Jejak Sejarah Masyarakat Dayak Pitap dan Perjuangan Melawan Invasi Tambang

Balai adat Dayak Pitap sebagai tempat berkumpulnya masyarakat (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

PARBOABOA, Jakarta - Suku Dayak Pitap tengah menjadi sorotan publik lantaran berjuang melawan invasi perusahaan tambang yang beroperasi selama puluhan tahun.

Laporan PARBOABOA pada Senin (05/07/2024) menyebut, salah satu perusahaan yang mengokupasi kekayaan alam suku Dayak Pitap adalah PT. Malindo Jaya Dirjaya (MJD).

Perusahaan asal Malaysia itu diketahui memiliki konsesi sekitar 10.000 hektar tanah, di mana setengahnya berada di wilayah Dayak Pitap.

Proyek MJD di wilayah Dayak Pitap menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengganggu akses masyarakat terhadap ritus kebudayaan. 

Lahan-lahan yang telah diokupasi mempersulit mereka dalam bertani dan berladang. Fakta ini telah dialami masyarakat selama bertahun-tahun, tanpa ada perhatian serius pemerintah.

Kepala Desa Kambiyain, Kecamatan Tebing Tinggi, Anang Suriani, menyebut bahwa perjuangan mereka melawan korporasi tambang telah berlangsung sejak 1999 silam.

Kepada PARBOABOA, ia bercerita terkait betapa peliknya mereka bertahan dari ancaman megaproyek yang mengganggu kelestarian lingkungan.

Risikonya, pungkas Anang, mereka kesulitan memperoleh bahan makanan seperti padi yang selain digunakan untuk makan, tetapi juga menjadi kebutuhan pokok saat ritus adat.

Silang sengkarut persoalan tambang memberi tanda tanya besar tentang siapa sebenarnya masyarakat suku Dayak Pitap? Dari mana asal muasal mereka? Bagaimana kehidupan masyarakat sebelum masuknya perusahaan tambang?

Sejarah dan Asal Muasal Suku Dayak Pitap

Pitap adalah wilayah pegunungan yang terletak di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Hulu Sungai Utara/Balangan. Di sini, masyarakat hidup dan berkembang sesuai adat istiadat nenek moyang.

Riset yang dibuat Valentine Indriaty Samodara (2012) menjelaskan, kelompok Dayak Pitap umumnya mendiami daerah sekitar hulu Sungai Pitap dan anak sungainya. 

Berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, tanah mereka adalah tempat diturunkannya kitab suci yang menjadi rebutan bangsa-bangsa dunia. 

Untuk memastikan ajaran itu selalu ada, para tetua adat menyarankan agar kitab tersebut 'dipitapkan' atau ditelan. Tujuannya adalah menanam ajaran di dalam hati dan pikiran masyarakat. 

Dari sinilah, nama Kitab berubah menjadi Pitap, dan masyarakat serta sungai di daerah tersebut dikenal dengan nama Dayak Pitap.

Menurut legenda, nama Pitap juga berasal dari seorang datuk kepala adat di pegunungan Awayan. Pitap sudah ada sebelum munculnya bangsawan Keling yang dikenal sebagai Empu Jatmika. 

Empu Jatmika sendiri merupakan pendiri Negara Dipa di bumi Kahuripan Batang Balangan, yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Hulu Sungai Utara. 

Pada masa itu, pasukan Empu Jatmika mengunjungi wilayah Dayak Pitap. Kedatangan mereka disambut baik oleh datuk setempat yang kemudian menyatakan kesediaan untuk bergabung dengan Negara Dipa. 

Budaya dan adat istiadat Dayak Pitap dipimpin seorang datuk yang berperan sebagai kepala adat. 

Sementara, mayoritas masyarakat di sana bekerja sebagai petani dan sebagian kecil menjadi peladang. 

Hubungan antar masyarakat sangat harmonis. Mereka juga intens membangun hubungan baik dengan leluhur dan alam sekitar. 

Dayak Pitap sebagai “Tanah Hidup”

Para leluhur Dayak Pitap awalnya tinggal di “Tanah Hidup”, yaitu sebuah daerah perbatasan antara Kabupaten Balangan dan Kabupaten Kotabaru di puncak pegunungan Meratus. 

Mengutip arsip Budaya Datak Pitap pada laman Wayback Machine, “Tanah Hidup” diyakini sebagai tempat asal mula leluhur mereka, yang dianggap sebagai tanah keramat.

Secara administratif, masyarakat Dayak Pitap tinggal di tiga desa, yaitu Desa Dayak Pitap, Desa Langkap, dan Desa Mayanau di Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan. 

Pada awalnya, Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. 

Namun, dengan adanya sistem pemerintahan desa pada tahun 1979, dibentuklah pemerintahan Desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. 

Dayak Pitap kemudian terbagi menjadi lima kampung besar, yaitu Langkap, Iyam, Ajung, Panikin, dan Kambiyain.

Pada tahun 1982, wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi lima desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1980 tentang pedoman pembentukan, pemecahan, penyatuan, dan penghapusan kelurahan. 

Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Camat tahun 1993, Kampung Ajung digabung dengan Kampung Iyam.

Pada 1998, Kampung Iyam dan Kampung Kambiyain juga digabungkan menjadi satu dengan Kampung Ajung, di mana pusat pemerintahan berada di Ajung Hilir.

Perkembangan wilayah Dayak Pitap dari waktu ke waktu memperlihatkan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berkait kelindan satu sama lain.

Kepercayaan yang tinggi kepada leluhur menjadi nilai yang dipelihara dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa leluhur menjadi perantara doa dengan Wujud Tertinggi.

Dengan kondisi demikian, aktivitas pertambangan yang beroperasi bukan saja memberi tantangan pada pelestarian lingkungan hidup, tetapi juga mengganggu hubungan masyarakat dengan leluhur Dayak Pitap.

Pertanyaannya kemudian, kapan persoalan ini berakhir? Apakah masyarakat Dayak Pitap dapat mengalami kehidupan seperti sedia kala?  

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS