Kasus Korupsi Satelit Kemhan, Kejagung Taksir Kerugian Negara Capai Rp500 Miliiar

Kejagung rilis kasus korupsi satelit Kementerian Pertahanan (Dok: viva.co.id)

PARBOABOA, Jakarta - Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Laksamana Muda Purnawirawan Agus Purwoto sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 BT Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021. Agus sebelumnya diketahui pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan periode Desember 2013-Agustus 2016.

Selain Agus, dalam kasus ini Kejagung juga telah menetapkan 2 orang tersangka dari kalangan sipil, yakni Soerya Cipta Witoelar (SCW) selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kesuma (PT DNK) dan Arifin Wiguna (AW) selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma (PT DNK).

"Bahwa tersangka Laksamana Muda (Purn) AP (Agus Purwoto) bersama sama dengan SCW dan AW secara melawan hukum merencanakan dan mengadakan kontrak sewa satelit dengan pihak Avantee bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan," kata Direktur Penindakan Jampidmil Brigjen Edy Imran dalam konferensi pers yang digelar di kantornya Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/6).

Edy menjelaskan, perbuatan para tersangka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah Pasal 8, Pasal 13 dan Pasal 22 ayat (1), Pasal 38 ayat (4); Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Pasal 16, Pasal 27 dan Pasal 48 ayat (2).

kemudian, Edy pun menyebutkan beberapa perbuatan melanggar yang telah dilakukan para tersangka. Salah satunya, yakni para tersangka melakukan penunjukan langsung kegiatan sewa satelit tanpa adanya surat dari Menteri Pertahanan.

"Tanpa adanya Surat Keputusan dari Menteri Pertahanan dalam hal penunjukan langsung kegiatan sewa satelit, kegiatan ini menyangkut pertahanan negara yang harus ditetapkan oleh Menteri Pertahanan," kata Edy, dalam konferensi pers di kantornya, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/6).

Selain itu, dalam penerapan sewa satelit itu diketahui tidak ada penetapan pemenang oleh Menteri Pertahanan selaku Pengguna Anggaran setelah melalui evaluasi dari Tim Evaluasi Pengadaan. Kemudian kontrak itu ditandatangani tanpa adanya anggaran untuk kegiatan dimaksud.

Edy menambahkan, kontrak kebijakan itu tidak didukung dan adanya Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang seharusnya melibatkan tenaga ahli. Kemudian, kontrak juga tidak meliputi Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK) sebagaimana seharusnya kontrak pengadaan.

"Kontrak tidak terdapat kewajiban bagi pihak Avanti untuk membuat serta menyusun kemajuan pekerjaan dan sewa satelit Artemis, tidak adanya bukti dukung terhadap tagihan yang diajukan, Spesifikasi Satelit Artemis yang disewa tidak sama dengan satelit yang sebelumnya atau satelit garuda sehingga tidak dapat difungsikan dan sama sekali tidak bermanfaat. Sedemikian banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para tersangka," katanya.

Kejagung Taksir Kerugian Capai 500 MIliiar

Lebih lanjut, Eddy pun mengungkapkan bahwa tim penyidik koneksitas juga telah melakukan koordinasi dengan BPKP untuk menentukan unsur terjadinya pidana korupsi dalam kasus itu. Dalam hasil audit BPKP terhadap bukti-bukti dokumen dan elektronik, Edy mengatakan patut diduga telah terjadi kerugian negara dalam proses pengadaan dan sewa Satelit Orbit 123o Derajat Bujur Timur tersebut

Dalam kasus ini, negara diketahui mengalami kerugian senilai Rp 500.579.782.789 (Rp 500 miliar). Adapun rinciannya, yakni pembayaran sewa satelit dan putusan arbitrase sebesar Rp 480.324.374.442, dan pembayaran Konsultan Rp 20.255.408.347.

"Total kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan para tersangka yang disebutkan tadi Rp 500.579.782.789," tuturnya.

Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Kemudian, Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS