PARBOABOA, Jakarta - Mencuatnya isu hilirisasi belakangan ini, membikin tensi politik kian memanas persis kurang dari sebulan menuju pemilihan umum (Pemilu).
Di tataran elit, hilirisasi memicu saling serang seperti yang terjadi antara co captain Timnas AMIN, Thomas Lembong dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Bermula ketika dua pekan lalu, mantan Menteri Perdagangan sekaligus mantan Kepala BPKM, Tom Lembong mengungkapkan kegagalan hilirisasi yang terpotret dari jatuhnya harga nikel.
Tak hanya itu, Tom Lembong juga menyentil hilirisasi nikel berupa pembangunan smelter yang masif di dalam negeri berpotensi merugikan karena berdampak over supply.
Sementara, di sisi lain katanya, saat ini produsen mobil Tesla di China telah menggunakan LFP (Lithium Ferro Phosphate) 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel.
Pernyataan inilah yang memantik kemarahan Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut politisi Partai Golkar itu, Tom Lembong salah membaca data, karena nyatanya, dalam 10 tahun terakhir harga nikel dunia tembus angka US$ 15 ribu per ton.
Angka ini menurut klaim Luhut mengalami kenaikan sejak 2014-2019. Dan, periode dimana Indonesia memulai hilirisasi harga nikel dunia hanya US$ 12 ribu per ton.
Luhut juga memberi peringatan keras kepada Tom Lembong soal kegagaglannya mengembangkan sistem Online Single Submission (OSS) saat masih menjabat sebagai Kepala BKPM.
Bahkan Luhut mengaku, OSS baru rampung ketika Tom Lembong Keluar dan meninggalkan kabinet.
Menteri Jokowi yang lain, yaitu Menteri Investasi sekaligus Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia juga membantah Tom Lembong terutama soal nikel Indonesia yang tak lagi diminati pasar.
Bahlil mengatakan, nikel saat ini masih sebagai bahan utama pembuatan baterai kendaraan listrik. Demikian soal klaim Tom Lembong yang mengatakan, Mobil Tesla milik Elon Musk telah beralih menggunakan FLP.
Bahlil menimpali, penyataan itu merupakan pembohongan publik karena baterai nikel atau NMC tetap digunakan, kecuali pada Tesla jenis standar.
Kepentingan Industri lebih prioritas dari kepentingan rakyat
Jaringan Advokasi Tambang, (JATAM) organisasi yang selama ini fokus terhadap masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu keadilan sosial dalam industri pertambangan dan migas, menyoroti saling serang antara elit politik terkait pengelolaan nikel.
JATAM menilai, saling serang diantara mereka menunjukkan, kepentingan industri di mata para elit jauh lebih penting dan prioritas ketimbang kepentingan rakyat.
"Pernyataan Tom dan 'serangan balik' Luhut dan Bahlil soal hilirisasi nikel itu, menggambarkan tabiat elit politik dan pengurus negara yang lebih sibuk bicara soal kepentingan industri, dari pada rakyatnya sendiri," kata Juru Kampanye JATAM, Alfarhat Kasman kepada PARBOABOA, Jumat (26/1/2024).
Berdasarkan temuan JATAM, kata Alfarhat hilirisasi nikel telah menyebabkan perluasan pembongkaran nikel dengan dampak serius terhadap keberlangsungan produksi masyarakat.
"Pencemaran sumber air, perairan laut, deforestasi, masalah kesehatan, hingga kekerasan, kriminalisasi, dan kecelakaan kerja yang berujung pada kematian."
Situasi ini merambah hampir seluruh kawasan industri, dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikuasai oleh Harita Group.
Lebih jauh, JATAM menilai, pengabaian atas realitas pelik itu, berikut saling serang antar elit politik yang sedang mempertahankan dan merebut kekuasaan pada Pemilu 2024, tampak bukan semata-mata membongkar borok proyek hilirisasi andalan Presiden Jokowi yang ugal-ugalan.
"Tetapi juga bisa dibaca sebagai terganggunya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut, serta sejumlah pengusaha dan elit politik yang tersebar di tiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024."
Sebagai contoh, dalam temuan JATAM, Bahlil memiliki keterkaitan dengan PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel dengan dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Perusahaan ini dimiliki oleh PT Rifa Capital (10%) dan PT Papua Bersama Unggul (90%), yang merupakan milik Bahlil.
Sementara itu, Luhut relasinya terkait dengan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan patungan antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), kepunyaan Luhut.
Electrum fokus pada pengembangan ekosistem dan industri kendaraan listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir.
Melalui GoTo, kepentingan bisnis Luhut bertemu dengan Garibaldi Boy Thohir, yang beberapa hari lalu mengklaim dukungan sejumlah taipan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Boy Thohir adalah pemegang saham dan Komisaris GoTo.
Dengan demikian, menurut JATAM, saling serang antara Tom Lembong versus Luhut dan Bahlil tampaknya hanya terkait dengan kepentingan pribadi, kroni, dan industri itu sendiri.
"Lebih menyedihkannya, kegaduhan terkait nikel ini tampaknya hanya untuk meraih keuntungan politik pada Pemilu 2024, tanpa memedulikan penderitaan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proyek hilirisasi."
JATAM menegaskan, dipakai atau tidak dipakainya nikel Indonesia oleh Tesla, sama sekali tak berdampak pada pengurangan pembongkaran nikel di Kepulauan Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Sebaliknya, pembongkaran terus berlanjut, mengabaikan derita rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak pernah terurus.
Editor: Rian