PARBOABOA, Jakarta - Bunuh diri menjadi salah satu fenomena global yang marak terjadi, terutama pada kelompok remaja.
Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Yurika Fauzia Wardhani, mengungkapkan bahwa secara global, kasus bunuh diri mencapai lebih dari 800 ribu per tahun.
Sementara di Indonesia, kasus yang ditangani Polri sejak Januari hingga Agustus 2024 telah mencapai angka 849 orang.
Di antara para korban, mereka yang berusia muda berada dalam kelompok yang paling rentan, diikuti kelompok usia dewasa dan usia lanjut.
“Selama pandemi, banyak kasus bunuh diri yang terungkap di media sosial. Saya memantau data dari 2012 hingga 2023, dengan angka tertinggi di kelompok usia produktif, yaitu remaja dan dewasa,” jelas Yurika pada Kamis (25/07/2024).
Yurika menambahkan bahwa pada usia remaja, kasus bunuh diri kerap dipicu oleh tekanan akademis, ekspektasi untuk berprestasi, perubahan hormon, konflik keluarga, hingga fenomena perundungan, termasuk perundungan daring.
"Selain itu, kurangnya akses dan dukungan dapat memperparah situasi. Kenyataan tersebut terjadi pada kelompok usia dewasa, yang menghadapi tekanan serupa," tambah Yurika.
Bahkan, kelompok lanjut usia juga memiliki risiko tinggi namun sering kurang diperhatikan. Beberapa kasus disebut menimpa mereka yang berusia di atas 90 tahun.
Faktor utama yang menjadi penyebabnya meliputi kesepian, kesehatan mental yang terganggu, penyakit kronis, serta keterbatasan akses untuk mencari bantuan.
Yurika juga memaparkan bahwa kategori pria memiliki angka kasus bunuh diri lebih tinggi dibandingkan wanita.
Hal ini dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya patriarki yang cenderung mengharuskan pria untuk tampak tegar, sehingga mereka enggan mengungkapkan perasaan.
Beberapa cara bunuh diri yang tercatat meliputi konsumsi racun, melukai diri, hingga cara ekstrem seperti gantung diri atau lompat dari ketinggian.
Untuk menanggulangi masalah ini, Yurika menekankan pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan akses layanan kesehatan mental yang memadai.
Kerja sama antarinstansi untuk menciptakan program pencegahan bunuh diri, serta pelatihan dukungan bagi keluarga dan komunitas dinilai sangat penting.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, NLP Indi Dharmayanti, menegaskan dampak bunuh diri tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga keluarga, lingkungan kerja, serta masyarakat luas.
Jika seorang kepala rumah tangga meninggal akibat bunuh diri, dampaknya sangat besar terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Anak-anak akan kehilangan sosok ayah mereka. Di pihak lain, istri harus menanggung beban ekonomi serta kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam situasi seperti ini, kesejahteraan anak-anak bisa terancam, baik dari segi pemenuhan kebutuhan dasar maupun perhatian emosional.
Dampak lain adalah tanggungan hutang pelaku yang harus diselesaikan oleh keluarga atau ahli waris. Hutang bukanlah masalah yang ringan, sebab memiliki konsekuensi hingga akhirat.
Jika seseorang meninggal dunia dengan hutang yang belum terbayar, tanggung jawab tersebut beralih kepada keluarganya.
Kondisi tersebut menambah beban moral dan finansial bagi keluarga, terutama jika mereka mengalami kesulitan ekonomi.
Selain itu, bunuh diri sering kali meninggalkan stigma atau aib bagi keluarga. Nama baik keluarga akan terdampak karena masyarakat kerap mengaitkan tindakan bunuh diri dengan kehidupan keluarga korban.
Aib ini berpotensi mempengaruhi cara masyarakat dalam memandang keluarga yang ditinggalkan, sehingga menambah tekanan sosial.
Secara keseluruhan, bunuh diri membawa dampak negatif yang luas, baik dalam lingkup emosional, ekonomi, maupun sosial, yang dirasakan bukan hanya oleh pelaku tetapi juga oleh orang-orang terdekat.
“Kehilangan individu di usia produktif adalah kerugian besar bagi bangsa. Karena itu, pencegahan bunuh diri menjadi tanggung jawab kita bersama,” kata Indi.
Indi juga menyoroti perlunya pemahaman mendalam mengenai faktor penyebab bunuh diri, mulai dari tekanan ekonomi, masalah kesehatan mental, hingga lemahnya dukungan sosial.
Menurutnya, model pemahaman yang demikian akan membantu menciptakan strategi pencegahan yang lebih efektif.
“Intervensi medis dan psikologis harus diimbangi dengan pendekatan holistik melalui pendidikan, kampanye kesadaran, dan kebijakan yang mendukung kesehatan mental masyarakat,” pungkas Indi.
Editor: Defri Ngo