kelompok militan Pasukan Sekutu Demokratik (Allied Democratic Forces/ADF).
Juru bicara militer setempat, Antony Mwalushayi mengatakan serangan terhadap warga sipil di Oicha diyakini merupakan pembalasan atas serangan militer baru-baru ini terhadap kelompok militan tersebut.
Menurutnya, para pelaku sengaja menggunakan parang dan bukannya senjata api. Ini agar tentara yang ada di sekitarnya tidak waspada.
Dalam melancarkan serangan, kata Mwalushayi, kelompok tersebut berbagi tugas.
Kelompok pertama bertugas mencegah intervensi militer.
Sedangkan kelompok kedua bertugas menjarah perbekalan penduduk sipil.
Kelompok terakhir bertugas membantai penduduk secara diam-diam.
Sejarah Singkat ADF
Dilansir dari laman Center for Strategic and International Studies (CSIS), ADF merupakan kelompok pemberontak lama yang berasal dari Uganda.
Saat ini, tak hanya di Uganda, ADF juga beroperasi di Republik Demokratik Kongo (DRC) bagian timur.
Pada tahun 2019, ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan ADF dan pertama kali menyebut 'Provinsi Afrika Tengah'.
Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hubungan antara ADF dan ISIS.
Hingga akhirnya belakangan diketahui, ADF telah berjanji setia kepada kelompok militan ISIS.
Kemampuan beradaptasi dan ketahanan ADF yang terbukti, kemungkinan besar menandakan ancaman yang terus berlanjut.
Keamanan terhadap warga sipil, pasukan keamanan, dan pasukan penjaga perdamaian PBB dalam bahaya.
Atas masalah ini, Uganda dan Kongo melancarkan operasi militer gabungan dua tahun lalu untuk mencoba membasmi ADF.
Bulan lalu, tentara Uganda mengaku telah membunuh lebih dari 560 pejuang dan menghancurkan beberapa kamp ADF.