Kawin Kontrak dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Kawin kontrak dalam perspektif hukum di Indonesia. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

PARBOABOA, Jakarta - Parboaboa baru saja menurunkan laporan khusus kawin kontrak yang marak terjadi di Kabupaten Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Kawin kontrak atau kawin dengan jangka waktu tertentu, demikian laporan tersebut menulis, seringkali terjadi karena alasan ekonomi.

Mereka yang terjebak di dalamnya, merupakan perempuan-perempuan tak berdaya, tetapi secara terpaksa harus menanggung beban ekonomi keluarga.

Alhasil, ketika ada tawaran untuk menjalin kawin kontrak dengan para kliennya, mereka tidak tidak punya pilihan lain.

Seorang perempuan asal Garut, misalnya. Kepada Parboaboa ia mengaku, dirinya menerima tawaran tersebut untuk membantu kedua orang tuanya di Kampung yang hanya bekerja serabutan.

"Untuk perbaiki Gubuk, kasian keluarga," kata dia.

Perempuan lain punya alasan serupa. Bahkan dalam satu keluarga, ada kakak-beradik yang rela menjalankan praktik perkawinan yang tak tak lazim bagi kebanyakan orang itu.

Parbaboa juga melaporkan, khusus di Cisarua, kawin kontrak terjalin antara perempuan-perempuan 'lokal' dengan klien yang rata-rata merupakan pria asal Timor Tengah.

Ikatan perkawinan ini biasanya hanya berlangsung sekitar sebulan dengan tarif yang bervariasi. 

Setelah itu, hubungan berakhir - meskipun ada beberapa kasus di mana klien tetap memberikan dukungan finansial, terutama jika ada anak dari hubungan tersebut.

Terlepas dari alasan ekonomi yang melatarbelakangi praktik ini, dari sisi hukum, keabsahan kawin kontrak masih dipertanyakan.

Keraguan sejumlah orang awam adalah apakah kawin kontrak sah dan diakui negara atau justru melanggar Undang-Undang?

Erni Agustin, dalam artikel Hukum Kawin Kontrak di Indonesia (2023) secara tegas menulis, kawin kontrak menyimpang dari hukum negara.

"Kawin kontrak menurut hukum negara telah menyimpangi tujuan perkawinan," tulis Erni.

Merujuk UU Nomor 1 Tahun 1974, kata dia, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan "membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa."

Agar perkawinan dianggap sah, lanjutnya, harus dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing pasangan. Selain itu, perkawinan juga wajib dicatatkan di lembaga resmi yang berwenang.

Dengan ketentuan tersebut, undang-undang memandang perkawinan bukan sekadar hubungan keperdataan antara suami dan istri, "melainkan juga sebagai perbuatan yang memiliki nilai ibadah."

Shaking sucinya nilai perkawinan, pasal 39 UU a quo, kata Erni, mempersulit syarat-syarat perceraian. Antara lain misalnya, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Kemudian, jika salah satu pasangan meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah, atau salah satu pasangan dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih setelah menikah, maka ini bisa menjadi alasan untuk perceraian.

Selain itu, apabila salah satu pasangan melakukan kekerasan berat yang membahayakan, atau mengalami cacat fisik atau penyakit yang membuatnya tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri, atau jika perselisihan dan pertengkaran terus terjadi tanpa ada harapan untuk rukun, maka perceraian juga bisa diajukan.

Pun jika ada perjanjian yang dibuat untuk kawin kontrak dengan waktu tertentu, "perjanjian ini tidak sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata." kata Erni.

Pasal 1320 KUH Perdata memang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Perjanjian baru dianggap sah apabila memenuhi empat hal, yaitu adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian, para pihak harus cakap dalam membuat perikatan, perjanjian harus memiliki pokok persoalan yang jelas dan sebab atau tujuan perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum.

Dua syarat pertama, kesepakatan dan kecakapan, disebut sebagai syarat subjektif karena berhubungan dengan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara itu, syarat pokok persoalan dan sebab yang tidak terlarang disebut sebagai syarat objektif karena berkaitan dengan objek atau isi dari perjanjian tersebut.

Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Namun, jika syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum.

Dalam artikel lain yang membahas tentang Hukum Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak di Indonesia, disebutkan bahwa kawin kontrak bertentangan dengan sejumlah aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

Pasal 2 KHI menjelaskan, perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan dianggap sebagai ibadah. 

Kawin kontrak, sayangnya, tidak memiliki tujuan mulia tersebut, karena hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan seksual sementara.

Pasal 3 KHI lebih lanjut menegaskan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Karena kawin kontrak memiliki jangka waktu terbatas dan biasanya berakhir dengan perpisahan, "hubungan ini tidak memenuhi tujuan perkawinan yang diatur dalam KHI." 

Selain bertentangan dengan UU Perkawinan dan KHI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sebenarnya telah mengeluarkan fatwa pada 25 Oktober 1977 yang mengharamkan praktik nikah mut'ah atau kawin kontrak. 

MUI menegaskan bahwa nikah mut'ah bertentangan dengan tujuan akad nikah yang syar'i, yaitu membangun keluarga yang sejahtera dan memiliki keturunan yang sah.

Lebih dari itu, MUI juga menyebutkan bahwa kawin kontrak bertentangan dengan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 

Peraturan ini, kata MUI, wajib ditaati oleh masyarakat, dan pelanggaran terhadapnya bisa dikenai sanksi hukum. 

Itulah sebabnya MUI menetapkan, praktik kawin kontrak tidak hanya haram, tetapi pelakunya juga harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS