PARBOABOA, Jakarta - Parboaboa baru saja menyajikan sebuah liputan khusus tentang cara pandang masyarakat adat Suku Dayak, Kalimantan Selatan terhadap hutan.
Liputan berseri yang tayang di hari Senin dan Rabu pekan ini, mengurai dengan cukup detail ihwal bagaimana masyarakat setempat memberlakukan hutan yang melampaui kebiasaan orang-orang pada umumnya.
Hutan bagi masyarakat adat Dayak Pitap tidak sekedar tempat yang ditumbuhi pepohonan lebat tetapi juga sebagai tempat sakral yang telah dikeramatkan.
Warga yang mendiami lima desa, yaitu Desa Kambiyain, Desa Ajung, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap dan sebagian di Desa Mayanau melihat hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Dalam mengelolah hutan pun mereka benar-benar taat pada apa yang telah disepakati dan diatur oleh Lembaga Adat. "Kami sangat yakin bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri," ujar seorang warga, Anang Suriani.
Di tempat yang disebut 'Hutan Keramat' disemayamkan para leluhur. Itulah sebabnya, mereka meyakini merawat hutan berarti merawat relasi dengan nenek moyang demi kelangsungan hidup dan keutuhan ciptaan.
Konsekuensinya, tidak ada satu orang pun bisa masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon secara sembarangan, kecuali kalau ada ritual khusus.
Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005 di Desa Ajung, Rahmadi bercerita, pernah suatu Waktu sejumlah pegawai perusahaan kayu datang menebang pohon di Hutan Keramat di Pegunungan Meratus.
Tak lama setelah mereka menebang pohon-pohon tersebut, tersiar kabar bahwa mereka jatuh sakit. Sakit yang mereka derita termasuk penyakit langkah.
Para penebang pohon itu, kata Ramadi, kerasukan makhluk lain akibat perbuatan mereka menebang pohon di hutan yang diyakini masyarakat sebagai Hutan Keramat.
"Kau telah merusak rumah kami," ujarnya.
Pernah mereka datang untuk meminta pengobatan tetapi masyarakat menolak. Tetua suku malah mengutuk mereka,"Sampai mati pun, saya tidak akan pernah mengobati." ujar Ramadi menirukan perkataan tetua adat kala itu.
Pengelolaan Hutan di Indonesia
Konsistensi masyarakat adat Dayak Pitap menjaga hutan merupakan pengingat untuk melihat kembali bagaimana karakteristik pengelolaan hutan di Indonesia.
UUD 1945 pasal 18b Angka 2 (dua) sebagai konstitusi negara sebenarnya telah mengatur tentang hak masyarakat adat atas hutan.
Di sana ditegaskan, "negara menghormati serta mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sejauh masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan."
Namun demikian, apa yang diatur dalam konstitusi merupakan panduan umum. Secara teknis, pengelolaan hutan tetap tergantung pada peraturan dibawahnya termasuk peraturan-peraturan daerah atau perda.
Kepala Bagian Pengawasan dan Dokumentasi Hukum pada Biro Hukum SETDA Provinsi Kalimantan Tengah, Rahmat Junaidi dalam sebuah artikel menjelaskan, masyarakat hukum adat merupakan subjek dari hak ulayat yang mendiami suatu wilayah tertentu, dan hutan sebagai sumber kehidupannya adalah objek dari hak ulayat.
Hutan yang merupakan objek dari hak ulayat, tulisnya, di kenal sebagai hutan adat, yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Sementara itu, Maria SW Soemardjono mengatakan,hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai kompetisi yang khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang, kekuasaan mengurus dan mengatur tanah dan seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.
Selanjutnya, Rahmat menulis, secara umum karakteristik pengelolaan hutan di Indonesia, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif dan pengelolaan hutan bersifat konservatif.
Pengelolaan Eksploitatif
Pengelolaan hutan secara eksploitatif melibatkan pemanfaatan hasil hutan dengan cara yang mengeksploitasi sumber daya, baik itu melalui pemanfaatan kayu dan non-kayu maupun penggunaan lahan untuk kegiatan produksi pertanian.
Praktik semacam ini sering ditemukan di masyarakat pedesaan dan cenderung mengubah fungsi ekosistem hutan karena berkurangnya komponen ekosistem hutan.
Dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini didasarkan pada pandangan bahwa hutan hanya berfungsi secara ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya hutan diarahkan untuk mencapai nilai-nilai material semata.
Biasanya pengelolaan hutan eksploitatif ini merupakan pintu masuk bagi sejumlah perusahaan ekstraktif untuk melakukan kegiatan pertambangan, proyek raksasa yang lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Kalimantan merupakan salah satu daerah dengan aktivitas pertambangan terbanyak di Indonesia. Sayangnya sejumlah lubang tambang itu tidak pernah direklamasi.
Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) 2021 menunjukkan, di Kalimantan Tengah terdapat 163 lubang tambang yang tidak direklamasi, Kalimantan Utara berjumlah 44, Kalimantan Selatan 814 dan Kalimantan Timur berjumlah 1.735.
Pengelolaan Konservatif
Pengelolaan hutan yang bersifat konservatif terdiri dari dua kategori, yaitu perlindungan dan pemanfaatan. Pengelolaan yang berfokus pada perlindungan semata bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan, yang sering diwujudkan dalam bentuk 'hutan larangan' atau 'hutan adat'.
Pendekatan ini menerapkan mekanisme pengelolaan hutan yang berfokus hanya pada aktivitas perlindungan tanpa adanya pemanfaatan langsung.
Masyarakat pedesaan biasanya menerapkan metode ini dengan tujuan melindungi hutan yang berfungsi sebagai penopang produksi mereka, seperti menjaga sumber air untuk pengairan sawah yang mereka kelola setiap tahun.
Hutan yang menjadi target perlindungan biasanya adalah kawasan hutan alam di sekitar hulu sungai dan lereng bukit atau gunung, yang disekitarnya terdapat bentangan sawah masyarakat.
Pengelolaan hutan konservatif telah dipraktekan secara konsisten oleh masyarakat adat Dayak Pitap. Tujuannya adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dari hutan, ada yang mereka ambil untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup, namun ada juga yang tidak boleh disentuh sama sekali.
Editor: Gregorius Agung